Master Your Pain : Sebuah Cara Berteman Dengan Kehidupan
Ada pelajaran penting yang enggak diajarkan di bangku sekolah. Baik sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Yaitu, pelajaran tentang kehidupan, bagaimana caranya agar tetap bisa bertahan hidup.
Belajar dari seorang perempuan yang merupakan pembawa berita di sebuah stasiun televisi. Membuka mata tentang hidup yang terkadang membawa rasa sakit.
Menjadi perempuan pun sering harus berhadapan dengan rasa sakit akibat stigma masyarakat tentang pendidikan. Pendidikan dan Arah Hidup Perempuan sangat relevan ditulis oleh kak Icharming. Betapa stigma ini terus menguntit perempuan hingga hidup tampak seperti beban.
Buku ini membidik rasa sakit sebagai bahasan utamanya. Rasa yang sering kita abaikan karena tidak enak. Rasa yang sering kita letakkan di sudut, namun sering membawa petaka yang amat besar.
Rasa sakit sering identik pula dengan ketidaknyamanan. Padahal, hidup adalah kumpulan rasa. Rasa bahagia, rasa sakit hingga rasa lainnya bergumul dan membentuk satu wujud bernama HIDUP.
Master Your Pain, judul buku ini, merupakan pedang dengan dua mata tajam. Keduanya mampu menyakiti dan menguliti namun juga bisa bermanfaat dan menjadi penolong.
Kartu Tanda Buku
Judul : Mastering Your Pain
Penulis : Maulida Ayu
Halaman : 122
Bahasa : Indonesia
Format : Ebook Gramedia Digital
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
Spoiler Alert
Buku ini mungkin bukan untukmu yang sedang butuh motivasi. Karena, tidak ada kalimat motivasi satu pun di dalamya. Tidak ada, sama sekali.
Buku ini, justru mengajak kita semakin memikirkan rasa sakit dan kesedihan serta kecewa yang dirasakan. Jika tak siap mengorek luka, baiknya abaikan dan tinggalkan buku ini.
Jangan sekali-kali, nekat membacanya. Jika tak ingin terluka lagi dan lagi.
Untuk membacanya, dibutuhkan pertimbangan demi pertimbangan. Karena, bagaimanapun, kita sedang menengok kehidupan seseorang yang beberapa ada yang sejalan dengan kehidupan kita.
Kalau tak siap, jangan dibaca. Tapi, jika penasaran, bisa baca ulasan ini sampai habis.
Kamu Berhak Tidak Tersenyum
Buku bersampul kuning ini cukup ceria jika dibandingkan dengan pembahasan di dalamnya. Dengan judul yang menggelitik hati, karena menampilkan rasa sakit sebagai tokoh utama. Jika dipikir kembali, persis seperti hidup ini. Campuran antara bahagia dan sedih. Kecewa dan senang. Marah dan ceria.
Siapa yang tak ingin berharap kehidupan berjalan lancar dan bahagia? Siapa yang mau berharap dikomentari buruk bahkan dianggap remeh? Siapapun pasti berharap menjadi pribadi yang banyak disukai orang lain, menjadi orang sukses tanpa susah, bahkan menjadi bahagia tanpa sedih.
Faktanya, ada kalanya hidup mengajarkan kita untuk tetap bertahan meski saat itu senyum pun tak bisa. Energi sudah mulai surut sampai-sampai menyunggingkan bibir pun sulit. Yang ada hanya ingin menangis dan menangis saja.
Bahkan, pada bab ini, Maulida Ayu menuliskan sesuatu yang tampak nyata. "Berpelukan terkadang bukan karena ada solusi tapi hanya karena nasib berkata sama buruknya."
Ada kalanya kita memeluk seseorang bukan karena orang itu punya solusi. Tapi, justru karena orang tersebut tau betapa hidupnya pernah terpuruk dan merasa kalut. Hingga berpelukan menjadi jalan terbaik mengurangi beban karena jiwa ini tak sendiri.
Rasanya, buku ini teramat suram, ya?
Begitulah. Karena, buku ini ingin mengajak pembaca yang mau memahami kehidupan secara lebih dalam. Yang tidak mengesampingkan rasa sakit. Dan mau berteman serta menjadi pemimpin yang mengelola semua rasa tersebut.
Sesuai dengan prinsip Mindfulness sebenarnya. Karena, kita diminta untuk sadar saat ini detik ini juga. Meski saat di mana kita menikmati kesadaran ini adalah saat kita merasakan sakit. Maka rasakanlah.
Faktanya, menolak rasa sakit hanya akan membuat diri kita mengelabuinya. Dengan membiarkan pikiran melayang ke tempat yang hanya dipenuhi rasa senang. Padahal, di dunia nyata rasa luka yang semakin parah dan tidak diobati hanya akan menjadi kumpulan ketidakbahagiaan.
Fokus Pada Rasa Sakit
Memikirkan rasa sakit bukan berarti tak bersyukur apalagi berarti orang yang senang berpikiran buruk. Bukan. Sangat jauh dari situ.
Menyadari rasa sakit justru menjadi jalan untuk belajar bersabar. Belajar mengikhlaskan. Belajar menerima dan berujung pada belajar bersyukur meski sedang merasa sakit.
Seorang muslim, tentu sering mendengar atau tahu mengenai ilmu sabar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, No. 1283)
Sebelumnya, mari kita kenali definisi musibah berdasarkan rasa. Apakah musibah berarti rasa senang? Bukan. Apakah rasa bahagia? Bukan juga. Atau rasa ceria? Tentu bukan.
Musibah selalu diikuti rasa sedih, sakit, duka, kalut hingga semua rasa yang tak menyenangkan lainnya. Tapi, justru kesabaran itu baru bernilai sempurna ketika sudah dilakukan ketika awal terjadinya musibah.
Pada titik inilah, kemampuan mengelola rasa sakit dibutuhkan. Kesadaran akan rasa sakit dan rasa tak menyenangkan lainnya yang menimbulkan sakit, harus ada dan dikenali serta segera ditangani oleh diri kita.
Karena sejatinya, rasa sakit bukan patokan menjadi lebih kuat. Tapi, kalau kita sudah menerima rasa sakit maka kita akan mampu menikmati sepoi angin di pagi hari dan tersenyum pada awan gelap dan badai yang menari-nari.
Ini bukan siapa yang lebih kuat. Hanya siapa yang lebih mau dan mampu berteman dengan rasa sakit.
Sisi Terbaik Dari Rasa Sakit
Allah tidak menciptakan sesuatu untuk kesia-siaan, betul kan? Karena itu, rasa sakit pun enggak hadir di dalam hidup kita hanya untuk sesuatu yang harus dihilangkan apalagi diabaikan. Tentu ada pesan yang tersemat dari hadirnya rasa sakit.
Dalam hati manusia, sehebat apapun dia terhadap sesuatu pasti ada ketidaksadaran di atas ketidakberdayaan yang dia miliki.
Ketidaksadaran ini berupa kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi di situasi dan kondisi terjepit. Atau kemampuan dalam bertahan, meski tampaknya tak mungkin. Hingga kemampuan memberdayakan sesuatu dalam situasi yang tak mendukung.
Menikmati penderitaan dalam hal ini dilakukan dengan cara berbeda. Bukan dengan menyakiti diri sendiri secara sengaja. Bukan dengan membuat diri kita sakit terus-menerus. Tapi, dengan mengubah penderitaan itu menjadi sesuatu yang luar biasa berbeda.
Sesuatu ini didasari pada nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk. Pada nilai baik, terdapat poin yang bisa dibagi menjadi tiga bagian. Poin ini bisa menentukan seberapa banyak hal yang bisa kita lakukan untuk terus berbuat baik.
Nilai baik terdiri dari :
-Perbuatan baik yang dinikmati oleh diri sendiri
-Perbuatan baik yang dilakukan dengan cara baik meski tidak begitu tulus untuk orang lain
-Perbuatan baik yang dilakukan dengan cara baik dan niat yang baik
Teringat juga akan pesan Maverick, sosok ayah dalam novel The Hate U Give yang menyeritakan mengenai rasisme. Beliau selalu berpesan pada Starr, sang anak, "Jangan Pernah Lelah Berbuat Baik."
Bahkan, jika kebaikan itu hanya bisa dinikmati oleh diri sendiri. Tetaplah berbuat baik. Bukan berarti kita egois. Tapi, karena kita menghargai diri kita sendiri yang telah bertahan hingga detik ini.
Menjadi Dewasa Berarti Menjadi Lebih Sakit Lagi
Kita sering mendengar seseorang memberi label pada orang dewasa sebagai orang yang sudah merasakan asam garam kehidupan.
Coba disimak lagi, tidak ada sebutan asam, manis, pedas, gurih, nikmat. Tidak ada. Yang ada berupa asam, yang membuat kecut dan membuat wajah kita merengut karenanya.
Serta asin, yang bisa membuat wajah terbelalak dan tak jarang membuat lidah kelu. Bahkan, jika garam dikenakan pada luka basah di tubuh, akan menimbulkan rasa perih yang luar biasa.
Ini menandakan, kedewasaan seseorang tidak dinilai dari seberapa banyak kesenangan, rasa bahagia, kemewahan dari seseorang. Tapi, justru yang dilihat adalah bagaimana ia tetap bertahan hidup ketika kehidupan menawarkan pilihan yang berada di luar dari kenyamanan kita.
Dunia tidak selalu menjadi tempat yang ramah. Kemampuan bertahan dan melanjutkan hidup adalah keahlian yang begitu penting. Ketika mampu melewati satu persatu rintangan, kita akan merasakan sesuatu yang berbeda.
Merasakan sakit bisa menjadi cara untuk kita lebih mudah berserah. Menyerahkan segala sesuatu pada Allah yang maha segala.
Penutup
Pada awal pembuka, kita akan disuguhi pernyataan. Bahwasannya, buku ini bukan untuk mereka yang mencari penyemangat. Bukan untuk mereka yang mencari pijakan dalam hidup.
Tapi, untuk mereka yang mau memahami bahwa hidup bukan berisi dengan rasa senang. Tapi, hidup juga berisi rasa sedih.
Membaca buku ini, dibutuhkan keleluasaan hati. Pikiran yang tenang. Serta kemampuan untuk menyortir kalimat demi kalimat.
Karena, terkadang, kemampuan interpretasi manusia itu berbeda. Menelaah sesuatu pun tidak bisa sembarangan. Tapi, bukan berarti buku ini sulit dibaca. Hanya saja, kita diajak berpikir bukan diajak berfoya-foya.
Apa kesan pertama pembaca, saat melihat buku bersampul kuning yang ceria ini? Adakah ekspektasi yang sejalan dengan ulasan yang ditulis? Atau justru berbeda?