Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari

Lingkar tanah lingkar air


Bayangan letnan yang kubunuh sering muncul dalam rongga mataku. Tasbih dan Qur'an itu juga seakan selalu mengingatkanku bahwa pemiliknya, letnan yang sudah kubunuh itu, adalah orang yang tak seharusnya kuhabisi nyawanya. - Halaman 20

Cerita menggunakan alur maju dan mundur untuk menyeritakan bagaimana pada awalnya kisah kelompok mereka berdiri. Namun, kisah ini dibuka dengan kondisi Amid yang terengah-engah di tengah hutan. Seolah ada sesuatu yang membuatnya harus waspada pada situasi di hutan tersebut. Ia menjelaskan, bahwa sudah biasa dirinya mencuri kayu dari para pengrajin kayu yang tinggal di tengah hutan.

Namun, malam itu saat mereka akhirnya dikepung oleh tentara bersenjata. Mereka akhirnya lari pontang-panting menyelamatkan diri. Sayangnya, kondisi Kang Suyud yang memprihatinkan mengharuskan dirinya disembunyikan di tempat lain sementara teman-temannya melarikan diri.

Usai melarikan diri, Amid dan Kiram berusaha mencari keberadaan Kang suyud yang ternyata sudah meninggal. Dan yang paling mengenaskan adalah keluarga para pengrajin kayu dibunuh tanpa belas kasih oleh para tentara. Di sinilah perasaan Amid terombang-ambing. Ia merasa bersalah karena kematian keluarga para pengrajin kayu.

Kiram yang melihat ada tanda-tanda kegelisahan dalam diri Amid. Mulai mengingatkannya. Bahwa tidak mungkin untuk keluar secara baik-baik dari gerakan tersebut. Meski sebenarnya sudah banyak yang melarikan diri dan bersembunyi di pulau lain. Di wilayah para transmigran. Ini semua karena hukuman yang berlaku.

Hukuman bagi laskar darul islam yang murtad adalah hukuman mati. Murtad dalam artian, meragukan dan ingin keluar dari Darul Islam. 

Darul Islam merupakan gerakan perlawanan menolak kepemerintahan Soekarno. Dan memerangi mereka yang menolak bergabung dengan Darul islam. Bahkan, akan menyiksa mereka yang mendukung pemerintah pada masa itu. 

Kiram dan Mid, keduanya adalah teman sekolah. Sekitar tahun 1946, mereka dipanggil oleh pak Kyai. Keduanya diceritakan mengenai gerakan umat islam untuk mencegah laju Belanda menjajah kembali negeri yang baru saja merdeka ini. 

Sempat merasa terombang-ambing karena keduanya harus langsung terjun ke medan perang. Tanpa memegang senjata sama sekali. Mereka hanya disuruh membantu, begitu perintah yang didengar. Dan tugas pertama mereka adalah menebang pohon dengan kapak untuk menghalangi tentara Belanda. 

Saat itu Kiram berpikir bahwa tentara yang memegang senjata sangat keren dan gagah. Membuat Kiram berpikir, kapan ia bisa berperang dengan menggunakan senjata asli? 

Obsesinya ini membawa Kiram pada beberapa aksi perang kecil. Membuatnya tampak bangga ketika ia berhasil melumpuhkan lawan dan menyita senjatanya. Oleh pak Kiyai, Kiram diberi izin untuk memiliki senjata api tersebut. 

Sayangnya, ketika terjadi penggerebekan di sebuah rumah. Yang disangka adalah rumah tinggal Kiram dan Amid. Terjadi baku tembak yang membuat Mid terluka. Dan saat itu, ia baru tau kalau senjata Kiram tak memiliki peluru. 

Tak beberapa lama kemudian, muncul pikiran aneh dari Kiram. Ia ingin melecuti senjata milik Hanli. Lelaki keturunan tionghoa itu merupakan mata-mata. Dan Kiram merasa dendam dengan lelaki itu. Kemudian mengajak Mid untuk ikut serta menyerang Hanli saat fajar tiba. 

Melalui sudut pandang Mid, kondisi desa sebelum perang. Desa tempat Kiram dan mid tinggal sebelum perang setiap pagi adalah awal masyarakat memulai hari. Banyak yang sedari subuh, sudah turun untuk menuju pasar. 

Namun, sejak perang pecah. Kondisi desanya setiap pagi selalu senyap. Tak ada suara hewan yang sudah digembala. Bahkan, pasar-pasar pun sepi. 

Hianli adalah mata-mata Pro-Belanda. Ia sering mengadukan keberadaan para pemberontak yang anti penjajah di sekitar rumahnya. Pagi itu, Hianli pulang ditemani dua serdadu bersenjata api. Sementara Kiram dan Mid tengah bersembunyi di balik pohon beringin. 

Di sini ada momen lucu. Karena, setelah Hianli bertekuk lutut. Kemudian Ansui, anaknya Hianli, ke luar dari rumah bersama anjing mereka. Lantas Ansui menggigit tangan Kiram saat melihat ayahnya dalam bahaya. Seketika itu pula Kiram mundur dan kabur. Benar dugaan Mid, Kiram masih naksir Ansui. 

Saat keduanya tengah beristirahat. Kiram mulai menyampaikan gagasan lain. Ia mengajak Mid untuk tidak bertemu kedua orangtuanya. Agar keluarga mereka tidak menjadi bulan-bulanan tentara Belanda yang masih ada di sekitar mereka. 

Kemudian, mengajak Mid untuk membentuk kelompok bersama Jun, Jalal dan kang Suyud. Mid menerima gagasan itu sambil meminta Kiram untuk meminta izin pada pak Kiyai. 

Perbincangan dari pak Kyai membuka keoptimisan dalam diri Kiram. Pak Kyai mendukung gerakan mereka. 

"Gerakan Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar niatnya lillahi ta'ala, tujuannya wajib melaksakan memerangi kafir yang membuat kerusakan di negeri ini seperti yang sudah difatwakan Hadratus Syekh." ~ Kyai Ngumar

Setelah perbincangan dengan Pak Kyai, Kiram serta teman-temannya berpamitan. Namun, Mid masih bertahan di sana dan Pak Kyai mengatakan masih ingin berbincang dengannya. Dalam perbincangan itu, Pak Kyai memberikan penjelasan mengapa ia masih sedikit meragukan keinginan Kiram yang menolak untuk bergabung dengan tentara resmi republik.

Pak Kyai Ngumar menjelaskan mengenai sikap Suyud yang menolak bergabung hanya karena banyak tentara republik yang tak menjalankan solat. Bagi Kyai Ngumar, alasan ini masih terlalu beresiko. Namun, meski begitu Kyai Ngumar justru berpesan pada Mid.

Tetapi aku berwasiat bila sudah aman kelak, kembalilah ke desa dengan ikhlas. Atau ya itu tadi, bergabunglah dengan tentara. Tetapi kelak.” ~ Kyai Ngumar

Sekitar tahun 1948, Barisan Pemuda nama kelompok yang didirikan Kiram serta Mid ini sah menjadi Hizbullah. Mereka kemudian membaiat Kang Suyud sebagai ketuanya. Namun, semenjak mereka sudah sah menjadi barisan Hizbullah. Ketika terjun ke dalam peperangan, justru banyak tentara yang enggan untuk mendekat. Mereka bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri, sehingga hampir saja terjadi baku tembak di antara sesama.

Pada bulan Desember 1949, pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan begitu anggota Hizbullah tak lagi memiliki musuh dan seharusnya mulai melebur kembali pulang ke kampung halaman mereka. Namun, tercetuslah masalah baru ketika pemerintah justru memberi pilihan para Hizbullah ini untuk melebur bersama tentara Republik.

Hanya Amid seorang yang merasa bahagia dengan berita ini. Karena baginya berkumpul bersama tentara resmi dan mendapat gaji lebih baik daripada berdiri sendiri tanpa kondisi keuangan yang menjanjikan. Sayangnya, Kang Suyud memiliki niat lain. Ia punya gagasan tersendiri dan memilih untuk tidak setia pada Republik.

Bahkan, Kang Suyud mengajukan pendapatnya pada Kiyai Ngumar dengan menyeritakan mengenai Kartosuwiryo yang ingin mendirikan negara islam. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo hanya mau bekerjasama dengan orang-orang Islam saja. Berbeda dengan Soekarno yang bekerjasama dengan orang-orang yang bukan islam. Kang Suyud pun berapi-api menjelaskan hal tersebut dan menentang keras penjelasan Kyai Ngumar yang menjelaskan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta pun sama-sama Islam.

Kiram, Amid bahkan Jun sudah membulatkan tekad ingin bergabung dengan tentara Republik. Namun, saat mereka hendak naik kereta lokomotif yang akan membawa mereka ke tempat pelatihan. Ternyata, ada serangan mendadak dan di sana terjadi pertempuran antara Hizbullah yang menolak bergabung dengan tentara dengan pasukan Republik.

Di saat genting seperti itu, Amid kembali membawa teman-temannya untuk segera bertemu Kyai Ngumar. Baginya, meminta pendapat sang guru adalah hal yang tepat dibanding ikut terlibat dalam perseteruan yang bisa membuat jiwa melayang.

Pertemuan itu justru berakhir kurang baik. Kiram dan teman-temannya tidak menyetujui usul Kyai Ngumar untuk kembali berbaur dengan masyarakat. Hanya Amid seorang yang masih ingin mendengarkan nasihat sang Kyai. Hingga ada seseorang yang mencari Amid saat mereka berada di surau. Dan Kyai Ngumar meminta Amid untuk melanjutkan solatnya dan menyembunyikan senjatanya.

Demi menjaga Amid, Kyai Ngumar bahkan rela digiring oleh tentara Republik yang mencari mereka. Membuat Amid merasa sangat bersalah. Dan ketika ia mencari teman-temannya, barulah ia mulai mengerti bahwa Kang Suyud sudah memiliki rencana yang berbeda. Rencananya inilah yang membawa Amid serta teman-temannya bergabung dengan Darul Islam.

Sayangnya, ketika hari di mana Kyai Ngumar bebas. Saat Amid hendak menemuinya, ada bahaya mengintai. Hingga tak lama kemudian terdengar letusan senjata saat Amid melarikan diri. Di tengah kebimbangan inilah akhirnya teman-temannya mendesak Amid untuk ikut bergabung dengan Darul Islam yang akan mendirikan Negara Islam Indonesia.

Demikianlah ketika mereka akhirnya bergabung dengan Darul Islam. Kemudian, mengalami banyak tekanan karena kekurangan biaya sampai berkurangnya jumlah pasukan. Biaya yang didapat oleh gerakan ini berasal dari kegiatan meminta dari warga sekitar. Dahulu, mereka meminta dengan baik dan disambut dengan baik. Lambat laun, masyarakat mulai enggan dan mereka mulai meminta dengan cara yang cukup kasar. Sehingga keberadaan mereka mulai meresahkan masyarakat dan kini mereka pun diasingkan.

Bisa dikatakan untuk menyerah dan turun gunung, para tentara Darul Islam ini pasti sudah akan diadili oleh banyak pihak. Kegalauan inilah yang terus membayangi Amid. Rasa rindunya dengan keluarga hingga keinginan untuk berkumpul bersama sang istri dan calon anak mereka, tak terpendam lagi.

Saat itu, Amid mulai nekat untuk menemui orangtuanya. Ia mengendap-endap perlahan hingga menyelinap dari pagar yang melindungi rumah warga dari intaian tentara Darul Islam. Di rumahnya, Amid akhirnya bisa bertemu dengan sang Ibu. Air mata Emaknya itu membuat Amid ikut merasakan pilu. Ia paham bahwa selama ini kedua orangtuanya tak tau bagaimana kabar anaknya ini. 

Reuni kecil di rumah orangtuanya, membuat Amid merasa bersalah. Ayahnya yang ternyata sudah sangat menua, hingga Emaknya yang tampak mengalami kelelahan yang luar biasa. Usai makan bersama orangtuanya, Amid pun pamit dan kembali mengendap untuk pergi ke rumah Kyai Ngumar.

Di sanalah, Amid diminta Kyai Ngumar jika ingin menyerahkan diri. Mengikuti jejak Jalal melarikan diri. Kyai Ngumar meminta Amid untuk berjalan ke arah utara sampai Cirebon seorang diri. Baru kemudian melarikan diri ke Lampung. Di sana ia bisa hidup tenang.

Kyai Ngumar menasihati Amid dan menguatkan hatinya bahwa Darul Islam sama sekali tak punya harapan hidup. Bukan saja karena aparat keamanan akan menghancurkan gerakan ini sewaktu-waktu. Melainkan karena pendapat masyarakat terhadap gerakan ini sudah teramat buruk. Darul Islam sudah menjadi musuh bagi mereka.

Dengan demikian, Mid, aku tak bisa bilang apa-apa kecuali andum slamet, mudah-mudahan Tuhan menjaga keselamatanku dan keselamatanmu.” ~ Kyai Ngumar



Ulasan Lingkar Tanah Lingkar Air



Amid memang pada akhirnya menurunkan senjata. Berusaha untuk menerima cemoohan yang ditujukan padanya dan keluarganya. Ia hanya mendambakan kehidupan yang tenang sebagai warga biasa. Tak lagi ia ingin menjadi sosok lelaki yang senantiasa bersembunyi di dalam hutan.

Melalui sudut pandang Amid dan teman-temannya. Ahmad Tohari mengajak pembaca untuk menyelami betapa banyaknya anggota laskar Hizbullah yang sebenarnya ingin menolak dan menyerah. Namun, kondisi yang tak memungkinkan membuat mereka mau tak mau akhirnya bertahan.

Kisah fiksi yang dibalut dengan sejarah setelah Indonesia merdeka. Cukup untuk membawa ingatan mengenai sejarah di masa lampau. 

Ada beberapa kalimat yang menggambarkan sindiran terhadap tentara Darul Islam yang konon ingin menegakkan Negara Islam Indonesia. Saat Amid dan Kiram menguburkan Kang Suyud dengan peralatan seadanya. Tanpa persiapan kain kafan apalagi memandikan mereka. Tanpa ada ritual solat jenazah.

Saat itu, Amid menggambarkan dengan jelas, bahwa ia sama sekali tak tahu bagaimana berdoa untuk jenazah. Demikian pula dengan Kiram yang sudah mulai lupa. Membuat Amid kembali teringat kegiatan-kegiatan para tentara DI yang bahkan membunuh seorang kyai hanya karena berbeda pendapat.

Juga, bagian ketika Kiram berhasil membunuh seorang letnan. Di mana saat hendak merampas barang miliknya, ada alquran dan tasbih di kantungnya. Saat itu, teman-temannya bahkan tidak memperebutkan kedua benda tersebut.

Kondisi ini menjadi sindiran akan sesuatu yang dijunjung oleh para tentara DI, namun mereka sama sekali tidak menjalankan ajarannya. Tentara DI yang ingin mendirikan negara islam tapi nyatanya mereka sendiri bahkan jauh dari perwujudan Islam dan sikap tauladan yang diajarkan Rasulullah salallahu alaihi wassalam.

Pertentangan ini yang terus membuat Amid maju mundur untuk bertahan di dalam hutan. Membuat batinnya terus menerus terguncang karena keinginannya untuk melepaskan diri dan hidup tenang.


Tokoh Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air


Melalui perilakunya, Amid merupakan tokoh lelaki yang patuh dan sangat menghormati orangtua dan gurunya. Terbukti dari kisahnya yang masih menyempatkan diri menemui orangtuanya. Mengkhawatirkan mereka, bahkan tak ada satu kisah yang menyeritakan teman-temannya ikut mengkhawatirkan keluarga mereka.

Tak hanya itu, Amid merupakan sosok tentara yang ingin memberontak tapi tak mampu karena keadaan. Dia pula yang paling merasa senang ketika teman-temannya akhirnya setuju untuk menyerahkan diri. Bahkan, dia pula yang sangat menjaga perasaan Kyai Ngumar dan menjunjung tinggi adab hubungan antara guru dengan murid.

Dibanding dengan Suyud, seorang lelaki yang juga memahami islam. Konon, ia juga seorang ustaz. Namun, kurangnya pengalaman Suyud dalam sosial masyarakat. Membuat jalan pikirannya sempit. Ia bahkan menunjukkan ketidak-adaan adab saat berdebat dengan Kyai Ngumar. Ia membentak dan meninju meja kemudian pergi begitu saja di hadapan Kyai Ngumar yang notabennya lebih tua darinya.

Kekurangannya terhadap ilmu juga yang membuat Suyud seperti seorang lelaki yang lemah tanpa memiliki pendirian. Saat teman-temannya mencoba menyerang letnan yang mengendarai mobil. Ia seperti seorang pemimpin yang justru dipimpin oleh anak buahnya. Tak memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.

Sementara Kiram, lelaki yang berambisi. Namun, sayangnya ambisi ini hanya ditujukan untuk berperang. Dalam pikirannya, berperang dan memegang senjata adalah hal yang membuatnya merasa gagah. Bisa dikatakan, Kiram adalah sosok yang cukup mudah tersulut. Ia sering tidak memikirkan sesuatu dengan serius dan berpikiran panjang. Ia termasuk tergesa dalam memutuskan gagasannya.

Kyai Ngumar, seorang tokoh agama yang dalam kehidupan di ceritanya pun tak luput dari kesulitan. Fitnah yang ditujukan padanya sebagai bagian dari komunis, tak membuatnya melemah. Membuktikan bahwa Kyai Ngumar justru memiliki kepribadian dan kepercayaan diri yang tinggi. Pengalamannya berorganisasi dan bermasyarakat serta pengetahuan dalam agama. Membuatnya tak goyah saat kondisi tengah sulit. 

Sebagai seorang guru bagi murid-muridnya. Kyai Ngumar termasuk guru yang sangat peduli dengan mereka. Meski berkali-kali murid-muridnya ini menyakiti dan membuatnya terjerumus dalam masalah. Di usianya yang sudah menua, bahkan ia masih membuka pintu rumahnya selebar-lebarnya untuk melindungi murid-muridnya ketika mereka kembali ke masyarakat. Ia tak lagi peduli dengan cemoohan. Betapa sikapnya ini menunjukkan jiwa kepemimpinan yang kuat. Sehingga menjadi tempat berlindung Amid setiap kali ia merasakan gundah gulana.



Lingkar Tanah Lingkar Air



Tanah dan Air merupakan bagian dari kehidupan. Kedua elemen ini juga yang menopang kehidupan manusia di bumi ini. Maksud yang tertangkap dari judul buku ini adalah kisah nilai-nilai kehidupan yang melekat dalam cerita mengenai tentara Darul Islam dan kehidupan mereka selama di dalam hutan.

Maksudnya adalah Tanah dan Air adalah dua elemen yang saling bersinergi untuk memberi manfaat dalam hidup. Dalam hidup, manusia juga melekat nilai-nilai yang menjadi perwujudan tampilan siapa diri orang tersebut. Lingkar Tanah dan Lingkar Air ini pula tampak seperti sinergi antara dua tokoh yang tersirat yaitu kerjasama antara Kyai Ngumar dengan Amid. Keduanya, yang justru menolong dan menjadi jalan pembuka untuk teman-temannya yang lain.

Nilai Adab, atau perilaku para tokohnya yang terwakilkan melalui interaksi mereka dengan sesamanya. Seperti yang sudah tertulis di atas, Amid dan Kiram serta Suyud memiliki perilaku yang sangat berbeda. Amid yang masih menjunjung tinggi adab hubungan dengan gurunya. Sementara Kiram dan Suyud justru tak abai terhadap nilai ini, sehingga yang terjadi mereka justru menjadi pribadi yang mudah dipengaruhi.

Nilai Agama, yang tampak menonjol pada saat Amid dan Kiram memakamkan Suyud. Juga, ketika mereka tak memperebutkan Al Quran dan tasbih dari sitaan tubuh letnan yang mereka bunuh. Pemakaman Suyud justru tidak dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Sementara mereka adalah tentara yang tergabung dengan gerakan Negara Islam Indonesia. Bobot pemahaman Agama ini pula yang tampak antara amid dan kiram. Ketika Amid hendak mengembuskan napas terakhir, ia membaca kalimat tahlil.

Nilai Sosial atau Norma, yang berkaitan erat dengan hubungan mereka dengan masyarakat sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tentara DI sangat meresahkan warga. Karena, mereka sering meminta dengan paksa pada warga. Bahkan, tak segan untuk mengganggu dan berbuat keonaran. Seperti Kyai Ngumar yang menyeritakan pada Amid bahwa meski dibangun pagar pembatas antara hutan dengan rumah warga. Beberapa tentara yang mengaku tentara DI, menerobos paksa pagar yang sudah dibangun untuk merampas makanan dari warga.

Nilai Pengalaman, diwakili dengan membandingkan dua tokoh pemimpin yaitu Suyud dan Kyai Ngumar. Keduanya merupakan guru bagi Kiram dan Amid. Bahkan, Suyud pun dituakan karena dianggap sudah paling paham dengan ilmu agama. Namun, pengalaman Suyud dengan Kyai Ngumar jauh berbeda. Kyai Ngumar memiliki pengalaman berorganisasi dan sosial masyarakat yang sudah cukup banyak. Dibandingkan dengan Suyud yang masih minim dengan pengalaman seperti ini. Sehingga, ketika keduanya diceritakan secara terpisah, membuat sosok Kyai Ngumar justru lebih berpengalaman dibanding Suyud. Tak heran, ia tampak seperti pemimpin yang pada akhirnya justru dipimpin oleh anak buahnya.


Kartu Tanda Buku

Judul : Lingkar Tanah Lingkar Air
Karya : Ahmad Tohari
Halaman : 172
Bahasa : Indonesia
Format : Ebook Gramedia Digital
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama


Penutup


Karya - karya Ahmad Tohari selalu lekat dengan kehidupan pedesaan. Dibuktikan dengan narasi situasi dan tempat yang menggambarkan tentang suasana pedesaan. Seperti dalam narasinya di halaman 99, “aku meneruskan perjalanan melewati padang perdu, menyeberangi sungai-sungai gunung dan menembus kebun singkong.

Tak heran, karena Ahmad Tohari merupakan penulis yang masih suka tinggal di sebuah desa, di daerah Banyumas dibandingkan hidup dan tinggal di Jakarta. Di setiap karyanya, ia tak pernah lepas dari penggambaran kehidupan pedesaan. Juga senang menyeritakan kehidupan masyarakat di pedesaan.

Meskipun banyak karya sastra yang menuliskan tentang Darul Islam dan selalu menuai pro dan kontra. Novel ini tetap menarik untuk dibahas dan ditelaah. Walaupun secara kasat mata, tampaknya seperti menyeritakan kehidupan biasa seorang lelaki yang memutuskan menjadi tentara Darul Islam. Namun, isi yang ingin disampaikan oleh Ahmad Tohari melalui pertentangan batin dan situasi dan kondisi sulit yang dialami tokohnya. Justru merupakan pesan-pesan yang tak disampaikan secara langsung.

Postingan Terkait