The Midnight Library by Matt Haig

The midnight library


 The Midnight Library, because every new life on offer here begins now. ~ Matt Haig

Buku kedua karya Matt Haig yang daku baca tahun ini. Buku yang buatku pribadi seperti jawaban dari komentar seseorang mengenai kurang detilnya bentuk depresi yang dirasakan oleh Matt. Meskipun, betul, ini adalah karya fiksi. Tapi, ada beberapa bagian yang sedikit memiliki kaitan dengan kondisi nyata Matt jika dilihat dari buku Reasons to Stay Alive. 

Walaupun ada sedikit kaitan yang membuat pembaca bisa semakin mendalami dan memahami bagaimana kondisi depresi, terutama yang pernah dialami oleh Matt. Pembaca tak perlu khawatir, karena buku fiksi The Midnight Library ini merupakan standalone. Alias berdiri sendiri dan kita akan tetap bisa menikmati walaupun belum membaca buku Reasons to Stay Alive


Kartu Tanda Buku

Judul : The Midnight Library 

Penulis : Matt Haig

Halaman : 299

Format : Ebook Kindle Amazon

Bahasa : Inggris

Diterbitkan oleh Viking

ISBN : 1786892731


Ketika Depresi Datang

Ini adalah kisah tentang seorang gadis bernama Nora yang mengalami depresi. Dikisahkan pada beberapa jam sebelum ia depresi, ia dipecat dari pekerjaannya. Dengan alasan, bahwa ia tidak seharusnya bekerja di toko musik selama belasan tahun. Ia seharusnya bekerja di tempat yang lebih baik lagi. 

Meskipun Nora tampak tidak menyadari ada kesalahan yang dia lakukan. Pemilik toko musik tempatnya bekerja, mengatakan kalau ekspresi yang muncul dari wajah Nora tampak seperti kurang menyenangkan bagi seorang karyawan yang harusnya berhadapan dengan pelanggan. 

Dalam perjalanan pulang, setelah dipecat dari pekerjaannya. Nora bertemu tetangganya, seorang lelaki tua yang sering meminta bantuan padanya untuk mengambil obat yang rutin diminum. Namun, malam itu, Mr. Banerjee mengatakan pada Nora kalau ia tak membutuhkan gadis itu karena sudah meminta bantuan dari orang lain. 

Di kamarnya, Nora berpikir keras, apa salahnya? Dia sendiri berusaha menenggelamkan dirinya pada kegiatan yang mampu membuatnya bertahan dari rasa duka setelah kepergian sang Ibu akibat kanker. Ada sedikit rasa sepi yang seketika menyeruak dalam dirinya. Namun, ia abaikan begitu saja. 

Beberapa jam sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hidup. Nora bertemu kawan lamanya yang berada di satu band dengan Nora dan adiknya, Joe. Dia adalah Ravi, yang masih merasa kecewa atas keputusan Nora meninggalkan Band. Dari percakapan dengan Ravi, Nora mengetahui kalau adiknya berada di Bedford. Namun, menurut penuturan Ravi, Joe sedang berada di situasi sulit. Sehingga ia tak singgah menemui Nora. 

Seketika kesedihan kembali bertambah. Adiknya, satu-satunya keluarga dekat yang ia miliki, justru ikut menghindar darinya di saat ia sendiri berada di situasi yang sulit. Nora akhirnya kembali ke rumah. Memutuskan untuk menenangkan diri meskipun ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa? 

Dan terakhir, ketika suara ketukan di pintu. Berasal dari sosok dokter bedah bernama Ash. Yang kemudian memberikan informasi, bahwa Volts, kucing kesayangan Nora, ditemukan mati di pinggir jalan. Berita terakhir ini adalah hal yang membuatnya semakin terpuruk. 

Keterpurukan yang ditambah dengan ketidakmampuan dan ketidaktahuan harus berbuat apa. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. 


Saat Berada Di Antara Hidup dan Mati

Nora tiba-tiba saja berada di sebuah perpustakaan. Bertemu dengan Mrs. Elm, seorang pustakawati yang sering menemaninya saat ia masih sekolah dahulu kala. Perempuan tua dengan kaos berleher tinggi dan berwarna hijau, yang menemui Nora dengan pilihan-pilihan sulit yang harus ia putuskan. 

Pertama, sebelum ia mulai memilih. Nora dihadapkan pada jejeran buku yang anehnya tidak memiliki judul. Sampulnya berwarna-warni. Serta, di perpustakaan tersebut, hanya ada Nora dan Ny. Elm di sana. 

Selanjutnya, terjadi percakapan panjang mengenai mengapa ia berada di perpustakaan tersebut? Dan apa tujuan perpustakaan itu ada? Ny. Elm menjelaskan, kalau perpustakaan itu ada karena Nora. Bentuk dari tempat antara kehidupan dan kematian yang dihadapi Nora memang berbentuk perpustakaan. Tapi, bagi orang lain, bentuknya bisa berbeda. 

Kenapa perpustakaan? Terjawab pada kutipan ini, "Between life and death there is a library." Nah, karena sebenarnya, kenangan terbaik yang Nora miliki adalah kenangannya bersama Ny. Elm selama ia sekolah dulu. Setiap pulang sekolah, ia pasti selalu mampir ke perpustakaan untuk duduk dan berbincang dengan pustakawati itu. Sambil terkadang bermain catur. 

Bahkan, ketika berita tentang kematian Ayahnya Nora, pun disampaikan oleh Ny. Elm dengan lembut. Membuat berita duka tersebut masih bisa diterima oleh Nora dengan kesadaran penuh meski terasa mengagetkan. Ny. Elm memang sosok yang senantiasa mampu membuat Nora tenang. Ia seperti sosok Ibu yang ia impikan namun tak pernah ada dalam sosok Ibu aslinya.

Beberapa buku bermunculan, namun yang paling berat adalah The Book of Regrets. Betul, buku berisi penyesalan demi penyesalan yang pernah terlintas dalam pikiran dan benak Nora. Buku itu sangat berat hingga Nora harus duduk di lantai untuk membuka dan membacanya. 

Melalui penyesalan demi penyesalan tersebut, Nora ditawari beragam buku yang memuat kehidupan ketika ia tak memiliki sebuah penyesalan. Ada satu buku kehidupan yang ia piliha, saat ia memutuskan melanjutkan profesinya sebagai perenang. Karena, di kehidupan nyata, ia memutuskan berhenti saat ayahnya sedang semangat-semangatnya. 

Kemudian, setelah ia memilihnya, seketika saja ia berada di kehidupan lain, saat Ayahnya masih hidup dan ia menjadi perenang profesional. Ia juga seorang motivator di kehidupan tersebut. Namun, ada hal lain yang membuatnya bersedih, galau dan kembali menyesal. Hingga kemudian ia kembali ke perpustakaan tersebut. 


The Midnight Library Review

Buku ini buatku pribadi, enggak begitu menakjubkan juga enggak mengecewakan. Enggak juga biasa aja sampai tak ada hal yang menarik. Tapi, memang buku ini menarik, karena penggambaran kondisi depresinya dikisahkan secara langsung. Enggak sekadar disebutkan saja. 

Orang yang sedang berada dalam kondisi depresi, sebenarnya lelah dengan banyak hal. Tapi, otak mereka penuh dengan segala macam pikiran yang akhirnya tampak kusut. Hingga sewaktu-waktu bisa menjadi hampa dan kosong. Di sinilah momen paling penting ketika seseorang dihadapi kehampaan namun harus terus berjuang untuk hidup. Kondisi kritis yang jika berhadapan dengan orang yang tak tepat, ucapan yang tepat, bisa merenggut nyawa seseorang. 

Buku bertema kesehatan mental, terutama depresi, memang sedang banyak beredar. Kalau disebut tren, tidak salah juga. Tapi, apakah kemudian tren ini dimanfaatkan dengan baik atau enggak, itulah yang membedakan mana buku yang layak dan enggak layak. 

Kondisi saat ini adalah kondisi sulit secara massal. Hingga yang tadinya buku bertema mental health ditujukan sebagai bentuk penyuluhan mengenai eksistensinya. Kini, buku tersebut tak hanya sekadar untuk pengenalan saja, tapi juga sebagai penjelasan secara gamblang melalui kisah fiksi. 

Berdasarkan pernyataan Matt, yang juga daku setujui, bahwa kondisi depresi itu masih misterius bahkan oleh yang menderitanya sekalipun. Maksudnya adalah ketika kita depresi, kita seringnya tak menyadari. Bahkan, bagi beberapa orang yang pernah mengalami depresi parah pun, kehadiran depresi selanjutnya bisa tidak disadari. 

Depresi memang bisa 'kambuhan', kalau meminjam istilah dari penyakit seperti maag. Tapi, bukan berarti kemunculannya tidak bisa dikenali lebih awal. Bisa. Tapi, semua itu membutuhkan proses panjang dimana seringnya diawali dengan pengenalan terhadap diri kita sendiri. 

Kondisi ini juga yang terjadi pada Nora, tokoh utama dalam fiksi ini. Ia berkali-kali mencoba bertahan meski tetap berpikir untuk mati. Namun, ia tak kunjung mati. Persis seperti kutipan Vabyo, "Yang ingin mati tak mati-mati, yang ingin hidup panjang umur malah cepat mati." 

Yang menarik dalam novel ini adalah keberadaan si perpustakaannya. Ada kutipan yang membuat daku memiliki interpretasi berbeda. 

"And within that library, the shelves go on for ever. Every book provides a chance to try another life you could have lived." ~ Matt Haig

Buku yang daku maksud dan terlintas adalah buku fiksi. Seperti buku ini, ada kehidupan yang seketika daku jalani saat membacanya. Atau ketika daku membaca buku Norwegian Wood, ada kehidupan Watanabe yang ikut kujalani selama proses membaca. 

Karena itulah, secara jelas memang setiap buku menyediakan beragam kehidupan yang entah bagaimana caranya, kita ikut jalani saat membacanya. Namun, bisa juga ada kehidupan di dalam buku yang bersinggungan dengan kehidupan kita di dunia nyata. Itulah kenapa terkadang kita mengatakan, sangat related dengan buku tertentu yang sudah selesai dibaca. 

Tapi, sebenarnya buku nonfiksi pun ada yang menawarkan kehidupan untuk dijalani. Terutama yang membahas tentang kisah hidup seseorang. Selama membacanya, kita pun ikut hanyut dalam kehidupan tersebut hingga terkadang bisa jadi saking terhanyutnya kita merasakan betul emosi yang hadir saat ada momen tertentu yang dihadapi oleh penulis. Hingga kita bisa bereaksi melalui ragam emosi seperti sedih, bahagia atau marah. 

Karena kata Library ini pula yang menjadi daya tarik untukku memutuskan membaca buku ini. Selain karena ditulis oleh Matt. Ternyata kisah di dalamnya memang menarik. 

Seperti yang saya sempat tulis di awal. Ada sedikit kaitan dari kisah hidup Matt. Kita pasti tau, ya. Kalau penulis fiksi pun sering memasukkan kisah nyata ke dalamnya. 

Dalam buku Reasons to Stay Alive, Matt sering menuliskan kutipan dari Henry David Thoreau. Begitupun di dalam The Midnight Library, Nora merupakan mahasiswi jurusan filsafat yang banyak mengutip pendapat Thoreau dalam setiap percakapan dan pemikirannya. Meski sesekali ada pula kutipan dari Camus. Namun, porsi Thoreau lebih banyak. 

Hal lain yang bisa dibilang hampir sama namun berbeda posisi adalah dalam kisah nyata Matt, ia menyeritakan bahwa ia sempat menemani pacarnya ketika Ibu pacarnya sedang sakit. Ia menemani kekasihnya hingga semua baik-baik saja. Dan di dalam cerita, Nora pun mengalami hal yang sama. Ketika Ibunya sakit, Dan, pacarnya Nora, menemaninya. Hingga sang ibu sempat mengatakan bahwa ia sangat beruntung memiliki Dan.

Itulah kenapa daku seperti mendapat jawaban secara penuh, melalui fiksi yang ditawarkan oleh Matt. Meski kembali daku tekankan, daku enggak benar-benar takjub tapi tetap menyatakan kalau buku ini menarik.

Penutup

"she’d studied enough existential philosophy to believe loneliness was a fundamental part of being a human" ~ The Midnight Library 

Salah satu kutipan ini kujadikan penutup. Sebagai kesimpulan bahwa buku ini menyajikan banyak sekali pilihan yang menuntut keputusan. Namun, terkadang ilmu yang kita ketahui, sering belum bisa dipahami dengan baik hingga terserap dalam setiap sendi kehidupan. 

Karena itu, sebagai pembaca, kita akan disediakan momen ketika kehidupan, apapun keputusannya, selalu menyertakan beragam kondisi. Tak selalu baik. Persis seperti buku Mastering Your Pain yang menyajikan fakta bahwa hidup memang berisi hal yang tak menyenangkan pula. 

Novel ini sebenarnya disajikan dengan cukup ringan. Sangat menarik disertai hal ilmiah tentang kehidupan paralel. Atau sedikit informasi mengenai cairnya es di kutub. Tapi, semua dikemas dengan manis semanis sampul bukunya. 

Cocok dibaca oleh pembaca yang ingin menyelami bagaimana kondisi orang yang depresi dari contoh satu kehidupan. Meski, depresi itu punya banyak sisi, warna, corak hingga variabel. Jadi, enggak bisa dipukul rata bahwa depresi itu sama. Tapi, tetap menarik jika ingin tahu, bahwa kondisi yang seperti dialami oleh Nora pun pernah dialami oleh orang lain di kehidupan nyata. 

Dan ulasan ini kututup dengan kutipan yang lebih menarik dari novel ini. 


"sometimes the only way to learn is to live." 

Postingan Terkait