Jangan Pusingkan Omongan Orang - Book Review

Jangan pusingkan omongan orang


Selamat dari omongan orang adalah mustahil. Kalimat ini merupakan sub judul pada bab 1 dari buku karya Fitri Handayani yang terbit tanggal 4 November 2020 kemarin. 

Aku memilihnya, karena muncul di urutan pertama saat melihat daftar buku di aplikasi Gramedia Digital. Tapi, kalau omongan tersebut membuat hati membara. Maka bisa baca tulisan Jika Tak Ingin Marah Maka Menulislah yang ditulis oleh Blogger Surabaya

Judulnya yang sangat kekinian. Terlebih, belakangan ini di tab explore Instagramku. Banyak berisi kalimat bijak mengenai self love dan bagaimana kita percaya diri meski berhadapan dengan orang yang merendahkan diri kita.

Sebetulnya, ini memang permasalahan dalam kehidupan yang sudah ada sejak masa nenek moyang kita. Bahkan, bisa dibilang, pola komentarnya pun sama. 


"Kapan nikah?" 

"Kapan punya anak?" 

"Kerja di mana?" 

"Sudah punya mobil belum?" 

"Rumahnya tingkat atau enggak?" 

"Kok jadi Ibu rumah tangga? Ngapain kuliah sampai S2 kalo gitu?" 


Omongan ini, sudah ada sejak dahulu kala. Entah, apakah dahulu saat masa kerajaan Singosari berdiri. Pertanyaan seperti ini sudah ada atau belum? 

Namun, dari jejak budaya. Di mana ada pakem tak tertulis mengenai ketentuan sesuatu. Seperti menikah di usia tertentu, misalnya. Bisa jadi, jenis omongan yang dilemparkan pada orang yang usianya melampaui pakem yang ada, sama dengan pertanyaan masa kini. 

Tapi, mungkin enggak sih, kita selamat dari omongan orang? 

Mari kita berkenalan lagi dengan buku yang kuat sekali nuansa islaminya. Bahkan, membaca daftar pustakanya membuatku semakin ingin belajar tentang banyak hal lagi. 


Jangan Pusingkan Omongan Orang

Biar pembaca yang mampir ke tulisanku ini. Bisa menimbang kembali akan membaca buku ini atau enggak. Aku akan memberikan topik apa saja yang dibahas dalam buku ini


Bab 1 : Selamat Dari Omongan Orang Adalah Mustahil

A. Apapun yang kita lakukan pasti diomongin orang

B. Jika selalu mengikuti apa kata orang

C. Penilaianmu terhadap sesuatu bisa jadi salah


Bab 2 : Topik Yang Sering Jadi Pembicaraan Orang

A. Impian yang tertunda

B. Belum bertemu jodoh

C. Belum memiliki keturunan

D. Penampilan (Face Shaming dan Body Shaming) 

E. Berita viral di media sosial


Bab 3 : Hadirnya Orang-orang Yang Menyakitimu

A. Ketika orang-orang menghakimi masa lalumu

B. Ketika yang menyakiti bertindak seperti orang tersakiti

C. Orang-orang yang PHP, suka berutang dan khianat

D. Orang-orang yang dengki atas karunia Allah padamu

E. Orang-orang yang mencela, sombong dan merendahkan orang lain

F. Ketika Allah mempertemukanmu dengan orang-orang bermuka dua dan suka memanfaatkan kebaikan orang lain

G. Air susu dibalas dengan air tuba


Bab 4 : Menyikapi Segala Hal Yang Terjadi Dalam Hidupmu

A. Siapapun yang hadir dalam hidupmu pasti punya peran

B. Apapun yang terjadi, tetaplah menjadi orang baik

C. Sebelum menyalahkan orang lain sebaiknya introspeksi diri

D. Fokuslah menyenangkan Allah bukan makhluk

E. Jadilah pemaaf bukan pendendam

F. Jangan khawatir setiap perbuatan ada balasannya


Bab 5 : Jangan Pusingkan Omongan Orang

A. Resep tidak mudah sakit hati mendengar omongan orang

B. Resep Mata, Telinga dan Pikiran tetap waras

C. Jurus membuat hati lebih tenang dan bahagia


Selamat Dari Omongan Orang Adalah Mustahil


Pertanyaan mengenai "mungkin enggak sih selamat dari omongan orang?" segera dijawab melalui kalimat yang sama dengan kalimat pembuka yang aku tulis. Apakah kalimat ini bermaksud mengerdilkan harapan seseorang untuk hidup damai dan tenang? 

Faktanya, tidak ada satu orang pun yang bisa selamat dari kritikan orang lain dalam kondisi apapun. Ini serius. Setelah dipikir kembali, ya.

Bahkan, seorang ahli ibadah, yang rajin solat di Masjid pun enggak luput dari omongan orang. Sebelum pandemi, orang yang solat di Masjid, tentu bukan hal yang aneh. Tapi, coba cek kembali. Ketika pandemi ini mulai ada, orang yang ngotot solat di Masjid selama masa lockdown terbukti menuai omongan. 

Itu baru masalah ibadah. Apalagi kalau berkaitan dengan urusan dunia? Makin sederhana urusannya bisa makin pelik omongannya. 

Tapi, apa kita akan mendapat jawabannya di bab pertama ini? Ada. Sedikit dan yang sedikit ini akan menggiring pembaca untuk mencari tahu lebih dalam lagi. 


Kisah Nabi Dan Orang Saleh Terdahulu


Jika terus mencari jawaban dalam buku ini. InsyaAllah akan menemukan banyak kisah-kisah masa lampau yang sering kita dengar dari guru ngaji. 

Salah satu kisah yang selalu terngiang dan kemudian teringat kembali. Adalah kisah seorang ayah dan anak yang membuktikan bahwa tidak ada satupun orang yang selamat dari omongan orang lain. 

Awal mulanya, sang Ayah menyuruh anaknya duduk di atas unta. Sang Ayah menariknya dan melewati beberapa orang. Muncul komentar, betapa sang anak sangat tidak berbakti karena membiarkan Ayahnya yang menarik unta. 

Kemudian, mereka berganti posisi. Ayahnya duduk di atas unta. Sang Anak menarik untanya. Apa omongan mereka? Mereka berkata, sungguh sang Ayah tidak tahu diri membiarkan anaknya menarik unta sementara dia bersantai di atas unta. 

Sampai yang terakhir, ketika keduanya kembali berganti posisi. Sama-sama berjalan kaki dan menarik untanya. Omongan mereka pun masih terdengar. Betapa buruknya sikap mereka karena tak menggunakan tunggangan dengan baik. 

Aduhai, ini kisah dari orang saleh pada masa lampau. Sebagai pembuktian bahwa dalam hidup ini. Tak ada satupun yang bisa luput dari sindiran orang lain. 

Tak hanya satu kisah yang dituliskan kembali dalam buku ini. Banyak, bahkan dari kisah yang terdapat di Al-Qur'an pun ada. Sebagai pembuktian mengenai kehadiran manusia yang gemar menyindir. 


Sindiran Itu Nyata Dan Eksis


Buku ini beserta kisah-kisah di dalamnya. Mengajak pembaca untuk mengenal kehidupan yang enggak selalu berisi hal menyenangkan. Tapi, hidup juga berisi banyak hal yang menyakitkan dan menyedihkan

Dengan memahami, bahwa sindiran itu adalah sesuatu yang memang ada di dunia ini. Dan kita tak ada yang luput dari sindiran. Maka, sejatinya, buku ini diharapkan bisa memberi ketenangan, walau sedikit, bagi siapa saja yang tengah lelah menghadapi omongan orang.

Memahami eksistensi segala hal yang ada dalam kehidupan ini. Diharapkan pula mampu mengajarkan kita tentang diri kita sendiri. Bagaimana kita menjadi orang yang mencintai diri sendiri. Bagaimana cara memulihkan luka dalam diri kita usai menerima omongan pahit dan tak mengenakkan. 


Siapa Yang Boleh Membaca Buku Ini? 


Jika melihat di sampul belakang. Dekat tanda barcode buku. Tertera tulisan 16+ yang berarti buku ini ditujukan untuk mereka yang usianya 16 tahun ke atas. 

Pertanyaannya, apakah buku ini memuat sesuatu yang mencurigakan? 

Tidak. Tapi, kenapa ditujukan untuk anak remaja dewasa? Jawabannya karena buku ini memuat permasalahan yang kerap ditanyakan sama remaja dewasa. Bahkan, cenderung sering dikeluhkan oleh generasi muda di kanal sosial. 

Sementara, jika dibaca oleh anak berusia 10 tahun. Tentu mereka belum bisa relate dengan kondisi yang disajikan sebagai akar masalah atau jenis masalah yang dibahas di dalamnya.

Karena itu, biar tepat sasaran. Maka buku ini ditujukan bagi mereka yang masuk ke rentang usia remaja dewasa dan dewasa. 

Sebab, membaca buku ini membuat kita merenung. Berpikir. Dan beberapa bagian pun membutuhkan pemahaman yang mendalam. Seperti pernyataan Tahu Kapan Mengabaikan Omongan Orang. 

Jika buku ini tidak dipahami dengan bijak. Tentu anak-anak yang masih belum paham mengenai kapan tepatnya mereka mendengarkan omongan orang dan kapan mereka bisa mengabaikannya. Akan menjadi sesuatu yang membingungkan. 

Bisa jadi, buat anak-anak, ucapan nasihat atau perkataan baik seorang Ibu termasuk yang harus diabaikan karena disampaikan dengan gaya cerewet. Sehingga membuat mereka tak suka. 

Padahal, sebagian dari remaja dewasa dan dewasa tentu bisa memilah dan memilih. Jenis omongan seperti apa yang akan dianggap angin lalu. Dan yang tipe seperti apa yang akan didengarkan. 

Bahkan, meski sudah dewasa pun. Masih agak sulit pula untuk memilah dan memilih. Apalagi jika kebaikan atau nasihat tersebut dikemas dalam bentuk ucapan yang enggak lembut. Atau disampaikan oleh orang yang memang kurang disukai. 

Mendengarkan nasihat orang, baik itu dikemas dalam bentuk yang menyakitkan dan menjengkelkan. Atau diucap oleh mereka yang kurang berkenan di hati. Tentu bisa menjadi sesuatu yang butuh disikapi dengan bijaksana. 

Dan hal ini juga membutuhkan proses yang panjang. Serta tak sebentar. Karena itu, belajar menjadi bijaksana adalah proses panjang dan seumur hidup. 


Penutup

Ada satu lagi kelebihan yang membuatku jatuh hati dengan buku ini. Yaitu kombinasi ilustrasi yang cantik dan berwarna. Membuat pembaca bisa memanjakan mata dengan kutipan yang dikemas dengan apik. 

Bahkan, daku mencatat banyak kutipan dari buku ini. Sebagai pengingat jika suatu saat menghadapi hal yang sama. 



Jadi, apa yang pembaca lakukan ketika mendapati seseorang mengomentari hidup kita? Ada bayangan enggak, kira-kira komentar apa aja yang dilontarkan pada masa kerajaan Majapahit gitu? 

Apa omongannya kayak, "berapa banyak kuda yang kau punya?" gitu kali ya? 


Postingan Terkait