The XXL Girl In Love - Ketika Penulis Marah Dengan Harapan Pembaca

Kalau bingung kenapa judul title-nya enggak sama dengan isinya? Jadi, ulasan ini sempat pernah ada di blog. Tak lama kemudian, atas kesepakatan bersama antara saya dan penulisnya. Akhirnya, tulisan tersebut diturunkan. Kenangan lama, tapi masih tetap saya perhatikan.
Kenapa? Begini, hal yang paling tidak disukai oleh sang penulis adalah kejanggalan yang saya sampaikan ada di dalam bukunya. Apalagi di dalam buku tersebut mengangkat bagian bullying yang tak cukup diselesaikan dengan pembelaan dari cowok ganteng seantero sekolah.
Waktu itu, saya benar-benar berharap agar sang penulis mau mempertimbangkan kembali. Agar solusinya bisa diberikan lebih banyak. Demi mengedukasi para pembaca bahwa kasus perundungan ini adalah masalah berat. Dan beri cara yang lebih realistis agar pembaca bisa dan mampu membela diri mereka saat tak ada satupun orang di sekitarnya yang mau membela.
Sayangnya, tulisan saya tersebut yang berisi harapan agar ke depannya lebih baik. Justru dianggap seolah saya adalah penulis sekeren Asma Nadia dan Pipiet Senja. Sehingga memberikan komentar yang dianggap menyudutkannya.
Baiklah...masalah tak pernah selesai hanya dengan menurunkan tulisan. Saya anggap, saya tetap harus bersuara untuk semua penulis di luar sana. Karena, nantinya karya mereka pun akan berhadapan dengan komentator yang meminta sesuatu. Sebuah harapan agar karyanya dapat membantu pembacanya.
Harapan Agar Ada Edukasi Mengenai Kasus Kekerasan Dalam Sebuah Buku
Saya mulai ingin menuliskan kembali mengenai komentar dari pembaca. Yang tampaknya seperti seolah buruk bagi penulis. Padahal itu adalah bentuk dari keinginan dan harapan yang mungkin memiliki kemasan tak sedap dipandang.
Dan, komentar dari seorang pembaca yang sekaligus booktuber dari Luar Negeri. Di sebuah buku berjudul The Land of Forgotten Girls. Membuat saya tergugah untuk menayangkan kembali laman yang saya sembunyikan dari publik. Mengisinya dengan kasus yang bagi saya hampir sama.
Biar agak lebih paham nantinya, kenapa ada komentar seperti itu. Saya akan ceritakan sedikit mengenai buku middle grade berjudul The Land of Forgotten Girls yang ditulis oleh Erin Entrada Kelly. Erin sendiri adalah seorang Imigran dari Filipina. Persis sama dengan kondisi Soledad dan Dominga yang merupakan tokoh dalam novel ini.
Sol dan Ming pindah ke Louisiana bersama Ayah dan Ibu tirinya bernama Vea. Tak berapa lama setelah mereka pindah ke Amerika. Sang Ayah harus kembali lagi ke Filipina karena ada urusan keluarga yang penting. Sayangnya, sampai tiga tahun lamanya, sang Ayah tak pernah kembali lagi ke Amerika.
Kehidupan bersama Ibu tirinya ini, membuat Sol dan Ming merasa tertekan. Vea sering melemparkan kata-kata kasar, merokok di depan mereka, menyediakan makanan seadanya. Karena, Vea sendiri hanya bisa bekerja sebagai pegawai di Shop and Go Mart.
Hal yang paling menyakitkan bagi Sol adalah ketika Vea menarik hidungnya hingga matanya terasa sakit. Sebuah hukuman bagi Sol karena menggunakan kamar mandi saat Vea hendak berangkat kerja. Tak hanya itu, mereka juga menerima hukuman ketika Sol dan Ming berharap bahwa Auntie Jovie itu nyata.
Dan...muncul komentar ini di Goodreads.
![]() |
sumber : https://www.goodreads.com/book/show/25685200-the-land-of-forgotten-girls |
Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Karena, hampir sama dengan keinginan saya mendapatkan pengalaman membaca yang bisa menggugah pemahaman pembaca.
Begini, di situ dituliskan, kenapa Erin sama sekali tidak menuliskan apalagi menyebutkan tindakan anak-anak yang dianiaya sang Ibu tiri. Untuk meminta pertolongan pada Child Protective Services atau kalau di Indonesia itu Komisi Perlindungan Anak.
Saya yakin, Erin akan memiliki pembelaan tersendiri. Karena, memang bukunya itu bagus untuk anak-anak. Dan banyak sudah pengulas yang setuju. Tapi, komentar ini bisa dijadikan pertimbangan untuk semua penulis.
Mengapa tidak memberikan jalan keluar atau mungkin informasi yang lebih rasional untuk pembacanya agar memiliki dampak yang nyata.
Dan Hujan Pun Berhenti
Ada yang masih ingat dengan tulisan karya Farida Susanty yang berjudul Dan Hujan Pun Berhenti? Tulisan yang banyak disukai ini pun memiliki satu komentar atau mungkin beberapa, yang menyatakan tidak sependapat dengan bukunya.
Wajar pastinya, ya. Tapi, yang saya ingin bahas dari bukunya Farida. Meski saya belum baca, baru baca yang Karena Kita Tak Saling Kenal.
Ada seorang pembaca yang menyatakan, tak satu ataupun dua orang, berhenti untuk menyakiti dan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Saat itu juga. Hingga saya berpikir, bahwa tulisan atau kisah yang tampak 'gelap' bagi banyak orang lebih baik karena berimbas nyata.
Ketimbang karya yang menampilkan seorang tokoh gadis yang mengalami perundungan. Tapi, dia masih bisa tertawa dan bahagia. Karena dia setelahnya mendapat pacar cowok ganteng. Yang saya pikirkan adalah dimana solusinya?
Fiksi memang akan terus menjadi fiksi. Tapi, bagi saya pribadi. Fiksi yang baik adalah yang memberikan setidaknya pemahaman baru bagi pembacanya. Tak hanya sekadar bacaan ala kadarnya. Itulah kenapa saya cerewet ketika tidak ditawarkan solusi dari buku yang saya baca.
Bagaimana kalau pembaca yang tengah mengalami hal serupa. Membaca karya beliau yang berisi tentang gadis gemuk dan sedang dibully. Tapi, kondisinya bahkan tidak ada satupun cowok ganteng nan keren yang menolongnya? Bahkan justru bertambah banyak yang merundungnya sebab dia tetap berpikir kalau nanti ada yang akan menolong kalau dia tetap ceria. Atau pura-pura ceria.
Jangan Terlalu Banyak Memberi Harapan
Memberi harapan pada pembaca bahwa everything is gonna be okay. Itu adalah hal wajar. Tapi, kalau sampai over, kok rasanya tak sesuai, ya?
Apalagi, saat ini di Indonesia sudah sangat banyak sekali. Karya fiksi yang ditulis oleh anak-anak muda dan mengangkat tema mentah health sampai bullying. Dengan pengemasan yang lebih mampu mengarahkan pembacanya untuk bisa bertahan dengan cara-cara sederhana tapi nyata.
Mengapa sang penulis tidak berpikir sampai ke sana, ya?
Begini, saya pernah membaca buku yang bagi beberapa pembaca tidak memiliki saran apalagi jalan keluar. Hanya kayak buku yang cerita aja, tapi kalau dilihat lagi lebih dalam. Ternyata, buku tersebut memiliki pemikiran-pemikiran khas orang tua yang merasa bahwa perkembangan dunia dan perubahan dunia ini membuatnya merasa tak nyaman.
Seolah dunia tak lagi sama seperti kala mereka masih bisa berguna. Pemikiran yang nyatanya juga banyak dialami oleh orang tua. Terutama laki-laki yang sudah tidak bisa bekerja atau mungkin tak mampu se-produktif dulu. Ada dalam pikiran mereka bahwa dunia ini seolah menolak mereka dan mengasingkan mereka.
Buku berjudul Rumah Perawan karya Yasunari Kawabata ini sempat membuat saya salah paham. Beruntungnya saya membaca buku ini sampai dua kali. Mencari celah untuk mencoba memahami dengan baik, apa yang ingin disampaikan olehnya. Dan, benar saja. Pengalaman si kakek tua dalam buku ini. Membawa kesadaran pada obrolan-obrolan kakek tua lain yang ada dalam dunia nyata.
Yang tak jarang mengatakan keinginan mereka untuk mati. Tapi, mereka tak kunjung mati. Tuhan masih memintanya untuk hidup panjang umur. Hingga mereka merasa tak nyaman lagi berada di dunia. Seolah dunia telah menelantarkan mereka hingga merasa sendirian dan senantiasa bersedih.
Harapan Pada Para Penulis Buku
Semenjak kejadian itu, saya membulatkan tekad. Untuk tidak berhenti sampai di sini. Meminta dengan caraku sendiri. Agar para penulis mau memberikan sesuatu, meski dengan kemasan berbeda. Untuk para pembacanya.
Seperti kesunyian yang ditawarkan Murakami pada pembacanya. Namun, bentuk kesunyian itu justru berubah menjadi teman bagi mereka yang juga merasakan hal yang sama.
Tak perlu menjadi seorang motivator terkenal untuk memberikan sesuatu pada pembaca. Cukuplah dengan tidak terlalu muluk-muluk menawarkan sesuatu. Sehingga pembaca dari semua usia, mampu memetik sesuatu meski yang dipetik nanti bentuknya berbeda.
Dan harapanku saat ini, semoga tahun depan saya bisa berkenalan lagi dengan banyak penulis dari beragam genre. Sepertinya, saya ingin sekali banyak membaca buku-buku Middle Grade dan Young Adult. Tak lupa masih ingin menulusuri buku-buku Indonesia lawas.
Note : Judul tak saya ganti semua. Hanya beberapa kata dihilangkan dan diganti agar lebih terlihat kaitannya dengan isi tulisan.