Book Review : Anesthetized by Nurul Izzati - Tentang Proses Move On

Book Review : Anesthetized by Nurul Izzati - Tentang Proses Move On


anesthetized nurul izzati penerbit inari


Baru kali ini saya berpikir, ini apa banget judulnya, ya? Hehehe, tapi memang benar, kok. Novel yang diterbitkan oleh Penerbit Inari ini berisi tentang salah satu tokohnya, yang masih belum bisa Move On. Tentunya, alasan sulit move on-nya ini bukan sekadar hal yang ringan, ada sesuatu yang besar yang pernah dialami oleh si tokoh bernama Ghea ini. Pengalaman yang bisa membuatnya mengalami banyak trauma hingga menutup diri dan menenggelamkan dirinya pada mimpi-mimpinya.

Meski sebenarnya ada beberapa hal yang buat saya, apa ya, kurang sreg, maklum saya terlalu menyukai karya klasik yang selalu berisi hal-hal yang realistis. Jadi, ketika berhadapan dengan sesuatu yang tampaknya tidak begitu nyata, meski mungkin saja terjadi tapi tidak semua orang bisa seberuntung itu, tetap saja mengganggu. Namun, di balik gangguan itu, saya tidak menemukan kejenuhan selama membaca novel ini. Tentunya, ini berlandaskan pikiran pribadi saya, kalau Penerbit Inari ini lebih ketat peraturannya dalam menerbitkan naskah novel. Jadi, lebih lumayan ketimbang adiknya : Penerbit Koru. Jangan sedih ya, Koru, saya yakin kalian bisa menyediakan karya yang lebih berbobot lagi.


Kartu Tanda Buku

Judul : Anesthetized || Penulis : Nurul Izzati || Halaman : 304 || Cetakan pertama, Februari 2018 || Versi : Ebook Gramedia Digital || Bahasa : Indonesia || Diterbitkan oleh Penerbit Inari || ISBN : 9786026682147



Ketika Move On Menjadi Sesuatu Yang Berat



Siapa sih yang bilang move on itu berat dan mudah? Tentunya, semua itu memang berujung pada diri kita sendiri. Gagal move on pasti memiliki pengaruh dari keinginan dalam diri kita. Entah itu kurang bulat tekadnya atau terlalu hebat mantannya. Dari pengaruh-pengaruh inilah, bekal dari sulitnya seseorang untuk bisa maju ke depan dan menyongsong hari yang penuh warna ini. Begitu pula dengan Ghea, nama tokoh perempuan dalam novel ini.


"Tuhan nggak pernah menciptakan manusia kalau cuma untuk jadi pembawa sial. Mendengar ucapan keji dari orang lain yang sebenarnya iri sama kamu cuma akan merusak hari dan kebahagiaan yang sudah kamu punya." ~ Agil, hal 119


Ghea seorang perempuan yang sedikit cuek, rada galak dan omongannya ketus. Memiliki ketakutan naik pesawat, karena sesuatu yang membuatnya trauma. Bekerja sebagai penyiar radio dalam acara yang dibuat khusus untuk menemani para Jones alias Jomblo Manes (bukan ngenes) senusantara setiap malam minggu. Dia juga masih berstatus mahasiswi abadi, karena tugas akhirnya tak kunjung selesai di bidang perhotelan.

Sementara itu, perkenalkan seseorang lelaki, dokter, straight, masih single, usianya sudah 32 tahun - bagi saya belum tua tapi sudah memasuki usia matang- , sedang mencari istri karena kalau belum menemukan pasangan, Maminya akan menyuruhnya untuk pulang ke Pontianak dan menikah dengan perempuan yang dipilihkan olehnya.

Baiklah...sebelum ini izinkan saya bernapas sedikit. Karena, entah kenapa Alam menuntun saya membaca buku yang temanya hampir mirip. Tentang cowok tampan yang tak kunjung menikah dan hampir saja dijodohin sama orangtuanya. Seperti ulasan saya dari buku My Love For You ini.

Baiklah, pertemuan pertama Agil dan Ghea bisa dikatakan tidak mulus. Karena Agil melihat Ghea yang tengah memukul-mukul motornya sambil menangis. Dia bisa melihat betapa sesaknya tangisan Ghea karena dia tahu ada beban yang harus ditanggunya melebihi dari yang dia mampu. Meski, saya tahu Tuhan tidak akan bertindak tidak adil, tapi yahh ini fiksi, Peh. Oke, kembali lagi ke pertemuan mereka yang tidak normal hingga Agil tidak bisa berkata apa-apa selain meminta KTP dan nomor telpon gadis itu sambil memastikan gadis itu sampai di tempat tinggalnya dengan selamat.

Bagi Ghea, Agil adalah lelaki tampan, penyayang yang kaku dan juga terlalu to the point. Ini nih, kadang saya juga bingung, kalau ketemu dengan orang yang di omongin langsung sering menganggap terlalu blak-blakan, tapi kalau diselimurin dia enggak ngerti. Wakakakakakak, saya juga sih sering begini, maklum saya masih satu gender dengan Ghea. Sabar ya, Gil. Tapi, memang kok, Agil ini penyabar banget dan rasanya saya jadi kepikiran kira-kira masih ada enggak ya yang seperti ini di dunia nyata, buat anak cucu saya kelak. Halah Peh, jauh amat mikirnya :D.



Sebuah Proses Untuk Menerima Dan Terus Melangkah Maju



Inilah kenapa saya katakan kalau buku ini juga berisi tentang bagaimana tokohnya bergerak maju dari kotak nyamannya. Mimpi-mimpinya memang tampak nyata, tapi setiap insan manusia membutuhkan sesuatu yang lebih nyata dari sekadar bayang semu. Itulah ketika kehadiran Agil di sisi Ghea yang kemudian sempat mengusiknya. Membuatnya ragu, kenapa bisa-bisanya dia berpikir tentang Agil, yang notabennya kaku dan dingin?

"Dek, yang namanya hubungan itu nggak ada yang cuma melibatkan satu emosi saja. Nangis mulu atau ketawa mulu. Entar dikira gila." ~ Ghea - Hal 120

Ketika kehadiran seseorang yang bisa bikin bergejolak hati. Sebenarnya itu memang pertanda, kan. Setidaknya untuk membantu seseorang melangkah maju. Memang, dalam kasusnya Ghea ini dia beruntung banget. Secara, dokter anestesis, ganteng lagi, yang deketin dia. Meski memang sih, si Ghea ini juga cantik cuma sering cuek dalam penampilan.

Buat kalian yang memang berpikir ingin bareng-bareng melangkah maju dan move on. Bisa juga loh membaca novel ini. Siapa tahu jadi semangat. Meski harus dipahami, jangan sampai milih untuk move on kalau sudah ada sosok kayak Agil. Bisa-bisa sampai lebaran Monyet juga enggak maju-maju. Serius ini mah.

Jadi, silakan buat kalian yang suka dengan genre Young Adult seperti kisah Ghea dan Agil ini. Jangan lupa dibaca, ya. Soalnya ceritanya seru.


Postingan Terkait