Tango Dan Sadimin : Kisah Romeo Dan Juliet Dengan Kearifan Lokal
Tango Dan Sadimin ini seperti bentuk cerita Romeo dan Juliet dengan kearifan lokal. Meski, kehidupan keduanya tidak akan dianggap romantis bagi sebagian orang. Tapi, kalau ditelusuri dan direnungi kembali, ada sisi romansa yang terasa ngilu dan tragis. Kesetiaan keduanya yang menghadirkan duka hingga masa lalu yang terlalu rumit. Namun, tak kuasa juga kalau hanya untuk dihukum secara moral.
Tak hanya sepasang manusia itu saja. Kisah berkelindan antara masing-masing tokoh yang memiliki hubungan dengan Tango dan Sadimin. Selayaknya keadaan di perkampungan, semua rumah yang ada di sana terikat persaudaraan. Entah itu saudara jauh, saudara kandung atau saudara tiri. Saking eratnya ikatan tersebut, sampai-sampai tak ada rahasia di antara para penduduknya.
Ada lima bagian kisah dalam buku ini. Kalau meminjam judul film akan menjadi, Drama Lima Babak Yang Bisa Bikin Belur. Tak hanya kisah sedih, sindiran, kepiluan, kemiskinan dan rasa jijik saja. Tapi, ada banyak hal logis yang tampaknya diangkat penulis dari kehidupan orang-orang di dunia nyata. Pengalaman kehidupan dilukiskan melalui masyarakat di pinggir sungai Cimanduy.
Mengapa cinta harus disertai dengan jatuh? Karena cinta butuh segala yang tiba-tiba, seperti pertemuan pertama dengan kekacauan dan bahkan penyesalan. Pertemuan yang penuh kejutan dan pikiran-pikiran yang salah. ~ Hal 76
Kartu Tanda Buku
Judul : Tango dan Sadimin
Penulis : Ramayda Akmal
Halaman : 284
Cetakan Pertama : Maret 2019
Bahasa : Indonesia
Format : Digital (Gramedia Digital)
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
ISBN Digital : 9786020628165
Keluguan Itu Membawa Petaka Atau Keberuntungan ?
Bayi perempuan malang itu terapung di atas kayu mahoni berbalut daun jati. Ketika air sungai Cimanduy naik ke permukaan dan merangsek masuk seperti tamu di pagi hari. Beberapa warga menahan lapar. Tak sedikit pula yang menahan kedinginan. Pada waktu itu, wilayah di pinggir Sungai Cimanduy masih belum terjamah oleh pembangunan apapun. Keluhan banjir memang kerap menyapa kampung ini. Tidak menyurutkan keinginan warga sekitar untuk segera hengkang dari tempat tersebut. Meski banjir sering memaksa masuk.
Kala banjir, tentu ada banyak benda yang terapung. Seperti kayu mahoni yang membawa bayi perempuan. Tak ada satupun warga yang berminat untuk menolong. Kemiskinan membuat mereka berpikir dua kali untuk menghidupi satu lagi bayi. Terkadang, makanan yang mereka punya pun belum mencukupi untuk kehidupan.
Entah bayi itu memang sudah beruntung sejak lahir. Ataukah Tuhan tidak tega dengan bayi tersebut? Karena setelah itu, kayu mahoni yang tampak menarik seorang wanita tua yang berada di rumah panggung. Dengan kaki dipasung. Membawa si bayi ke dekapannya. Apakah naluri keibuannya masih ada? Meski konon, kesadarannya sudah terkikis berganti dengan kegilaan yang membuatnya dipasung.
Siapa sangka, tindakan Nini Randa, nama wanita tua itu. Yang melumatkan makanan kemudian menjejalinya ke mulut sang bayi. Menyelamatkan bayi itu hingga tumbuh menjadi balita yang sehat. Tak jelas makanan apa saja yang diberikan oleh Nini Randa. Terkadang makanan basi, sesekali pula menjejali sang anak makanan yang rupa dan baunya seperti kotoran. Tidak ada yang bisa menjelaskan karena hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu apakah itu makanan atau kotoran.
Bayi perempuan yang terapung itu akhirnya tumbuh menjadi anak perempuan yang mandiri. Ia belajar berjalan sendiri. Belajar membedakan mana makanan dan bukan makanan. Terkadang, ia mencicipi tanah tapi kemudian ia bisa makan apa saja yang disodorkan padanya. Nini Randa sendiri, seorang wanita tua yang memiliki keahlian melepaskan kaki dan tangannya dari pasung. Hingga mampu merawat bayi tersebut hingga dua tahun. Ketika Nini Randa tua itu meninggal dunia. Membuat si anak perempuan Nini Randa ini akhirnya mewarisi namanya.
Tinggal di gubuk milik Nini Randa tua, yang sudah hampir roboh. Mendatangkan rasa simpati pada para nelayan atau pencari pasir. Keuntungan tinggal di dekat Sungai Cimanduy, membuat Nini Randa kecil terbiasa dengan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Ia akan menerima makanan yang disodorkan para nelayan atau pencari pasir yang tak tega dengan kondisinya.
Semakin beranjak besar, Nini Randa kecil tampak jarang terlihat di gubuk tersebut. Karena, ia sudah memiliki tempat yang lebih asik, yaitu Kuburan. Di komplek pemakanan inilah Nini Randa mengasah kemampuannya berkomunikasi dengan pohon pisang. Karena tak ada yang mengajarinya berbicara, Nini Randa kecil sering dianggap sebagai anak dengan kemampuan khusus. Bukan seperti superhero.
Ada kejadian yang menggemparkan saat di pemakaman seorang juragan. Nini Randa kecil yang berada di dekat kerumunan orang yang tengah mengubur jenazah sang juragan. Dibuat terkejut karena Nini Randa sibuk menunjuk-nunjuk ke atas pohon dekat kubur sang juragan. Seseorang yang penasaran akhirnya bertanya, ada apa. Karena keterbatasan bahasa, yang terdengar hanya “tang..tang...tang.” Yang kemudian diartikan kalau arwah si juragan meminta dilunaskan hutangnya.
Saat itulah, kemudian banyak orang menganggap Nini Randa memiliki indra keenam. Kehidupannya berubah menjadi remaja perempuan yang memiliki harta. Sayangnya, karena ketidak-mampuannya mengerti dan memahami fungsi uang tersebut. Membuat Nini Randa menganggap tumpukan uang atau harta sebagai bayaran dari bantuan indera keenamnya sebagai sampah belaka. Ini memang tampak seperti keberuntungan seorang Nini Randa.
Nini Randa Belajar Tentang Kerasnya Hidup
Meski, ketika ia dewasa mendatangkan banyak hal yang membuat warga kampung merasa resah. Keresahan yang diawali pertemuan pertamanya dengan seorang lelaki penambang pasir. Lelaki itu mendatangi Nini Randa yang masih menempati gubuk reyot dekat Sungai Cimanduy. Meski gubuk tersebut sudah berbeda dari sebelumnya. Gubuk yang bisa saja roboh akibat gelombang dari sungai.
Lelaki itu yang pertama kali mengenalkan pada Nini Randa apa arti birahi. Kemudian, mengambil tumpukan uang yang ada di sudut ruangan. Setelahnya, meninggalkan Nini Randa yang tergeletak dengan darah yang mengalir di antara kedua pahanya. Usai kejadian itu, Nini Randa merasakan sensasi yang baru. Ia tak mengerti apa itu, tapi di kemudian hari ada rasa rindu pada sosoknya.
Di pertemuan kedua kali, Nini Randa merasa ada gejolak aneh berdesir dalam dadanya. Ia senang tapi tak tahu harus berbuat apa, hanya seulas senyum yang tergambar di wajahnya. Usai mendorong Nini Randa ke pojokan, secepat itu pula ia mengambil lagi kantung uang yang disimpan Nini Randa. Dimana pertemuan itu adalah pertemuan terakhir.
Nini Randa kini dilihat pula sebagai perempuan yang bukan hanya diperkosa, tetapi juga kemudian ditipu. Jika ia bisa bilang bahwa ia membeli lelaki untuk mengganti pemerkosaan yang dituduhkan padanya, maka wajar ketika akhirnya ia lebih nyaman menyebut dirinya menikmati suami orang ketimbang dianggap tertipu. ~ Hal 31
Semenjak mengalami hal tersebut pertama kali. Yang muncul dalam benak Nini Randa adalah ia harus menyiapkan uang untuk mendatangkan laki-laki. Hingga muncul bisik-bisik warga sekitar kalau Nini Randa membeli seorang lelaki. Sebab, setelah pertemuan terakhir itu, Nini Randa mengandung seorang anak. Anak yang terlampau kuat sampai-sampai tak mempan dipaksa keluar dengan cara sadis sekalipun.
Kehadiran sang bayi mengharuskan Nini Randa pindah ke tempat lain. Ke wilayah yang paling dekat dengan sungai Cimanduy. Di sinilah, untuk pertama kalinya Nini Randa berkenalan dengan orang-orang proyek. Mereka bekerja untuk pembangunan bendungan di sungai tersebut.
Ia mulai belajar membuat kopi. Menyediakan singkong dan ubi. Hingga pertama kalinya mengerti bahwa tubuh dan pelayanannya seharusnya mendatangkan uang. Bukan sebaliknya, seperti ia berpikir bahwa ia harus mengumpulkan uang demi mendatangkan lelaki. Dari pemikiran inilah Nini Randa bisa membuka warung kopi yang cukup ramai.
Pertemuan dengan Mandor proyek pertama kali. Saat usianya masih belasan. Ketika ia tengah asik menyusui anaknya. Hingga kemudian diseret oleh sang Mandor ke dalam kamarnya. Membuka mata Nini Randa. Bahwa, ia bisa melayani lelaki dan mendapat uang yang banyak. Sejak saat itulah, ia membuka pelayanan bukan saja menyediakan kopi dan makanan untuk para pekerja. Tapi, pelayanan lain yang melibatkan birahi mereka. Dan, bisnisnya mulai membesar hingga menjadikan rumah Nini Randa tampak megah dibanding warga sekitar.
Ketika Nini Randa Membungkam Seorang Haji Terkenal
Bisnisnya yang kemudian berkembang pesat, membuat banyak warga resah. Para istri-istri mereka resah, kalau nanti uang bulanan dari suami mereka akan berakhir di rumah Nini Randa. Semenjak mengenal dunia yang baru. Nini Randa sibuk didatangi banyak wanita yang meminta perlindungannya. Pertama adalah Salamah yang meminta Nini Randa melindunginya dari kejaran polisi.
Salamah kemudian menuruti perintah Nini Randa untuk menjadi asistennya. Hingga kemudian, banyak para lelaki yang datang ke warung kopi menginginkan Salamah juga. Setelah itu, Nini Randa membangunkan gubuk dekat dengan rumahnya. Semakin hari, semakin banyak wanita yang datang. Semakin bertambah pula gubuk yang dibangun dekat rumah Nini Randa.
Gubuk-gubuk itu akhirnya diberi nomor. Setiap mereka yang datang dan bertransaksi akan mendapat nomor urut sebelum masuk ke dalam gubuk. Salah satu wanita dalam gubuk itu adalah Tango. Tapi, sebelum bercerita tentang Tango harus diketahui sebelumnya. Cainah, anak Nini Randa itu, dibangunkan juga gubuk yang letaknya cukup jauh dari rumah utama Nini Randa. Jadi, setiap Nini Randa melayani para pelanggannya, Cainah asik bermain di gubuknya.
Suatu hari, rumah Nini Randa didatangi seorang Haji yang kaya raya. Ia Haji terkenal yang memiliki pesantren. Santri-santrinya banyak sekali. Bisnisnya berjalan cukup maju. Kehadiran Haji Misbah ke rumah Nini Randa demi menutup bisnis yang memalukan kampung. Tapi, siapa yang dapat menyangka. Kalau Haji Misbah justru bisa dibungkam oleh Nini Randa.
Hingga tak lama usai pembungkaman tersebut. Nini Randa kembali melahirkan anak yang kemudian diletakkan di depan pintu Uwa Mono. Bayi lelaki yang tak ingin ia rawat karena kehadiran Cainah sudah membuatnya pusing bukan kepalang.
Sadimin Dan Kemampuan Yang Lebih
Tenang, Sadimin memang tak memiliki indera keenam. Dia hanya lelaki yang diceritakan mengenai asal-usulnya oleh sang Ayah dan saudara tirinya. Melalui kisah itu, ia kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Haji Misbah. Yang membuat pak Haji terkapar tidak berdaya usai mendengarnya. Hingga anak-anaknya menganggap kalau ajal sang ayah sudah di depan mata.
Dari kejadian itulah, Sadimin dipanggil oleh keluarga Haji Misbah. Karena, pak Haji sendiri menghibahkan sepetak sawah yang sangat luas. Membuat anak-anak Haji Misbah terkejut bukan kepalang. Sayangnya, keinginan anak-anak itu agar ayahnya cepat meninggal tak terwujud. Haji Misbah justru kembali sehat usai menghibahkan kekayaannya.
Sumber kekayaan Sadimin yang diberikan oleh Haji Misbah bukan main-main. Membuatnya bisa memiliki usaha toko kelontong yang cukup besar. Dari usahanya itu, ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pekerja di rumah Nini Randa. Nama gadis itu adalah Tango. Yang menempati gubuk paling ujung. Keduanya bertemu saat Tango sedang demam tinggi.
Di kesempatan pertama ia bertemu suaminya, tanpa saling menyentuh satu sama lain, ia merasakan kebahagiaan melebihi yang ia bayangkan bisa dirasakan siapa pun-kapan pun. Kini, sekalipun mereka berdampingan, tidak ada yang bergerak kecuali cicak di dinding. ~ Hal 84
Tango Yang Hidup Di Jalanan
Namanya Tango, ia dan beberapa kawannya yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Memilih menjadi musisi jalanan. Dari satu tempat ke tempat lain, memainkan musik dan bernyanyi. Hingga kehadiran mereka cukup dikenal.
Mereka tidur di kolong jembatan. Sesekali mandi di sungai yang bersih dekat tempat mereka tidur. Di situ pula Tango dan teman-temannya berkenalan dengan minuman keras. Mereka sudah terbiasa mabuk bersama. Hingga beberapa kali, Tango dan salah seorang teman wanita dalam grup itu. Harus bersedia menjadi pemuas birahi teman-teman lelaki mereka.
Sebagai bentuk setiakawan. Karena, kehidupan mereka yang selalu dibagi, baik itu senang maupun susah. Demikian pula masalah birahi. Kedua gadis itu pun bersedia melayani teman-temannya. Sampai suatu ketika, kebrutalan ketika memuaskan birahi membuat kawannya meninggal dunia. Tango kemudian melarikan diri dan berakhir di warung kopi milik Nini Randa.
Sungai Cimanduy Yang Merekam Banyak Cerita
Berlokasi di dekat Sungai Cimanduy. Beberapa kali pula sungai ini dan lingkungan sekitarnya digambarkan dengan detil. Seperti ketika Nini Randa mengingat kembali kondisi tepi sungai Cimanduy sebelum dibangun. Penduduk antara daerah sisi timur dan sisi barat yang dikenal tidak pernah berkomunikasi. Namun, antara kedua penduduk ini terjalin transaksi perdagangan yang cukup sering. Melalui pertukaran hasil panen.
Kemudian, gambaran tentang perahu-perahu pengangkut pasir. Hingga para nelayan yang timbul tenggelam di sungai dengan perahu mereka. Kala itu, banyak gadis-gadis yang sibuk di pinggir sungai. Sambil memandang dari kejauhan para penambang pasir dan nelayan. Berharap salah satu dari mereka akan meminang mereka.
Nini Randa, atau bisa diartikan sebagai Nenek Janda. Nama yang sebenarnya aneh jika dilekatkan pada anak perempuan yang tak jelas asal-usulnya. Tapi, demi penghormatan sang wanita tua di gubuknya yang telah meninggal dunia. Nama itu terus melekat pada Nini Randa muda. Jika ditelusuri lagi, kata Nini ini menggambarkan panggilan yang akrab di sekitar wilayah Jawa Barat. Sementara Randa, jika di bahasa jawa sering disebut Rondo.
Pada halaman 84, terdapat dialog yang khas kedaerahan. Yaitu, ungkapan orang Cilacap. Menegaskan bahwa lokasi cerita berada di wilayah dekat Jawa Tengah. Sementara sungai Cimanduy ini, menurut saya merupakan nama dari Sungai Citanduy yang melewati tiga kabupaten yaitu Ciamis, Cilacap dan Tasikmalaya.
Penegasan lainnya melalui beberapa kata dari bahasa Jawa. Sementara itu, kebiasaan hajatan yang digambarkan cukup banyak pada bagian Sadimin dan Ozog. Membuat saya berpikir, lokasi ini berada di wilayah perbatasan. Lagu-lagu yang dinyanyikan sang biduan dangdut ini termasuk dangdut koplo yang banyak beredar di wilayah Jawa Barat. Ini menurut pemahaman saya yang terbatas, ya.
Tentang Edukasi Seksual
Kisah Nini Randa ini mengingatkan saya pada Marni dari novel Okky Madasari berjudul Entrok. Keinginannya untuk hidup cukup tinggi. Tak kenal lelah untuk berusaha. Bahkan, di salah satu bagian, Nini Randa berusaha menanam apa saja yang bisa menghasilkan uang untuknya. Padahal, ia sama sekali tak mengenal banyak tanaman. Tapi, ia tak berhenti mencoba.
Sebab itu pula, ketika bisnis yang dibangunnya yang dinyatakan Haji Misbah melanggar norma sosial dan agama. Menjadi maju dan terus ramai. Tidak bisa dipungkiri karena hasil pembelajarannya akan hal-hal yang bahkan tidak dipelajari langsung dari seseorang atau lembaga khusus. Ia belajar dari apa yang terjadi di sekitarnya. Ia melihat kesempatan meski terlihat tampak kecil kesempatan itu.
Namun, yang paling membuat saya semakin sadar. Bahwa, apa yang dialami Nini Randa dan juga Tango itu terjadi pada banyak perempuan. Mereka tidak dikenalkan apa itu birahi. Bagaimana cara kerja birahi pada manusia. Hingga edukasi seks yang memadai.
Terutama Nini Randa, yang diasingkan oleh banyak orang. Dianggap tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan manusia pada umumnya. Membuat saya teringat dengan kasus-kasus Orang Dengan Gangguan Jiwa yang ditemui oleh dinas sosial dalam keadaan hamil. Saya tidak bercanda. Para wanita ODGJ ini, sering mengalami pelecehan seksual. Mereka bahkan tidak ada yang melindungi. Tidak ada pula yang mau membantu saat kondisi hamil dan melahirkan harus dialami oleh orang yang bahkan memiliki keterbatasan.
Memang, Nini Randa bukan Orang Dengan Gangguan Jiwa. Tapi, penggambaran bahwa kondisi ini akhirnya semakin dipersulit dengan adanya hukuman bagi siapa saja yang hendak memberikan edukasi seksual.
Begitu pula dengan Tango. Jangan salah. Anak-anak jalanan yang sering kita lihat tampak bebas. Memang mereka menganut hidup yang juga bebas. Pergaulan bebas. Tak memandang baik itu berhubungan dengan lelaki maupun perempuan.
Marital Rape Yang Dipertanyakan
Mana mungkin seorang suami bisa memerkosa istrinya? Baiklah. Saya tidak akan menerangkan dan menjabarkan penjelasannya. Saya hanya ingin bercerita dari sudut pandang Tango.
Ia dan Sadimin menikah sudah 10 tahun. Tapi, kehidupan rumah tangganya tampak sepi. Terlebih karena belum memiliki anak. Sedangkan Sadimin juga tampak enggan berdekatan dengan Tango. Membuat hatinya merasa sedih dan tersirat penyesalan dalam dirinya. Keinginan ia cukup sederhana. Bisa bergumul bersama Sadimin seperti dua sejoli.
Pada saat Tango harus memilih pekerja yang akan mengurus sawah mereka. Ditemani Mono yang merupakan saudara tiri Sadimin. Ia mengalami hal yang membuatnya bingung tapi juga tak bisa menolak. Birahinya tengah kalap karena rindu akan belaian. Sehingga, ketika Mono memerkosanya, Tango hanya terdiam.
Berita itu sampai ke telinga Sadimin. Yang sebenarnya disampaikan langsung oleh Mono. Membuat Sadimin berang dan memukuli istrinya hingga berdarah. Usai melihat Tango tersiksa, dia langsung menggauli istrinya secara brutal. Hingga organ vitalnya berdarah.
Bagian inilah yang mengingatkan saya pada fakta bahwa hal seperti ini masih banyak terjadi. Bukan sekadar cerita fiktif belaka. Apa yang disajikan oleh Ramayda merupakan bentuk tragedi yang masih menghantui banyak istri. Tanpa menghakimi ini dan itu, nyatanya memang banyak pula lelaki yang baru bisa merasakan birahi memuncak untuk menggauli istrinya. Usai melihat ketidak-berdayaan sang istri setelah dipukuli.
Ada Apa Saja Di Tango Dan Sadimin
Selain yang saya kisahkan sedikit di atas. Ada banyak lagi yang tidak saya ceritakan. Tentang Cainah yang memutuskan menggapai cintanya. Hingga kemudian, berusaha untuk hidup luntang-luntung. Kehidupan yang berat, akan membawa kita pada banyak fakta yang memang terjadi. Hingga saya berpikir, apakah ini kisah yang diangkat dari kisah nyata?
Ada juga sosok Mono yang membuat Sadimin merasa tertampar. Hingga akhirnya memperbaiki hubungan antara Sadimin dan Tango. Dimana perbuatannya sangat ganjil, tapi apa yang Sadimin yakini memang tak bisa disalahkan begitu saja. Seolah setiap tokoh di sini memiliki pembelaan masing-masing.
Demikian pula dengan keluarga pengemis. Mereka memang terkenal sebagai keluarga pengemis turun-temurun. Istilah yang disebut adalah berderma. Mereka tengah memberikan jalan pada siapa saja untuk menjadi dermawan. Dengan memberikan rezeki kepada keluarga itu. Nama pasangan pengemis tersebut adalah Sipon dan Ozog. Keduanya membawa serta dua anak yang dijadikan sebagai boneka pertunjukan.
Tak hanya itu, ada pula kisah tentang bisnis toko kelontong Sadimin. Serta, bagaimana cara bisnis minuman kerasnya bisa laku tanpa harus bersusah-payah dipromosikan. Juga tentang kisah kehidupan Haji Misbah yang dibahas di bagian akhir buku. Membawa jasad seorang Nyai, mengambang di sungai yang dingin.
Penutup
Ada kondisi kontras yang ditunjukkan pada tokoh-tokoh dalam Tango dan Sadimin. Meski, Tango tidak memutuskan untuk bunuh diri seperti Juliet. Tapi, apa yang dia lakukan demi Sadimin cukup membuat saya sering mengingat drama karya Shakespeare tersebut.
Ada tokoh yang kita bisa katakan jahat secara moral dan agama. Tapi, apa yang dia lakukan justru berlawanan dengan sosok lain. Yang digambarkan lebih taat pada agama namun memiliki ambisi yang membuatnya menjadi berlebihan. Bahkan, bisa dikatakan terlalu ke-iblis-iblis-an.
Selain membahas masalah para pekerja seksual. Tango dan Sadimin juga merekam pembangunan sungai yang ditujukan agar tidak lagi terjadi banjir. Justru malah mendatangkan permasalahan baru. Seperti, ketika para penambang pasir dan nelayan kehilangan pekerjaan mereka. Juga, berhasil merekam kehidupan para pengemis yang benar-benar membuat saya kehabisan kata-kata.
Tak heran jika novel ini masuk dalam Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2018-2019. Saya tidak ingin terlalu melebih-lebihkan penilaian terhadap novel ini. Namun, sosok Nini Randa dan Tango mewakili gambaran tentang wanita dan kehidupan mereka sebagai pemuas birahi. Kejujuran Nini Randa pada kondisinya. Penerimaan Tango pada kehidupannya. Merupakan bentuk kehidupan yang sebenarnya nyata di sekitar kita.