Sebuah Tempat Bernama Whicwood Dan Kisah Laylee Sang Mordeshoor

Sebuah Tempat Bernama Whicwood Dan Kisah Laylee Sang Mordeshoor


Whicwood Book Review



Setelah menghabiskan beberapa hari membaca novel Whichwood karya Tahereh Mafi, akhirnya hari ini saya berhasil menyelesaikannya juga. Di tengah kegalauan karena waktu yang hampir sedikit untuk membaca serta keinginan untuk bisa membaca lebih banyak lagi buku-buku, terutama untuk membabat timbunan.

Pada mulanya, novel yang covernya sangat cantik ini, saya pikir berkisah tentang percintaan seperti genre Young-Adult pada umumnya. Tapi, ini berbeda, dari pemilihan tokohnya saja sudah memiliki pekerjaan yang unik. Usia tokoh-tokoh di dalamnya sekitar 13 / 14 tahun. Nuansa dark, sendu dan lumayan sedih menghiasi cerita dalam novel yang ingin saya miliki bentuk hardcovernya.

Saya membaca novel ini melalui Google Play Book, dengan mendapat diskon 70% saat membelinya, membuat saya tidak lagi berpikir dua kali. Dan ketika pertama kali masuk ke dalam Bab Pertama, saya seperti tersedot ke dalam dunia dimana setiap penduduknya memiliki kekuatan magis, tempat yang tengah memasuki musim dingin, bernama Whichwood. Dan orang-orang yang tinggal di sini dikenal sebagai Whichwoodian.


Kartu Tanda Buku

Judul : Whichwood || Penulis : Tahereh Mafi || Halaman : 368 || Terbit : 14 Nov, 2017 || Language : English || Versi : Google Play Book || Penerbit : Penguin || Rating : 5/5 || ISBN : 9781101994818


Sebuah Kisah Tentang Gadis Yang Kesepian Dan Terasing Di Negeri Tempat Tinggalnya



Namanya Laylee, usianya sekitar 14 tahun, dia seorang anak yatim yang tinggal di sebuah kastil yang lumayan jauh dari kota. Di tempatnya berada hanya ada dua rumah yang berdekatan. Meski Laylee memiliki seorang ayah, tapi dia tidak mampu merasakan kasih sayang dari Baba (demikian dirinya menyebut sang ayah). Sejak Maman (ibunya) meninggal dunia, Baba seolah tidak peduli dengan keberadaan anaknya.

Dia seperti seorang yang kehilangan jati dirinya. Tatapan matanya kosong, bahkan sudah berhari-hari dia tidak pulang. Kadang, meskipun sang Baba ada di rumah, tapi karena dia sudah kehilangan semangat hidupnya, membuat keduanya seperti orang asing. Hingga Laylee bisa melewatkan beberapa hari tanpa berbicara sedikitpun, karena tidak tahu siapa yang bisa diajak berbicara, dan kesunyian akhirnya membuat dirinya semakin menutup diri.

Laylee bahkan lupa, kapan terakhir kalinya dirinya pergi ke sekolah. Terkadang, dia merindukan hal tersebut. Ini semua berakhir sejak Maman meninggal. Namun, sebenarnya, Maman tidak benar-benar pergi dari rumah mereka. Rohnya tetap berada di dalam rumah, bergentayangan setiap waktu, mengomel dan mengeluh serta memarahi Laylee setiap saat. Hanya ada satu tempat yang aman dari omelan Maman : Kamar Mandi. Meski sebenarnya Maman bisa menembus ruangan tersebut dengan mudah, tapi sang hantu justru masih memberikan privacy untuk Laylee setiap dia masuk ke kamar mandi. Di situlah dia sering menyendiri untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.

Sayangnya, hanya Laylee yang mampu melihat hantu. Baba hanya seorang lelaki biasa, yang jatuh cinta pada Maman saat melihatnya di pasar pertama kali. Kecantikan Maman yang menurun pada Laylee memang termasuk tipe cantik yang aneh, seolah tidak biasa, tapi tetap menyedot perhatian Baba. Dan dari keduanya inilah Laylee memiliki kekuatan yang tidak biasa, dia seorang Mordershoor dan bisa melihat serta mampu berbicara dengan hantu.

Karena Baba tidak bisa melihat hantu, akhirnya Laylee harus berpura-pura untuk bersikap biasa. Karena, dia sendiri paham, jika seorang gadis bisa berbicara dengan hantu dan berkomunikasi dengan makhluk halus, niscaya setiap orang akan memandangnya aneh. Bahkan kehidupan keluarga mereka pun tidak pernah dianggap oleh Whichwoodian yang lainnya. Mereka bahkan tidak peduli apakah Laylee sudah makan atau belum, apalagi dengan kabarnya. Sama sekali tidak pernah menanyakannya. Apalagi memedulikannya. Dia terasing di sebuah tempat yang seolah tidak menginginkannya.


She lived in a world where goodness had failed her, where darkness inhaled her, where those she loved had haunted and discarded her. There was no monster, no ghoul, no corpse in a grave that could hurt her the way humans had, and Laylee was afraid that tonight she’d made a most grievous mistake. ~ Pg 27


Membaca novel ini membuat saya ikut merasakan kesedihan dan kesendirian yang dirasakan Laylee. Bagaimana tidak? Hidupnya harus mendengarkan omelan dari Mamannya yang konon dipengaruhi oleh kebimbangan akan dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya. Belum lagi Baba-nya yang bahkan tidak peduli dengan Laylee, karena rasa cinta yang teramat besar untuk sang Maman. Tapi harus tetap bekerja, seorang diri, melanjutkan bisnis keluarga.

Jangan salah, di awal-awal bulan setelah kematian Maman, Laylee bahkan pernah kehabisan makanan karena Babanya pergi entah kemana. Sementara itu, untuk menghalau rasa laparnya, akhirnya Laylee memutuskan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Sedih deh, saat narasi Tahereh Mafi menggambarkan tubuh Laylee yang kurus, wajahnya yang pucat digambarkan berwarna silver seperti di cover pada buku ini.

Dan, satu-satunya yang perhatian sama Laylee ini adalah para makhluk halus yang hendak menyebrang ke Otherwhere ini. Coba, bagaimana perasaan kita saat yang perhatian sama kita bukan manusia seperti kita, tapi justru makhluk halus? Sedih banget, deh.



Laylee Seorang Mordeshoor Yang Membantu Banyak Arwah Pergi Ke Otherwhere



Baiklah, apa sih sebenarnya Mordeshoor itu? Dia adalah seorang yang memiliki pekerjaan memandikan jenazah dan mengemas jenazah tersebut untuk dikirim ke Otherwhere. Dan menjadi Mordeshoor ini tidak sembarangan, karena pekerjaan ini hanya bisa diwariskan dari keturunan seorang Mordeshoor asli.

Karena, ada ritual-ritual khusus yang dilakukan seorang Mordeshoor yang membantu para arwah untuk memasuki dunia Otherwhere. Bahkan cara memandikannya juga tidak sembarangan, sementara di negeri ajaib lainnya, pemandian jenazah ini dilakukan oleh sihir yang otomatis tanpa harus menggunakan tenaga manusia.

Sayangnya, bagi Whichwoodian orang-orang terkasih yang telah mati, tidak membuat mereka memberikan perhatian lebih. Setelah dikirim ke Mordeshoor, mereka mengabaikannya seolah tidak pernah menjejak di dunia.


Why do we fear the dead? We are terrified to even visit the graves of our loved ones - why? Because superstition dictates that visiting our dead will only encourage their corpses to come back into our lives. Nonsense! ~ Pg 186



Itulah kenapa, mereka tidak pernah sekalipun berpikir untuk membantu Laylee dalam mengurus setiap jenazah yang datang ke rumahnya. Sama sekali. Bahkan ketika musim dingin tiba, dan dia tetap harus memandikan para jenazah tersebut. Karena kalau tidak akan berakibat buruk nantinya. Itulah kenapa Laylee menahan rasa sakit di tangannya karena air yang dingin, bahkan hampir membekukan jemarinya. Tapi, dengan sabar, dia mengurus para jenazah tersebut.



The ghosts of the freshly dead are always teriffied to cross over - they’d much rather cling to the human life they know. But a spirit can only exist in the human world when it’s wearing human skin. ~ Pg 17


Dalam novel ini, dijelaskan seperti apa ritual khusus para Mordeshoor ketika mengurus jenazah. Bahkan ketika Laylee kedatangan tamu istimewa yang membuat dua orang tersebut terkejut karena pekerjaan yang berat seperti itu harus dikerjakan sendiri. Dan keduanya pun tidak sanggup ketika harus mencabut kuku-kuku para jenazah tersebut untuk dikumpulkan dalam tempat khusus.

Memang cukup mencekam, itulah kenapa saya mengatakan kalau novel ini memiliki tema yang lumayan horor dan dark. Bahkan ada satu bagian tentang proses para hantu tersebut menyedot tubuh manusia di malam perayaan besar di Whicwood. Dan sayangnya, karena akibat inilah Laylee dijatuhi hukuman penjara!

Mengenaskan ya kan? Sudah yatim dan akan segera piatu, sendirian, kelaparan, tidak ada satupun orang yang menyayanginya, hanya berteman dengan para hantu, kemudian harus dipenjara karena sesuatu yang bahkan kalau dirunut kembali bukan kesalahan aslinya. Sedih, buku ini membuat sedih tapi dituturkan dengan cara mendongeng yang ringan. Tidak mendayu-dayu hingga mengorek dan memaksa pembaca untuk menangisi kesedihan dan rasa sakit Laylee.


Buku Pertama Karya Tahereh Mafi Yang Saya Baca



Sejujurnya, saya sendiri tidak begitu ingin memiliki ekspektasi apapun terhadap novel ini. Tahereh Mafi sendiri sudah dikenal oleh kalangan bookstagram melalui karya serialnya : Shatter Me dan Furthermore. Buku ini sebenarnya ada sedikit lanjutan dari kisah beberapa tokoh dari Furthermore tapi ceritanya tetap berdiri sendiri.

Saat kepo dengan sosok Tahereh Mafi melalui akun Instagram @TaherehMafi, akhirnya saya cukup terkejut. Dia adalah istri / pasangan dari penulis yang karyanya juga menjadi favorit saya : Ransom Rig. Yang merupakan penulis Peculiar Children! Ah, saya langsung berpikir, pantas saja keduanya memiliki kegemaran yang sama melalui karya Dark mereka.

Meski bobot horor di sini saya cukup tekankan, bukan berarti horor yang sama dengan Stephen King punya, tapi jika dibaca oleh anak-anak yang masih baru beranjak remaja, mungkin akan lumayan mencekam. Dan novel ini bebas dari adegan-adegan yang biasa didapat di genre YA pada umumnya.

Kalau kalian penasaran, novel ini cukup rekomen kok untuk dibaca, dengan gaya bercerita yang ringan tapi kisah di dalamnya bagus. Saya tidak akan melebih-lebihkan, karena memang novel ini masuk ke dalam daftar  buku favorit saya. [Ipeh Alena]

Postingan Terkait