Kemarau karya A.A. Navis Sebuah Sindiran Tentang Beragama

Kemarau

Usai menutup halaman terakhir dari buku elektronik yang berjudul Kemarau di aplikasi Gramedia Digital. Saya tiada hentinya berdecak kagum dengan kepiawaian A. A. Navis dalam merangkai kata dengan bentuk yang sederhana namun tetap memikat. Tampaknya, kesederhanaan itu masih memiliki daya tarik meski banyak yang mengatakan kekompleks-an sebuah karya dapat menjadikannya menjadi lebih dari sekadar berbobot. Tapi, saya urungkan pula niat untuk mengatakan bahwa sederhana akan selalu berakhir ringan tanpa bobot.

Navis menulis kisah ini pada tahun 1957. Dengan latar cerita sebuah bangsa yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya usai diduduki Belanda dan Jepang. Unsur cerita dalam buku ini pun masih kerap menyeret Kerja Rodi dan bagaimana para lelaki di masa tersebut, banyak melarikan diri agar menghindar dari kerja Rodi. Banyak pula yang melarikan diri ke desa-desa demi menyebunyikan wajah akibat kalah dalam berperang. Namun, ada pula yang mengasingkan diri ke sebuah desa demi memperbaiki diri agar mampu menebus dosa masa lalu.

Jika Anda sudah pernah membaca karya Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Tentu akan mengingat pula bagaimana sindiran terhadap para pemeluk agama, dalam hal ini pemeluk islam, dikuliti habis-habisan mengenai pelaksanaan kepercayaan mereka. Tentunya, sindiran tersebut bukan sekadar 'Ada Benarnya' saja, tapi memang nyata dan banyak yang tak sadar menjadi pelakunya. Saya bersyukur membaca Robohnya Surau Kami, karena pada akhirnya saya seolah dipaksa untuk berkaca.

Demikian pula dalam novel Kemarau ini. Yang menampilkan masyarakat yang gemar berdoa namun salah kaprah dalam penerapan ikhtiar dan kepercayaan mereka pada Tuhan. Sosok Sutan Duano menjadi model percontohan dalam novel ini. Tak hanya menguliti setiap lembar kehidupan di masyarakat sekitar Sutan Duano, tapi juga menguliti masa lalu kehidupan si Sutan Duano ini.


Menguak Sisi Gelap Baik Perempuan Maupun Lelaki


Siapa sangka kalau Navis mau dan tidak ragu menguak sisi gelap lelaki dan juga perempuan? Tidak banyak penulis lelaki yang mau membuka tabir gelap kedua manusia yang berbeda gender ini. Bahkan, seringnya lebih memberatkan pembelaan terhadap satu gender dari yang lainnya. Wajar saja bagi saya, tapi ketika Navis melakukannya, beliau mencoba mengajak banyak orang untuk bercermin dengan membagikan cerminnya dari kisah ini.

Tabir gelap lelaki yang diwakilkan oleh tradisi para Lelaki yang merantau dari desa mereka dan menjadi pedagang. Kebanyakan dari mereka tidak hanya pulang membawa baju-baju baru tapi juga kabar baru bahwa mereka sudah menikah dengan gadis-gadis belia. Dan tidak lama kemudian mereka menceraikan bini mereka dan meninggalkan anak mereka tanpa mau bersusah payah memberi nafkah banyak kepala.

"jarang sekali laki-laki yang sukses itu tetap setia pada istrinya yang pertama" ~ Hal 10

Tabir gelap perempuan di sini adalah mulut mereka yang berbisa. Mereka mampu dan berani menebarkan berita bohong mengenai seseorang demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Ini diwakilkan oleh sosok Saniah yang berani mengatakan kebohongan di depan orang yang bersangkutan. Hanya karena Saniah jatuh hati dan ingin dipinang oleh Sutan duano.
Kondisi para Janda ini seketika beringas dipicu oleh kebaikan Sutan Duano pada Acin. Mereka berbondong-bondong menuju surau untuk mengikuti pengajian Sutan Duano yang menjadi gurunya. Semua yang mereka lakukan demi satu hal : dipinang oleh Sutan Duano. Mengapa demikian?

Karena tradisi para lelaki ini yang lebih memilih merantau ketimbang memajukan usaha di desa mereka, pada waktu itu, dimana kemudian hari mereka menikah lagi dan menceraikan bini lamanya. Membuat angka Janda di desa tersebut meningkat. Selain itu, para Janda ini pun sering salah paham dengan kebaikan Sutan Duano pada mereka. Dari kasus salah paham inilah akhirnya fitnah demi fitnah mengudara bak wabah penyakit.

"bagi kebanyakan perempuan di kampung itu, perkawinan bukanlah ambang pintu kebahagiaan. Ketika malam pertama perkawinannya, dalam hatinya telah ditanaminya pula suatu cadangan sikap. Ia tidak memberikan seluruh hati dan raganya kepada laki-laki yang jadi suaminya. Karena toh pada suatu masa si suami akan menikah dengan lain perempuan." ~ Hal 30

Tapi, jangan salah, bukan hanya para wanita yang ikut menebarkan wabah fitnah ini. Di warung-warung kopi, di sudut-sudut tempat para lelaki menongkrong sambil berjudi, mereka juga ikut membuat berita bohong dan ikut pula menyebarkannya. Padahal, Sutan Duano sudah memberikan contoh agar diikuti oleh para lelaki ini agar giat bekerja. Sayangnya, mereka hanya senang berdoa dan menongkrong saja. Menunggu dan menunggu. Demikian pula para wanitanya, gemar menunggu dan menunggu tanpa mau ikut turun merawat sawah mereka.

"di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat." ~ hal 9


Mengungkapkan Bagaimana Penerapan Ikhtiar Dan Keyakinan Pada TakdirNya Dalam Keseharian


Begini, kondisi masyarakat di desa ini sangat memprihatinkan. Sesuai dengan judul novel ini KEMARAU, kondisi di desa yang ditempati Gudam ini tengah dilanda kekeringan yang sangat parah. Masyarakat di desa sudah melaksanakan solat meminta hujan. Sudah melaksanakan selametan demi hujan turun. Bahkan sampai meminta para dukun turun tangan namun hujan tak juga turun.

Di sini Sutan Duano memiliki ide yang memang cukup berat bagi masyarakat sekitar. Beliau memberikan contoh bagaimana agar sawah mereka tetap hijau meski kemarau. Bagaimana sawah mereka tetap bisa tumbuh meski kekeringan melanda. Tapi, dengan cara yang cukup besar usahanya, yaitu mengangkut air dari danau.

Di sinilah, Sutan Duano berpikir bahwa orang-orang di sini hanya mau enaknya saja. Tidak menggunakan akal pikiran mereka untuk tetap berusaha meski kondisi keterbatasan membuat mereka hampir putus asa. Dari sinilah, tampak jelas, mereka hanya ingin menunggu Tuhan memberikan mereka rezeki tanpa mau bersusah payah berusaha.

Tidak hanya itu, mengenai percaya pada takdir. Ini dijelaskan dengan sederhana melalui kehidupan Sutan Duano yang hijrah. Bukan sekadar hijrah dari satu tempat ke tempat lain saja. Tapi, juga hijrah menjadi sosok yang ingin mendekatkan diri dengan Tuhan.


"tujuan hidup adalah kedamaian hati, tidak berbuat dosa tapi banyak membuat pahala." ~ Hal 12


Penerapan percaya pada takdir inilah yang juga ditandai dengan kehadiran klimaks dalam cerita. Cukup meyakinkan dan menggolak emosional saya sebagai pembaca. Hingga rasanya tak sabar ingin terus membacanya dan mengetahuinya hingga akhir bagaimana takdir kehidupan Sutan Duano.


***


Novel Kemarau memang juga mengangkat issue Agama dalam hal ini Islam. Namun, tetap saja tidak akan mengganggu bagi Anda yang bukan beragama Islam. Karena, sebenarnya, sindiran ini berlaku bagi semua orang dan semua umat beragama. Tentunya, ada beberapa hal yang mungkin berbeda dari keyakinan pembaca. Tapi, tetap saja tidak begitu mengganggu.

Untuk bahasa, masih kental sekali rasanya logat melayunya. Tentunya, ini tidak akan membuat orang awam seperti saya ini merasa terganggu. Karena, justru saya menikmati sekali halaman demi halaman hingga bagian akhir Novel Kemarau. [Ipeh Alena]

Postingan Terkait