Buku Kisah Seorang Pedagang Darah Karya Yu Hua

Kisah Seorang Pedagang Darah memang terdengar seperti buku yang berisi kisah menakutkan. Sebab, aku pun beranggapan demikian. Namun, ternyata ini bukanlah cerita tentang hal yang mengerikan, tapi tetap membuat ngeri sebab merekam sejarah panjang pemberontakan dan revolusi kebudayaan yang pernah terjadi di Cina.

Kengerian disajikan dalam bentuk kelaparan yang panjang, kemiskinan yang bertambah, harapan-harapan masyarakat pada masa itu yang mulai memudar. Hingga pemberontakan yang tak lagi menyisakan cahaya barang sedikit pun. Ditambah, kekerasan yang terjadi di beberapa bidang pekerjaan, membuat semua masyarakat berada di ambang kehidupan. Inilah bentuk kengerian dan ketakutan yang lebih menakutkan dari kehadiran hantu-hantu. Yaitu, hilangnya harapan untuk mendapat hidup yang layak.

Ulasan Novel Kisah Pedagang Darah

buku pedagang darah


Kisah Xu Sanguan Sebagai Penjual Darah

Dari awal kupikir novel ini kenapa lama sekali ya memunculkan ketakutan dan kengeriannya? Karena, aku masih mengira ini adalah novel tentang hantu. Namun, saat memasuki kehidupan Xu Sanguan yang sempat menjual darah, aku hanya terfokus “oh, mungkin nanti darahnya dipakai untuk minum drakula.” Sayangnya, semua itu salah. Sampai menuju pertengahan yang disajikan adalah kehidupan Xu Sanguan yang tidak bisa dibilang susah, tapi tidak juga dibilang kaya banget.

Kehidupan keluarga Xu Sanguan setelah menikah dengan Xu Yulan memang berkecukupan. Meski itu tadi, tidak cukup banget-banget, tapi untuk makan yang lumayan mengenyangkan mereka masih bisa. Kecuali, saat Xu Sanguan ingin membelikan seorang perempuan makanan yang ekstra lezat, barulah dia menjual lagi darahnya.

Sepanjang awal cerita hingga bab pertengahan, diangkat hubungan Xu Sanguan dan Xu Yulan yang terus bertengkar dan ketiga anak mereka yang akhirnya dikabarkan salah satunya bukanlah anak kandung Xu Sanguan. Di sinilah terbongkar kalau sebelum menikah, Xu Yulan pernah diperkosa oleh He Xiaoyong. Dan anak mereka yang bernama Yile ini terlihat lebih mirip He Xiaoyong dibanding Xu Sanguan.

Akibat berita tersebut, beberapa kali pertengkaran suami istri ini berkisar status anak mereka. Bahkan, dijadikan senjata yang dijadikan Xu Sanguan untuk bermalas-malasan. Perihal masalah Yile bukan anak mereka juga terus memanas, terutama saat Yile berusaha membela adiknya saat bertengkar dengan anak pandai besi. Sayangnya, gara-gara kejadian tersebut, Xu Sanguan harus menjual darah lagi demi membayar biaya pengobatan anak pandai besi yang kondisinya parah di rumah sakit.

Tak cuma sekali perihal Yile ini terus memicu keributan antara suami istri ini. Ditambah lagi saat Yile yang tidak diajak makan enak karena statusnya bukan anak kandung. Dia hanya dapat ubi bakar yang tidak cukup untuk perutnya. Setelah itu, ada lagi saat He Xiaoyong terbaring di rumah sakit, Yile diharuskan untuk memanggil nama ayahnya agar rohnya kembali. 

Namun, mulai dari bab pertengahan inilah, terekam peralihan kehidupan yang mulai memprihatinkan. Penduduk tidak lagi diperbolehkan memiliki tanah baik lahan maupun kebun. Mereka sempat diberi makan gratis selama setahun, namun sebelum itu adanya orang-orang yang merusak dan menjarah stok makanan setiap warga. Setelah setahun, akhirnya setiap warga mulai harus memberi makan diri mereka sendiri. Sementara masa saat itu sudah mulai terasa sulit.

Kesulitan di rumah Xu Sanguan juga terasa. Mereka bahkan harus memakan bubur dua kali sehari. Sisanya mereka harus merebahkan tubuh agar tidak terasa lapar. Xu Sanguan juga tidak lagi bekerja di pabrik sutra sebab kepompong yang ada sudah tidak ada. Kemiskinan terus bertambah, membuat banyak pengemis berlalu lalang. Sementara, pasokan makanan yang ada di keluarga Xu Sanguan berasal dari trik istrinya Xu Yulan yang mengirit sejak lama demi mengumpulkan beras hingga dua tempayan, sedikit demi sedikit. Itu pun akhirnya mereka jadikan bubur yang dicampur dengan jagung kering yang dijadikan tepung.

Akibat kemiskinan ini, beberapa kali pula Xu Sanguan menjual darahnya di Li Kepala Darah. Demi bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Seperti saat ia ingin sekali memberikan makanan enak untuk keluarganya. Sampai untuk pembiayaan rumah sakit Yile yang saat itu terkena penyakit hepatitis akibat bekerja terlalu keras. Dan dari masa ke masa, kisah keluarga Xu Sanguan ini merekam perubahan era di Cina hingga kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang saat itu memprihatinkan.

“Kamu tahu ini kenapa? Karena Revolusi kebudayaan sudah datang….”


Penjual Darah Seperti Apa?

Sebenarnya dalam bahasa saat ini, penjual darah itu proses donor darah. Tapi, mereka mendapat bayaran yang harganya saja bisa sampai dua kali lipat hasil panen orang-orang desa. Namun, beberapa orang kota masih menganggap menjual darah sama saja dengan menjual leluhur. Tidak banyak yang mau melakukan hal tersebut.

Sementara di pedesaan, orang yang menjual darah rutin justru dipandang sebagai orang yang kuat dan layak untuk menikahi anak-anak perempuan mereka. Sebagai anak desa yang tinggal di kota, Xu Sanguan waktu itu bahkan baru mengetahui istilah pedagang darah. Dia akhirnya mengikut jejak kedua temannya yang akan menjual darah. Dan mereka mengakalinya dengan meminum banyak air agar darah yang keluar bisa lebih banyak.

Dari darah yang dijual ini pula, Xu Sanguan bisa membeli rumah, membeli daging yang enak hingga membiayai pengobatan rumah sakit. Namun, pada masa itu, donor darah tidak umum dan masih menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. Sehingga, jual beli darah ini sangat tidak populer di kalangan orang kota.


Merekam Status Anak Perempuan

Ada satu bab yang menyeritakan tentang He Xiaoyong yang baru bisa mendengar rohnya jika dipanggil oleh anak lelakinya. Ada istilah yang cukup menyedihkan sebenarnya terkait anak perempuan.

“Anak perempuan itu kepunyaannya keluarga lain. Anak perempuan kalau kawin itu sama saja dengan air yang dibuang keluar. Anak perempuanmu naik atap dan teriak-teriak sekencang apapun dan dibawa angin sejauh apapun roh bapaknya tetap saja tidak akan dengar. “

Dari pernyataan dokter Chen inilah, menggambarkan dengan cukup singkat tapi jelas mengenai status anak perempuan di Cina. Hal ini juga pernah diangkat dalam novel Snow Flower and Secret Fan dimana anak perempuan sering dijadikan sebagai alat untuk deal bisnis, melangsungkan marga agar tidak rusak sampai pengorbanan anak perempuan agar menjadi seperti alat tukar dalam transaksi juga dibahas cukup banyak dalam novel tersebut.


Revolusi Kebudayaan Ketua Mao

“Sepanjang jalan aku pulang, aku tidak lihat satu rumah pun yang masih ada orangnya. Semua orang pergi ke jalanan. Seumur hidupku tidak pernah aku lihat begini banyak orang di jalan. Di lengan mereka ada ikatan kain warna merah.”


“...setiap kali Ketua Mao bicara, langsung ada orang yang menggubah perkataannya itu jadi lagu, langsung ada orang yang mengecatkan perkataannya itu di tembok, di tanah, di mobil, di perahu….”


“Revolusi kebudayaan ribut-ribut sampai hari ini, akhirnya aku mengerti juga Revolusi kebudayaan itu apa. Sebenarnya ya cuma saatnya buat balas dendam. Kalau dulu ada orang yang pernah menyakiti kamu, kamu tinggal tulis saja namanya di poster huruf besar, terus tempelkan di jalanan.”


“Belakangan ini tidak ada pengadilan, polisi juga tidak ada. Belakangan ini yang banyak jumlahnya ya macam-macam nama kejahatan, bebas kamu ambil yang mana saja, lalu tuliskan besar-besar di atas poster, lalu tempelkan. Beres. Kamu sudah tidak perlu repot-repot turun tangan sendiri buat balas dendam, orang lain yang nanti akan hajar musuhmu sampai mampus…”


“Ingat sekarang, tidak boleh merobek poster huruf besar mana pun. Siapa yang berani-berani merobek poster huruf besar itu sama artinya dengan anti revolusi.”


“Xu Yulan sudah diganyang dimana-mana di seluruh kota. Di pabrik sudah, di sekolah sudah, di jalan juga sudah, di lapangan itu sudah diganyang lima kali malah.”


“Mulai sekarang, kalian panggil dia Xu Yulan, jangan panggil di Mama, karena ini rapat hujat dan ganyang. Nanti sesudah rapat, kalian boleh panggil dia Mama lagi.”



Informasi Tanda Buku Yu Hua

Judul : Kisah Seorang Pedagang Darah

Penulis : Yu Hua

Halaman : 288

Format : Buku Digital

Bahasa : Indonesia Terjemahan

Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 9786020339191


Kenapa Baca Buku Ini?

Awal mula karena menganggap ini ceritanya horor atau thriller dimana darahnya akan dijadikan ini dan itu. Entah percobaan atau apapun. Tapi, nyatanya justru mengisahkan perjuangan sebuah keluarga yang enggak dibilang harmonis banget tapi juga enggak bisa dibilang enggak harmonis.

Konflik yang disediakan beda-beda, ada konflik hubungan pernikahan Xu Sanguan dan Xu Yilun. Terus merembet ke status anak bernama Yile yang konon bukan anak Sanguan. Merembet lagi ke konflik lain yaitu pergolakan masyarakat saat Revolusi Kebudayaan. Sehingga menghadirkan kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan.

Namun, di balik konflik dan sesekali ocehan yang terlampau narsis dari Xu Sanguan dan Xu Yilun. Faktanya, justru Yile masih tetap dianggap sebagai anak mereka. Meski tanggapan tentang Yile bukan anaknya Sanguan hanya berdasarkan ketidakmiripan mereka. Tapi, Sanguan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak lelaki itu.

Yang terakhir adalah perjuangan seorang ayah demi keluarganya, demi anaknya agar tetap bisa kembali sehat. Perjuangannya ini membuatku merasa terharu, karena Sanguan rela menempuh jarak yang cukup jauh demi menjual darah. 


Postingan Terkait