Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari
Sebenarnya, sudah menyelesaikan bacaan dari pak Ahmad Tohari yang berjudul Mata Yang Enak Dipandang sejak beberapa hari lalu.
Sudah mencatat beberapa kutipan yang memuat sesuatu yang menggelitik hati. Bahkan, memikirkan ingin menulis ini dan itu sebagai ulasan.
Tapi, nyatanya justru saking terlalu banyak yang ingin kutulis. Alhasil justru membuatku semakin sulit untuk memulainya.
Akhirnya, kuputuskan saja untuk menulis sedikit mengenai pengalamanku membaca kumpulan cerita dari buku Mata Yang Enak Dipandang.
Kartu Tanda Buku
Judul : Mata Yang Enak Dipandang
Penulis : Ahmad Tohari
Halaman : 216
Format : Ebook gramedia digital
Bahasa : Indonesia
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020300450
Mata Yang Enak Dipandang
Ini adalah cerita pendek pertama yang dipilih menjadi judul buku ini. Berkisah tentang seorang pengemis buta. Yang meminta bantuan pada seorang anak, sehat jasmani namun teramat miskin hingga harus menunggu waktu yang tepat untuk membeli es limun.
Anak yang mengantarkan si pengemis buta adalah seorang asisten. Ia yang membantu lelaki buta itu mengemis. Mengarahkan jalan. Menaiki kereta hingga memastikan mendapat tempat yang layak untuk meminta-minta.
Bersama yoyo mainannya, si anak ini menghabiskan waktu. Menanti si pengemis tua selesai bekerja. Nantinya, uang hasil meminta, akan dibagi. Seperti bayaran untuk seorang asisten saja.
Bayaran bisa berupa makan siang, minuman dingin. Atau apa saja. Bagi si anak yang bermain yoyo, sambil mengamati lelaki tua miskin itu dari jauh, apapun sama saja asalkan dia tidak kelaparan.
Yang membuat cerita ini tertancap dengan sempurna dalam ingatanku adalah mengenai deskripsi mata yang enak dipandang.
Dituliskan kalau mata yang enak dipandang adalah mata mereka yang mau memberi. Memberi dalam artian pemberian untuk pengemis tua itu dan si anak lelaki asistennya.
Lucu, bukan? Apalagi pada bagian ketika lelaki tua yang buta itu menjelaskan pada si asisten. Tentang kondisi penumpang kereta yang lebih bagus, tapi mata mereka tampak dingin menatap.
Melalui kiasan demi kiasan yang simbolis mengenai manusia. Ahmad Tohari mengajak pembaca untuk mengikuti alur kehidupan menjadi seorang peminta-minta.
Kalau dilihat kembali, latar cerita ini tentu terjadi jauh sebelum transportasi darat mengalami perubahan. Diwakili melalui kisah keduanya yang masih bisa bebas meminta-minta di kereta. Bisa masuk ke peron stasiun tanpa diminta tiket atau menempelkan kartu di mesin.
Untuk generasi masa kini, yang belum pernah merasakan naik kereta antar provinsi harus bejubel, kemudian rebutan tempat duduk meski sudah memiliki tiket.
Cerita demi cerita di dalam buku ini. Bisa memberi sedikit informasi mengenai masa lalu.
Membacanya seolah melakukan perjalanan ke masa lalu tanpa mesin waktu.
Harta Gantungan
Ada dua orang lelaki yang sama-sama sering menghabiskan waktunya di surau. Salah satunya seorang lelaki yang akrab dengan kerbau peliharaannya.
Bersama si kerbau ini, dia bekerja. Serta menghabiskan waktu di rumahnya yang sepi. Istrinya sudah lama pergi dari dunia. Sementara anak-anaknya, berada di pulau lain karena program transmigrasi.
Suatu ketika, teman si lelaki kerbau ini yang menjadi tokoh utama. Menggambarkan kondisi kesehatan lelaki kerbau yang mulai menurun akibat pembengkakan pada lehernya.
Namun, si lelaki kerbau selalu menolak untuk diajak ke dokter. Alasannya, si kerbau adalah satu-satunya Harta Gantungannya.
Harta Gantungan adalah istilah yang dipakai untuk harta seseorang di dunia di mana bisa dipakai nantinya ketika ia meninggal dunia. Entah itu untuk membayar kewajiban seperti hutang. Biaya pemakaman sampai biaya lain yang terpakai selama proses pemakaman.
Namun, di lain sisi. Harta Gantungan ini justru menjadi harta yang dinanti oleh orang lain. Karena, tuntutan kehidupan yang membuat seseorang tak lagi malu menggunakan harta gantungan milik yang meninggal.
Ada dua sisi kehidupan yang cukup berkebalikan. Di satu sisi ada seseorang yang meninggal. Di mana kematiannya justru bisa membuat orang lain bisa menyambung hidup dan melangsungkan pernikahan.
Bukankah kehidupan memang demikian?
Penutup
Untuk sementara, kucukupkan dulu cerita tentang buku ini. Semoga nanti bisa kulanjutkan cerita - cerita dari Pak Ahmad Tohari lainnya.