Ringkasan Buku Senopati Pamungkas Bab 1 Karya Arswendo Atmowiloto

Ringkasan Buku Senopati Pamungkas Bab 1 Karya Arswendo Atmowiloto


Senopati pamungkas



BacaanIpeh - Memiliki buku ini, satu set, sudah cukup lama. Saya membelinya sekitar tahun 2013/2014 tapi baru sempat dibaca pada tahun 2019 ini. Dengan progres membaca cukup lama, karena saya benar-benar mendalami kata demi kata. Yang paling terasa membosankan tapi juga di beberapa hal cukup membuat penasaran adalah membaca bagian penjelasan gerakan silat. Dari mulai serong ke kiri, gerak tolak bumi dan segala macam yang cukup membuat visualisasi cukup menguras energi.

Maklum, saya termasuk orang yang sering memvisualkan bacaan yang saya baca agar lebih mudah dalam menyelami cerita di dalamnya. Tapi, semakin dijauhi, buku ini tuh semakin membuat penasaran dan membangun rasa rindu. Apalagi latar cerita yang dibangun masih zaman dahulu kala ketika Indonesia masih belum sah berdiri, masih dihuni oleh Raja-raja yang memiliki permasuri yang banyak.

Kehidupan mereka yang masuk keluar hutan tanpa rasa takut. Sambil menikmati deskripsi tentang Perguruan Awan yang hidup di dalam hutan. Membawa dada saya seolah penuh dengan udara yang bersih. Suara jangkrik yang kencang. Sampai langkah kaki kuda yang harus dicermati dengan baik. Karena, harga kuda sangat mahal sehingga hanya mereka yang cukup kaya, bisa menunggangi kuda.

Jadi, saat ini saya ingin menyeritakan sedikit mengenai kisah di dalam buku ini. Oh iya, sekadar informasi, kisah Senopati Pamungkas ini pertama kali diterbitkan dalam cerita bersambung di sebuah koran/majalah sekitar tahun 1970-an. Karena itu, jangan bingung kalau saat membaca kisah ini, ada orang yang usianya lebih tua darimu berkomentar mengenai Sanggrama Wijaya. Karena, mungkin mereka sudah membaca versi cerita bersambungnya.


Kartu Tanda Buku


Judul : Senopati Pamungkas #1
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Halaman : 580
Format : Buku Softcover
Bahasa : Indonesia
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9789792259544


***

Bab 1


Upasara, Ngabehi Pandu dan Wildana sampai di sebuah desa yang tak bisa dikatakan desa. Karena, tidak ada satu bangunan rumah pun di tempat tersebut. Namun, nyatanya desa tersebut merupakan tempat tinggal para ksatria silat dari Perguruan Awan yang dikenal dengan perguruan aneh dan unik. Wildana-lah yang memandu ke tempat ini. Dengan tujuan untuk bertemu dengan Eyang Sepuh yang merupakan pendiri dan ketua dari Perguruan Awan ini.

Ketiganya disambut oleh Jaghana yang dengan rendah hati menerima kedatangan dua orang asing dan satu mantan kawan seperguruannya. Di saat penyambutan inilah, Upasara yang merupakan bocah bangsawan dengan kobaran semangat berapi-api serta mudah marah, bertanding dengan Jaghana. Dalam pertarungan yang cukup panjang tersebut, dua kali dia mengalami kekalahan. Dan dua kali pula, Ngabehi Pandu menolong Jaghana akibat ketergesaan emosi Upasara, keponakannya.

Upasara memang keponakan Ngabehi Pandu yang dididik dan diajarkan silat olehnya secara langsung. Bahkan, beliau meramu jurus silat yang hanya diajarkan pada Upasara. Jurus tersebut merupakan hasil pengalaman Ngabehi Pandu malang-melintang di dunia silat yang cukup beragam itu. Dan di tangan Upasara-lah jurus tersebut menjadi gerakan maut yang bisa membungkam lawan yang bahkan sudah cukup mahir dalam dunia persilatan.

Pertempuran antara Upasara dan Jaghana memang berakhir. Namun, siapa sangka, kedatangan dua Dewa Maut membuat Wildana dan Jaghana terluka. Hingga seseorang yang berada di dalam karung pun menyulut pertempuran yang menyebabkan salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ialah kakak seperguruan Jaghana yang diculik dan diracun oleh Dewa Maut. Dalam pertempuran tersebut, pada akhirnya mendesak Upasara untuk turun tangan. Meski kemudian Ngabehi Pandu-lah yang cukup cepat menangkis racun yang dilemparkan Dewa Maut saat dia menghilang.

Di bab pertama ini, saya benar-benar seperti diajak menyaksikan langsung pertempuran para tokoh dalam kisah Senopati Pamungkas. Pasalnya, setiap gerakan disampaikan dengan detil dan cara om Arswendo membangun latar cerita hingga keseluruhan dialog membuat semuanya seolah hidup dan berada di depan saya.


Bab 2


Memuat pertempuran yang paling lama bagi saya. Diawali dari Upasara yang mengintip dari balik pepohonan. Yang membuatnya terkejut karena ada beberapa kelompok orang berkumpul. Deretan kakak beradik penunggu Gunung Semeru. Kemunculan, Dewa Maut yang memicu keributan. Serta Senamata Karmuka yang datang bersama para Senopati terbaiknya dan prajurit dari keraton lainnya. Juga, kehadiran Jagaddita dan Gendhuk Tri serta Pu'un.

Pertempuran awalnya dipicu oleh pernyataan Gendhuk Tri yang menyiratkan bahwa dirinya mengenal Eyang Sepuh dan mengetahui kemana perginya sang Eyang Sepuh ini. Beberapa kelompok berusaha untuk mencari tahu perihal Tamu Dari Negeri Sebrang yang ternyata sudah tersebar luas. Akibat pernyataan tersebut dan sindiran Gendhuk Tri, terpiculah pertempuran yang akhirnya mengikut-sertakan Upasara di dalamnya.

Yang tidak diduga, ketika Senamata Karmuka meluncurkan anak panahnya ke balik semak-semak, yang membuka kenyataan bahwa mereka semua yang hadir mencari tahu mengenai Tamu Dari Negeri Sebrang telah dikepung oleh pasukan pemberontak Raja Gelang-Gelang. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang ahli silat yang memiliki jurus sakti Sindhung Aliwawar, Ugrawe yang sering menyebut dirinya sebagai Pujangga Pamungkas.

Siapa sangka, kehadiran pasukan pemberontak yang ingin merebut tahta Baginda Raja Kertanegara dan meruntuhkan Keraton Singosari ini menjadi pertempuran yang cukup lama dan memakan banyak korban. Upasara sendiri hampir meninggal, namun selamat karena ditolong oleh saudara kandung pamannya. Yang sebelumnya berhadap-hadapan dan bertempur karena mencari tahu siapa Tamu Dari Negeri Sebrang dan di mana Eyang Sepuh berada. Akhirnya justru memutar balik kemudi menjadi satu tim yang saling menolong. Kecuali Dewa Maut yang masih saja fokus pada Padmamuka, dimana kemudian tubuhnya roboh akibat keluar dari lingkaran Trisula.

Upasara yang cerdik ini sempat mengecoh Ugrawe saat hendak berduel. Dengan teknik mengacau lawan melalui siratan pesan-pesan yang dikerahkan olehnya, membuat Ugrawe berpikir hal yang berbeda. Dan membawa Upasara pada Raja Gelang-Gelang untuk mengungkapkan cara merebut kursi kepemimpinan Kertanegara.

Pertempurannya cukup lama. Masing-masing tokoh mendapat porsi yang sesuai dalam bab ini. Apa yang mereka lakukan, siapa lawan mereka, bagaimana kelihaian jurus mereka, semua dibahas dengan cara yang begitu komplit hingga sepertinya pembaca bisa membangun imajinasi tentang adegan silat ini tanpa harus susah payah. Meski memang, sosok Upasara ini sering membuat gregetan karena terlalu polos.


Bab 3


Usai kepergian Upasara untuk mengantarkan berita. Jagaddita menyeritakan pada Gendhuk Tri mengenai Gua Lawang Sewu, tempat mereka mengatur napas. Gua tersebut dipersiapkan oleh Mpu Raganata untuk menjebak lawan yang akan menyerang Singosari. Dimana Gua ini hanya bisa dilalui sekali saja. Setelahnya tidak bisa dilalui lagi dan memiliki banyak sekali jalan keluar.

Di Bab Tiga inilah, diungkapkan kenapa Perguruan Awan memilih tempat tersebut, yang seolah tak berpenghuni. Semua itu berkat kerjasama Eyang Sepuh juga yang sudah memperhitungkan segalanya. Gua Lawang Sewu memang hanya bisa dilewati satu kali. Karena setiap lorong yang baru dilewati, maka tanah yang dipijak akan berguguran menutup dirinya sendiri.


Bab 4


Upasara yang berhasil meloloskan diri dari Gua Lawang Sewu ini akhirnya masuk ke daerah Pasar Banyu yang letaknya masih cukup jauh dari Keraton namun sering dijadikan jalur utama. Di perjalanan, beliau bertemu dengan seorang lelaki, rakyat biasa, yang membawa kotak peti berisi perlengkapan senjata. Di pasar inilah Upasara bertemu dengan Kawang Sen yang hampir dibunuh oleh seorang lelaki dimana ia adalah tangan kanan dari Baginda Raja Kertanegara.

Namun, di situlah beberapa fakta baru bisa ditelaah Upasara, bahwa banyak prajurit dan ksatria tangguh direkrut dalam pasukan Gelang-Gelang. Pemberontakan ini rupanya sudah disiapkan sejak lama. Sampai penutupan jalan di Pasar Banyu, sehingga tidak ada satupun yang mampu keluar dari tempat tersebut tanpa bantuan dari orang-orang tertentu. Selain itu, Upasara masih belum mengetahui secara menyeluruh maksud dan tujuan Ugrawe dalam siasat pemberontakan ini. Apalagi, ketika dia tahu bahwa rombongannya justru berangkat ke Kediri alih-alih langsung masuk ke Keraton Singosari.
Perjalanan menuju kembali ke Keraton sangat panjang. Upasara sampai harus berduel dokan dengan Kiai Sangga Langit. Bertemu dengan Galih Kaliki serta Nyai Demang. Dan melihat putri Dyah Muning yang merupakan putri asli Cina keturunan Kiai Sangga Langit. Di sini, Upasara diuji kepandaiannya dalam berhitung dan bersiasat.

Namun, ketika sampai di keraton. Terjadilah sesuatu yang memang sudah diramalkan oleh Jagaddita. Upasara akan kesulitan masuk dan bertemu dengan Baginda Raja. Bahkan, kini dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang memang berfungsi untuk menyiksa para penjahat berbahaya. Tapi, ada banyak hal yang masih belum dipahami olehnya. Kenapa Mahapatih mengatakan bahwa Senamata Karmuka sama sekali tak pernah menginjakkan kaki ke luar keraton? Lantas, siapa yang berada di arena pertempuran bersamanya di Perguruan Awan?

Sebenarnya, latar belakang Upasara ini cukup sering diulang-ulang mengenai kehidupannya menjalani pendidikan sebagai Ksatria Pingitan. Dimana dia sama sekali jarang keluar dari Keraton. Juga, pengalamannya yang masih belum banyak sehingga siasat pemberontakan seperti ini belum dipahami olehnya.

Di bab 4 ini, suasana pemberontakan yang cukup mencekam ditambah nama Ken Arok di bab awal disebut-sebut. Membuat saya teringat dengan novel Ken Arok yang ditulis oleh Pramoedya Ananta. Kondisi mencekamnya hingga siasat pemberontakannya cukup membuat rasa penasaran ini semakin menjadi. Setelah di bab-bab awal membuat saya kelelahan sedemikian rupa akibat pertarungan silat. Kali ini emosi saya dikuras untuk menyaksikan pemberontakan seperti apa yang disiapkan.



Bab 5


Respati, anaknya Mahapatih Keraton Singosari akan menggelar pesta pernikahannya dengan Dyah Muning usai memenangkan pertandingan yang sempat juga diikuti oleh Upasara. Di bab ini, hubungan antara Mahapatih dan anaknya tidak begitu baik. Karena, beliau tidak menginginkan Respati menjadikan Dyah sebagai permasurinya.

Pada bagian ini pula, Kawung Sen menepati janjinya pada Upasara. Yang kemudian, menjadi penampilan terakhirnya usai dihunus keris Mahapatih. Dari surat yang disalin oleh Kawung Sen inilah, berita mengenai penyerbuan Keraton diketahui. Namun, memang sudah sangat terlambat.

Kawung Sen, seorang lelaki yang buta huruf. Selama ini dia belajar silat dengan cara mendengarkan bacaan yang dibacakan oleh kedua kakaknya. Sayangnya, di pertempuran Perguruan Awan, kedua kakaknya meninggal. Sementara itu, pertemuan dengan Upasara, menjadikannya sebagai Kakang baru baginya. Meski keduanya baru saja bertemu, namun harus dipisahkan dengan begitu cepat.

Kematian Kawung Sen, membawa rasa sedih dalam diri Upasara. Kesedihan ini juga menular pada saya. Karena, Kawung Sen ini tingkahnya masih kanak-kanak sehingga dipanggil Adik oleh Upasara. Sedih, karena dia itu sebenarnya sama seperti Upasara, masih belum paham dengan apa yang terjadi nanti.


Bab 6


Ini adalah kisah terakhir dari kepemimpinan Baginda Raja Kertanegara. Yang kemudian diganti oleh kepemimpinan Jayakatwang. Baik Upasara dan Gendhuk Tri yang datang belakangan dan sempat membunuh Rawikara dalam satu gebrakan. Di sini, hadir pula Kiai Sangga Langit yang ikut membantu Ugrawe.

Jadi, dalam di balik gosip mengenai Tamu Dari Negeri Sebrang ini adalah siasat dari Ugrawe. Untuk memastikan bahwa para petinggi dan ksatria dari Keraton dan sekitarnya akan berkumpul di Perguruan Awan. Di sinilah Ugrawe akan lebih mudah memberantas mereka semua dengan penyerangan bertubi-tubi. Jika para prajurit dan senopati Keraton sudah tumbang, maka jumlah yang ada di Keraton tentu berkurang.

Kemudian, untuk menguras kembali dukungan Keraton, dibuatlah duel mencari mantu yang berhadiahkan Dyah Muning, putri Kiai Sangga Langit. Untuk apa? Untuk membuat para bangsawan dan sisa prajurit serta ksatria yang ada terluka sehingga tidak memungkinkan untuk membantu Keraton saat pemberontakan terjadi.

Yang terakhir, penutupan jalan yang memang sudah dipersiapkan sejak lama demi mencegah datangnya bantuan dari sekeliling Keraton. Dengan taktik inilah Ugrawe berhasil melumpuhkan Keraton Singosari yang di kemudian hari menjadi Keraton Bawahan yang diperintah langsung dari Daha, Kediri.
Berakhirnya Keraton Singasari bukan hanya ditandai dengan berakhirnya nama dan diucapkan dengan nama baru, akan tetapi juga membawa perubahan lain.


Bab 7


Awalnya Upasara dan Genduk Tri ingin bertemu Respati. Tapi oh tapi, di sinilah kedok Dyah Muning terungkap. Sungguh di luar dugaan pastinya kalau tidak membaca baik-baik daftar nama tokoh di bagian depan. Jadi, memang harus siap-siap menghapal nama-nama mereka yang ada di sini.



Bab 8


Ugrawe melakukan pembersihan besar-besaran dari bangsawan dan pengikut Keraton Singosari. Naiknya Jakatwang menjadi Baginda Raja serta diangkatnya Ugrawe sebagai Mahapatih, membuat banyak para pendekar dan ksatria berusaha untuk tidak terlibat dalam hal apapun.
Tapi, bagi Ugrawe, kehadiran Kiai Sangga Langit masih menjadi batu penghalang yang suatu waktu mampu menjadi penyulut gerakan pemberontakan.

Sementara itu, Ugrawe merasa aneh dan ganjil usai melihat tampaknya tulisan di dinding keraton.
Di Bab ini, terjadilah pertempuran besar-besaran yang kemudian menjadi keruntuhan kepemimpinan Jayakatwang. Jika merunut penanggalan modern, Keraton Daha yang dipimpin Jayakatwang jatuh pada 20 Maret 1293.

Bersamaan itu pula Sanggrama Wijaya berhasil memukul telak pasukan Tartar dan mengambil alih kepemimpinan. Bab ini pula yang menandakan dimulainya Kerajaan Majapahit. Serta di sini tampak pengunduran diri Upasara Wulung dari Keraton. Terutama, usai Ngabehi Pandu dan Kiai Sangga Langit gugur saat pertempuran.


Catatan : Bab 9 sampai Bab terakhir, berisi kisah tentang pertempuran di dalam Keraton hingga rasa sedih Gayatri yang merindukan Upasara Wulung. Demikian pula kondisi Upasara Wulung yang pada akhirnya memutuskan untuk diam dan tidur panjang.


Kenapa Buku Ini Patut Dibaca?



Begini, kalian mungkin ada yang tahu dengan sinetron silat di Indosiar berjudul Misteri Gunung Merapi. Atau sinetron silat lainnya yang pernah kalian ketahui. Kalau pernah melihat sekilas, buku ini membuat saya seperti menonton sinetron silat. Tapi, bukan itu saja yang membuat saya merekomendasikan buku ini agar suatu hari nanti kalian baca. Dan berharap semoga saat itu sudah tersedia versi cetakan terbarunya, karena saat ini mencari cetakan tahun 2010 ini saja sudah sangat sulit.


  • Membaca buku ini, merupakan cara yang asik dan menarik untuk mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan pada masa lampau.
  • Membaca buku ini pula bisa memberi informasi mengenai kehidupan pada masa lampau seperti suasananya seperti apa.
  • Membaca buku ini bisa membuat kita tahu bahwa strategi perang terkadang bertentangan dengan falsafah hidup para ksatria piningit.
  • Membaca buku ini kita bisa mengetahui, bahwa pencak silat pada mulanya seperti apa dan bagaimana. 
  • Membaca buku ini pun membuat saya tahu bahwa ada orang yang datang dari dataran Mongol hanya untuk mempelajari Silat.



Tapi, jika kalian masih belum menemukan keinginan untuk membaca kisah ini, jangan dipaksa. Karena, saya pun memutuskan membaca buku ini setelah hati saya tergerak dan penasaran dengan sosok Upasara Wulung. Sampai-sampai saya mencari tahu di mesin pencarian Google. Karena itulah, saya akan kembali mengutip apa yang dikatakan A.J Fikry, "Terkadang buku menemukan kita di waktu yang tepat."

Postingan Terkait