Book Review : Midnight Cinderella by Thu Jun - Retelling Version of Modern Cinderella
Book Review : Midnight Cinderella by Thu Jun - Retelling Version of Modern Cinderella
Belakangan ini memang tampaknya sedang marak fenomena penulis yang mengangkat cerita berdasarkan dongeng yang sering kita dengar. Kali ini, dongeng tentang gadis malang Cinderella diangkat dalam novel karya penulis lokal. Meski secara garis besar, kita mungkin sudah mengetahui bagaimana dan seperti apa kisahnya. Tapi, tetap ada sesuatu yang berbeda tentunya, yang membuat pembaca seperti saya terkekeh dan menggeleng perlahan.
Midnight Cinderella adalah nama gaun yang digunakan sebagai judul dalam tema lomba peragaan busana untuk memenangkan posisi yang sangat menarik serta uang tunai yang banyak jumlahnya. Cindy, seorang gadis yatim piatu yang tinggal bersama Ibu tirinya beserta dua saudari tirinya, mengikuti perlombaan ini demi mendapatkan uang agar bisa melunasi biaya kursusnya. Dia sendiri yang mendesain dan menjahit pakaian tersebut, ditemani dua orang lain sebagai timnya. Nuri sebagai make-up artist dan artisnya adalah Kristin, seorang model baru yang masih belum terlalu dikenal.
Bertiga mereka nekat mengikuti ajang perlombaan yang sebenarnya levelnya sudah sangat tinggi ini. Berbekal keinginan untuk memenangkan hadiah berupa uang tunai dan kesempatan untuk magang di tempat terkenal serta mendapat pengalaman berharga dalam ajang selanjutnya yaitu Fashion Show kelas atas. Nah, seperti apa dan bagaimana kehidupan Cindy selama perlombaan dan dikemas dalam bentuk seperti apa nasib Cindy bersama Ibu dan saudari tirinya itu?
Kartu Tanda Buku
Judul : Midnight Cinderella || Penulis : Thu Jun || Halaman : 460 || Cetakan pertama, Juli 2018 || Versi : Ebook Google Playbook || Bahasa : Indonesia || Diterbitkan oleh Penerbit Koru || ISBN : 9786025186080
"Klise memang, mengharapkan seorang pangeran tampan di tengah zaman ketika cinta sejati telah menjadi suatu hal yang amat langka." ~ Hal 92
Ada sosok cowok tampan, seorang fashion desainer ternama, berwajah tampan, kaku namun straight. Ini memang sangat teramat jarang sekali, pastinya. Cowok itu bernama Nathan, yang merupakan salah satu juri dalam acara perlombaan tersebut. Pertemuan mereka memang hampir mirip dengan kejadian ketika Cinderella harus segera pulang, namun saat lari ternyata sepatu kacanya tertinggal. Dan yang menemukannya adalah Nathan.
Iya, saya tahu, kalian mungkin bosan karena bisa langsung mengetahui bagaimana ini akan berakhir....
Tapi, kalian tidak perlu takut, karena kisah ini dikemas dengan cukup lumayan. Dimana kalian akan diperkenalkan dengan proses pekerjaan dalam bidang fashion desainer. Ketika Cindy, Nuri dan Kristin mendapat keberuntungan bisa bekerja di butik yang dimiliki oleh Nathan. Proses dari pembuatan ide, siapa saja orang yang bekerja dan apa saja bagian mereka, sampai bagaimana proses dan persaingan dalam industri fashion ini juga diceritakan dengan ringan namun tetap menjadikan kisah ini memiliki perbedaan.
Begitu pula dengan kondisi Cindy yang harus tinggal dengan Ibu tirinya. Apa alasan yang melatarbelakangi kehidupannya harus tinggal dengannya? Meski sebenarnya sang Ibu ini bagi saya cukup baik karena membiayai Cindy kuliah di bidang Akuntansi. Sehingga ada beberapa hal juga yang membuat saya sedikit merasa kurang.
Salah satunya.....
Alasan Ibu tirinya Cindy saat mengatakan ingin membalas dendam. Ini buat saya masih kurang logis dan rasional serta kurang kuat motivasinya. Begini, ketika seorang tokoh memutuskan untuk membenci, kenapa tidak membuatnya tampak halus dan lembut namun ternyata di balik itu ada kejahatan terselubung? Maksud saya, alih-alih menjadikan si Ibu cuma sekadar mengomel dan meminta Cindy untuk bekerja di rumahnya, kenapa tidak meminjam kekejaman versi Cinderella modern yang sudah diangkat di film layar lebar.
Selain itu, alasan Cindy yang tampaknya ingin sekali meminta belas kasih pada pembaca, namun saya justru bukannya kasihan malah justru kesal. Ini masih kurang kuat. Masih kurang bisa membangun rasa kasihan dalam diri saya. Beberapa kali justru saya menganggap Cindy ini kebangetan bodohnya dan tampak denial jadinya. Terlalu membuat-buat alasan sehingga tampaknya tokoh utamanya ini lemah dan tidak memiliki sesuatu yang hebat untuk diagung-agungkan. Alih-alih jadi sosok yang kuat, saya justru merasa kalau Kristin-lah sosok yang lebih kuat dan berkarakter. Meski dia dijadikan figur yang berlawanan.
Ini buku pertama terbitan Koru yang saya baca karena itu tadi, penasaran dengan bagaimana si penulis ini mengemasnya. Setidaknya saya bisa melihat, kebanyakan dari tulisan dari penerbit Koru ini menggunakan gaya bahasa ala terjemahan. Tidak mengapa, toh saya sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Dulu latihan membaca buku lokal gaya terjemahan itu dari novelnya Ilana Tan. Pasti sudah banyak yang tahu.
So far, bagi kalian yang suka dengan cerita yang ringan atau ingin belajar mengemas dongeng lama menjadi cerita yang lebih baru dan kekinian, novel ini bisa jadi referensi dalam menyajikan sesuatu yang ringan. [Ipeh Alena]