Terapi Menulis Demi Memulihkan Jiwa Dan Berdamai Dengan Keadaan

Terapi menulis




Menulislah, maka namamu akan abadi. Itu adalah kalimat kutipan yang paling sering beredar. Sebuah kalimat dari sastrawan peraih Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer. 


Kutipan yang membuat banyak penulis, melahirkan karya. Dan menjadikan kegiatan menulis sebagai terapi seperti yang tertuang dalam artikel berjudul Manfaat Menulis Bagi Emak, ditulis oleh Blogger Balikpapan. Blogger Medan. 


Menulis, bukan saja sebagai sarana aktualisasi diri. Tapi, nyatanya, mampu menjadi media untuk pemulihan jiwa hingga menjadi alat untuk tetap berkarya meski memiliki keterbatasan. 


Dalam buku berjudul Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis. Ratna Dewi, sebagai penulis, menyebutkan banyak nama penulis lain yang tetap berkarya walaupun memiliki keterbatasan. 


Keterbatasan ini dalam bentuk gangguan kesehatan. Yang tentunya bisa mengganggu aktivitas manusia pada umumnya. Namun, justru dunia menulis inilah, tempat para penulis tersebut menerima kondisi dan keadaan yang terbatas ini. 



Kartu Tanda Buku



Judul : Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis

Penulis : Ratna Dewi

Halaman : 190

Cetakan Pertama : Agustus 2015

Format : Ebook Gramedia Digital

Bahasa : Indonesia

Diterbitkan oleh Elex Media Komputindo



Keterbatasan Itu Bernama Penyakit



Menulis, memang bisa menjadi media pemulihan. Bisa menjadi terapi untuk tetap semangat menjalani hidup. Tapi, bukan sebagai obat paten yang menyembuhkan segala penyakit.


Hanya saja, dengan menulis dan terus berkarya. Seseorang akan mampu menjalani hari demi hari dengan kegiatan yang lebih positif dan tentunya menghasilkan. 


Dari kegiatan menulis ini pula. Banyak pengalaman dari sang penulis, yang di kemudian hari menjadi motivasi untuk siapa saja yang juga tengah mengalami situasi terbatas. 


Mari kita berkenalan dengan mereka…. 




Kuntowijoyo



Terkejut karena membaca namanya. Salah satu bukunya berjudul Maklumat Sastra Profetik termasuk dalam buku yang sangat saya suka. 


Di sinilah saya mengenal istilah Dehumanisasi yang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Sadar atau tidak, sudah tampak dan terasa pengaruhnya. 


Dalam kehidupannya, ternyata beliau adalah wujud pelaku sosial dengan sikap paripurna. Kesempurnaannya dalam menjalankan kehidupan sosial bermasyarakat tidak pernah lepas dari ilmu - ilmu yang dipelajarinya. 


Semua itu nampak dalam karya-karyanya yang memang selalu menampilkan sosok Sosial dan Humanisme menjadi pemikat. 


Dalam kehidupannya sebagai penderita Radang Selaput Otak. Pak Kunto justru makin semangat untuk memanfaatkan waktunya dengan menulis. 


Bahkan, beberapa karyanya terbit di saat dirinya berjuang bertahan hidup bersama penyakitnya. Hingga akhir hayatnya, beliau masih tetap berusaha untuk berkarya. 




NH. Dini



Siapa yang tak kenal dengan sastrawati yang satu ini? 


Ia termasuk sastrawan perempuan yang sangat disegani. Bahkan, karyanya sudah banyak dikenal. Sebut saja Pada Sebuah Kapal atau Namaku Hiroko yang banyak menjadi sorotan dalam beberapa bincang buku. 


Karya-karyanya senantiasa menampilkan sosok perempuan yang kuat, bukan tipe yang menye-menye terhadap romantisme dan cinta. Tapi, tetap menonjolkan kelembutan serta kemandirian dari seorang perempuan. 


Kehidupannya sebagai penulis yang mengidap penyakit Hepatitis serta Batu Empedu. Direkam dengan sangat detil dalam buku berjudul Dari Rue Saint ke Jalan Lembang. 


Saya termasuk pembaca, yang belum bisa menuangkan apa-apa yang ada dalam buku tersebut. Buat saya, membaca Dari Rue Saint ke Jalan Lembang merupakan memoar yang membuat saya ikut ke dalamnya. Tapi, membuat saya bungkam ketika diminta untuk menuangkan kembali dalam tulisan. 


Dalam buku Meretas Badai Lebih Sehat Jika Menulis, yang terbit tahun 2015. Sempat membuat saya kembali mengingat peristiwa memilukan yang terjadi pada 4 Desember 2018.


Mobil yang membawa NH. Dini mengalami kecelakaan dan menjadi penyebab beliau meninggal dunia. 


Kepergiannya bahkan menjadi kesedihan para pembaca bukunya. Kenangan yang saya simpan saat itu, usai beliau berpulang. Banyak pembaca buku di Instagram, berlomba-lomba membaca buku-bukunya. 


Sebuah kegiatan untuk mengenang sosoknya. Dengan cara yang khidmat, menghanyutkan diri bersama kalimat demi kalimat dalam tulisannya. 



Gola Gong



Kalau bukan karena Balada si Roy, saya mungkin tak akan mengenal siapa Gola Gong ini. 


Seorang penulis serba bisa. Yang ternyata harus kehilangan tangan kirinya sejak ia berusia 11 tahun. Namun, keluarganya mendidik mas Gola Gong menjadi pribadi yang jauh dari kata menyerah. 


Dalam buku memoarnya berjudul Aku, Anak Matahari. Mas Gola Gong menyeritakan tentang perjuangan bapak dan ibunya membesarkannya menjadi sosok serba bisa. Menjadi lelaki yang pantang menangisi keadaan. 


Dibuktikan dari pengalaman mas Gola Gong memenangi turnamen bulu tangkis. Sampai kehidupan seterusnya menjadi penulis hingga memiliki Rumah Dunia. 



Dua Penulis Favorit Sebagai Tambahan



Keduanya tidak masuk ke dalam buku bersampul warna Merah dan Abu-abu. Dengan gambar gelombang yang menyerupai badai ini. 


Dua nama penulis lelaki yang juga memilih bertahan dengan penyakitnya. Kemudian, tetap beraktivitas dalam dunia kepenulisan. 



Arswendo Atmowiloto




Kepergiannya di tahun 2019, memang sempat membuat saya sedih. Betapa rasanya saya terlambat berkenalan dengan karya-karyanya, terutama Senopati Pamungkas. 


Namun, saya bersyukur karena sempat bertemu beliau dalam acara Asean Literary Festival. Dua kali, di tahun berbeda, saya berusaha untuk hadir dalam bincang-bincang literasi dengannya. 


Penyakit Kanker Prostat yang dideritanya. Memang merupakan penyakit yang hadir karena sudah berusia lanjut. Tapi, saya tahu bahwa beliau masih sering mengisi acara atau seminar literasi pada waktu itu. 


Ia adalah sastrawan dan budayawan yang bagi saya tidak banyak disorot kecuali karyanya yang diangkat ke sinetron atau film. Seperti Keluarga Cemara atau Canting yang dahulu pernah diangkat menjadi sinetron. 


Bagi penggemarnya. Tentu nama Senopati Pamungkas tidak pernah bisa lepas. Cerita silat pertama yang dahulu kala senantiasa ditunggu kehadirannya di media cetak. 


Masih ada beberapa karyanya yang belum saya baca. Bahkan, belum saya miliki. Dalam hati ini, saya ingin sekali membaca semua tulisannya sambil mengenangnya. 




Vabyo - Valiant Budi Yoga



Lelaki asli Bandung ini memang menetap di Bali. Dia menjadikan Bali sebagai tempat untuk meditasi dan pemulihan. 


Berkenalan dengan Vabyo melalui buku Joker. Sebuah karya yang memiliki Plot Twist terbaik! Tak disangka dan sungguh di luar dugaan. 


Menyukai tulisannya membuat saya mengikuti akun twitternya. Hingga suatu hari di tahun 2015. Ia mengalami serangan stroke. Yang membuatnya mulai takut dengan banyak hal terutama kematian. 


Siapa yang bisa menyangka, kalau penyakit ini pun diderita oleh Ayahnya? Ia kembali menuliskannya, kondisi sang ayah yang pada akhirnya lumpuh hingga sering tak mengingat apa-apa. 


Vabyo pun bercerita. Dia sempat mengalaminya. Otaknya hampir lumpuh. Kemampuan bicaranya terganggu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menjalani pola hidup sehat. 


Meninggalkan Bandung dan bisnis kuliner yang dimilikinya. Demi mendapat kehidupan yang tenang, demi kesehatan jiwa dan raganya. Ia kemudian memilih Bali, sebagai rumah keduanya. 


Ia bahkan menuliskan kisah perjuangannya dalam buku Forgotten Colors. Jangan diharapkan akan disediakan kisah kehidupan yang kaya akan motivasi. Jangan pula mengharapkan buku memoar yang penuh dengan kesedihan. 


Isinya, justru membuat kepala menggeleng. Ia tak ingin meratapinya melalui karya yang berlebihan. Tapi, ia ingin pembacanya tahu. Bahwa penyakit itu nyata dan mampu melumpuhkan otak. 




**


Itulah dua nama penulis yang merupakan penulis kesukaan saya. Dua penulis yang juga sama-sama tetap aktif dalam dunia literasi, meski penyakit membayangi kehidupan mereka. 



Penutup



Membaca buku ini sebenarnya seperti membaca berita. Atau membaca skripsi karya seseorang. Bukan termasuk buku memoar yang akan membuat kita menangis dan ikut merasakan perjuangan para penulis, dalam berdamai dengan keterbatasan mereka. 


Pada bab-bab selanjutnya, dijabarkan manfaat dari menulis. Hingga apa saja yang bisa didapat dari menulis. 




Adakah sosok terkenal yang pembaca tahu, public figure, motivator atau siapa saja. Yang juga berjuang dan berdamai dengan keterbatasan mereka? 


Postingan Terkait