The Comfort Book Karya Matt Haig Buku Yang Bebas Dibaca

ulasan buku matt haig



Matt Haig merupakan penulis yang buku dan novelnya masuk ke dalam daftar rekomendasi untuk dibaca. Seperti The Comfort Book ini yang sudah diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Dan langsung aku baca melalui aplikasi Gramedia Digital. 

Buku ini berisi catatan-catatan penting yang memang tampak enggak satu tema. Tapi, berisi pengalaman yang bisa membuat semangat kembali lagi. Pengalaman ini bukan sekadar kisah pribadi Matt saja. Tapi, juga nasihat, kutipan atau kalimat inspiratif yang mampu membuat Matt kembali memupuk harapan dalam prosesnya menjalani terapi usai usahanya yang ingin mengakhiri hidup.

Untuk pembaca yang masih belum tahu, Matt Haig pernah menyeritakan kisah perjalanannya berhadapan dengan depresi. Prosesnya ini dituangkan dalam buku yang berjudul Reasons To Stay Alive. Buku yang pada akhirnya bisa membuka mata orang yang hanya percaya bahwa depresi adalah bagian dari ketidak-bersyukur-nya seseorang. Sampai kurang berimannya seseorang. 

Di buku tersebut Matt membuka tabir yang sejatinya terjadi pada orang yang berhadapan dengan depresi. Bukan tentang kurang bersyukur. Bukan pula tentang kurang iman. Juga bukan karena satu hal saja, yang sebenarnya lebih sering satu hal tersebut hanya sebuah trigger yang memantik dari hal-hal lain yang terpendam.

Selanjutnya, Matt menggambarkan juga bagaimana kondisi orang yang depresi hingga ingin bunuh diri. Dengan mengemasnya menjadi kisah fiksi pada novel berjudul The Midnight Library. Yang cocok untuk pembaca yang menyukai novel dibanding buku non fiksi. Sehingga, bisa menjangkau lebih banyak lagi orang agar mengenal dengan baik apa itu depresi.

Kartu Tanda Buku

Judul : The Comfort Book

Penulis : Matt Haig

Halaman : 276

Format : Buku Elektronik

Bahasa : Indonesia (terjemahan)

Baca di : Aplikasi Gramedia Digital

Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama

Review The Comfort Book

Jika dalam buku Reasons to Stay Alive dan novel The Midnight Library, Matt menyeritakan tentang perjuangan berhadapan dengan depresi. Maka di buku The Comfort Book ini, Matt menyajikan apa yang ia lakukan dalam proses perjuangan tersebut. Betul, The Comfort Book adalah Proses yang menyajikan hal inspiratif untuk pembaca.

Menariknya, yang ia lakukan justru sangat sederhana. Dan buku ini buatku seperti buku jurnal yang berisi hal inspiratif dimana kita juga bisa menuliskan apa yang ada di buku ini. Juga boleh mengikuti jejak Matt dengan menjadikan proses menulis sebagai media untuk healing.

Dalam buku ini yang berisi mulai dari kalimat inspiratif. Pemikiran dan opininya dalam memandang proses kehidupan. Sampai kenangan-kenangan yang memungkinkan Matt untuk bisa membaca ulang tulisannya, kemudian mengingat kembali harapannya untuk bertahan hidup. Jadi teringat dengan kutipan dalam buku Man’s Search For Meaning karya Victor Frank

“Yang penting bukan makna hidup secara umum. Melainkan makna spesifik dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu.” - Victor Frank L.

Makna hidup itulah yang menggambarkan secara lebih luas tentang apa isi dalam buku The Comfort Book ini. Semua hal yang kita rasakan dalam hidup. Baik ketika hati sedang lapang maupun terasa sempit. Itu semua adalah bagian dalam hidup yang akan terus bergantian kita rasakan. 

Seperti dalam tulisannya berjudul Ingatlah Ini Bila Sedang Susah, berisi tentang bagaimana hidup harus mau bergandengan tangan antara hal yang membuat bahagia, senang dan gembira. Bersama dengan hal yang membuat kita sedih, kecewa, marah dan kalut.

“Kita telah merasakan hal-hal lain. Kita akan merasakan hal-hal lain lagi.” - Halaman 30

Pada kalimat pertama sudah jelas jika disesuaikan dengan judul “Ingatlah Ini Bila Sedang Susah”. Bisa dikatakan kondisi seseorang pada kalimat pertama adalah kondisi ketika bergandengan dengan hal yang membuat hati terasa sedih, kecewa, marah atau kalut.

Sementara pada kalimat berikutnya yaitu kalimat kedua pada kutipan di atas. Menggambarkan bahwa setelahnya kita akan merasakan lagi rasa bahagia, senang dan gembira. Karena itulah bisa dikatakan bahwa buku ini menyimpan PROSES seorang Matt yang ingin berbagi pada pembaca bahwa hidup akan selalu membawa kita bergantian merasakan hal berbeda.

Menulis Adalah Sebuah Media 

Sebenarnya, kita sebagai manusia akan selalu menjadikan menulis sebagai media terapi. Mau seseorang itu berprofesi sebagai musisi, pemain film, sutradara atau dokter atau abri sekalipun. Media yang dipakai untuk healing tetap dengan cara menulis. 

Seorang musisi akan menuliskan lirik lagu yang membantunya untuk melepas segala riuh dalam kepalanya. Seorang sutradara akan menulis atau justru membuat film atau adegan yang terbesit dalam kepalanya demi mempertahankan sebuah makna agar ia terus bertahan hidup. Seorang tentara menggunakan media menulis untuk menyampaikan keresahan hatinya dalam sebuah surat yang entah dia kirim untuk siapa. Tapi semua profesi tentu akan sangat terbantu jika menjadikan menulis sebagai sebuah media.

Kenapa aku bisa seyakin itu? Sementara tidak ada aturan baku terkait menulis sebagai media untuk healing. 

Aku meyakininya sejak mengenal kalimat “Ikatlah Ilmu Dengan Tulisan”. Sebuah kalimat yang sebenarnya memang tujuannya berseberangan dengan maksud awal yaitu menjadikan tulisan sebagai media untuk terapi healing. Tapi, dari kalimat tersebut aku langsung terpikir, kenapa bahkan menuntut ilmu saja harus melalui proses menulis?

Hingga akhirnya hal ini membawaku pada pemikiran lain yang membuatku paham bahwa menulis, dengan menggunakan tangan di atas kertas. Merupakan proses panjang yang juga dilakukan oleh organ-organ dalam tubuh kita. Membuat organ kita bekerja secara maksimal sebagai seorang manusia.

Sehingga dalam proses menulis tersebut otak menerima stimulasi yang banyak hingga mampu bekerja secara giat. Kemudian, organ lainnya hingga peredaran darah pun bisa bekerja dengan cukup baik sesuai kondisi manusia tersebut saat itu. Dari proses inilah, kita menjadikan diri kita seperti manusia yang memang fitrahnya semua organ bekerja dengan maksimal.

Bahkan, tidak sedikit pula yang menuliskan tentang kelebihan menulis dengan menggunakan tangan dibanding dengan bantuan teknologi. Sebab, saat menulis dengan tangan saat itu kita menjadi manusia seutuhnya. 

Dan satu lagi, menulis dengan menggunakan tangan sebenarnya mengajarkan kita untuk menikmati proses. Menikmati proses. Untuk bisa menuliskan satu kalimat penuh, jemari kita harus menekan pulpen atau pensil dalam waktu yang lebih lama dari mengetikkannya di atas keyboard. Di situlah proses menikmati itu berada. Di situ pula, manusia seutuhnya yang memang semestinya menikmati proses tengah menjalankan perannya sebagai manusia.

The Comfort Book, sebuah buku yang bisa kita contoh saat menulis di buku jurnal, hal-hal yang mungkin terlintas ketika membaca halaman demi halaman di buku ini. Buku yang memang menarik dan terbukti membuat kita nyaman karena di dalamnya tidak ada paksaan, tudingan, emosi sampai kegelisahan yang bercampur aduk. Yang ada hanya kalimat demi kalimat yang membuat kita nyaman tanpa harus berpikir keras apalagi beradu pendapat dengan diri sendiri.


Postingan Terkait