Orang-orang Proyek Karya Ahmad Tohari
Judul : Orang-orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 253
Cetakan : 2015
ISBN : 9786020320595
Dibaca melalui aplikasi IPusnas
Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?
Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?
Orang-orang Proyek Karya Ahmad Tohari Tentang Kritik Orde Baru Dan Praktek Korupsi
Permulaan Cerita
Kisah dibuka dengan kondisi Sungai Cibawor yang cukup mengenaskan. Persis seperti kondisi sungai yang sering ditemui di Indonesia. Membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastik, batang pisang, sampai batang mahoni (5). Sungai yang tak lama usai hujan deras menyapa, berwarna keruh. Membuat Pak Tarya yang hendak memancing membatalkan niatnya. Mana mungkin bisa mancing, kalau airnya terlalu keruh dan banyak sampah yang menyangkut.
Bertemulah Pak Tarya dengan sesosok lelaki bernama Kabul. Keduanya bercakap santai, hingga si pemancing tua menyebutkan dalam dialognya, “Kalau bukan karena proyek pembuatan jembatan di hilir itu, mungkin kita takkan pernah bertemu.” Proyek inilah yang menjadi “sosok utama” dalam buku ini. Proyek pengadaan jembatan penyeberangan di sebuah desa.
Ada yang menarik di sini, Pak Tarya itu sebenarnya bukan lelaki tua biasa, dia seorang mantan pegawai negeri yang banyak tahu mengenai hal yang terjadi di kampungnya. Hal pertama yang diungkap pak Tarya adalah kejadian pada tahun 1948 dimana jembatan yang saat itu tengah direnovasi orang proyek, sebenarnya masih berdiri gagah namun sengaja diledakkan sebagai usaha menghambat laju tank-tank tentara Belanda. Penghancuran jembatan inilah yang membuat Pak Tarya terkenang selalu, karena ada kejadian menyakitkan yang mengakibatkan nyawa Ayah Pak Tarya melayang.
Setelah itu, kisah bergulir membuka satu demi satu hal yang terjadi di desa tersebut selama pembangunan jembatan antar desa.
Tentang Korupsi Di Lingkungan Proyek
Pengadaan proyek jembatan ini juga sebenarnya tidak murni sebagai pengadaan berbasis humanisme. Tapi, ada unsur politik lokal di dalamnya. Dimana saat itu, jembatan tersebut akan digunakan sebagai kampanye politik sebelum Pemilu 1992. Dalam perbincangan tersebut, Kabul berulang kali mengeluhkan banjir yang mengakibatkan mandeg-nya pekerjaan proyek tersebut. Namun, dibabat habis oleh Pak Tarya yang menyahut dengan rendah hati namun tetap mengena, “Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti penggelembungan biaya bagi orang-orang proyek.”
Tapi, apakah Kabul ini sama seperti orang-orang yang menangani sebuah proyek besar lainnya? Pak Tarya, merupakan perwakilan dari masyarakat yang memang mengetahui sedikit-banyaknya adanya korupsi baik kecil-kecilan maupun besar dalam pengerjaan proyek pembangunan. Sementara itu, Kabul, merupakan perwakilan dari mereka yang menginginkan idealismenya tetap berdiri teguh tanpa digoyah dengan hal-hal kotor.
Selanjutnya, kita akan diberikan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai bentuk dari ‘korupsi’ melalui narasi : Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk (30). Nah, di sinilah kemudian Kabul ditampakkan seperti seorang anak buah yang tak mampu mematahkan lingkaran korupsi dalam lingkungan kerjanya. Karena, atasan Kabul seolah tutup mata dan telinga mengenai hal yang dilakukan oleh sang Mandor. Mengadu pun rasanya percuma.
Pada prakteknya memang sering adanya anggaran fasilitas, hingga anggaran barang proyek yang seolah menjadi bancakan bagi setiap orang yang terkait. Perayaan HUT sebuah partai yang dipusatkan di desa tersebut menggelontorkan dana yang banyak sekali. Hanya demi sebuah perayaan hari jadi partai yang juga diselimuti dengan kampanye politik. Ini terjadi di tahun 1991.
Tidak Ada Satu Musuh Tapi Banyak
Berbicara masalah korupsi dalam jumlah besar. Tentu tidak didalangi oleh satu orang saja. Tapi, merupakan tindakan ramai-ramai. Dan, bisa meliputi beragam bidang. Seperti ketika orang berpikir bahwa orang proyek sering memakan duit dari anggaran yang tidak semestinya. Namun, di dalam buku ini juga ditunjukkan betapa penyelewengan kekuasaan kerap terjadi oleh penyelenggara dari partai tertentu.
Inilah yang membuat Basar sempat merasa resah. Permintaan dari Golongan Lestari Menang alias Orde Baru yang mendatanginya untuk meyakinkan Basar bahwa mereka adalah golongan Bapak Pembangunan. Meminta Basar untuk mengingatkan para warga yang ber-KTP dan memiliki tanda OT atau ET terkait peristiwa 1965. Dengan begitu, mereka semua diminta untuk menjadi pendukung Golongan Lestari Menang.
Golongan apakah itu? Penduduk ber-KTP OT dan ET adalah mereka yang “terlibat” dan “eks terlibat” gerakan komunis yang cukup terkenal dan masih sering digaungkan hingga saat ini, yaitu PKI. GLM berusaha mengancam mereka sehingga mereka akan tunduk dan takut sehingga mau tak mau mendukung GLM demi suksesnya apa yang diinginkan olehnya.
Tak hanya itu, Basar juga disuruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga demi kemenangan GLM. Dan, akan ada hukuman bagi yang tidak berjanji untuk mendukung, yaitu kehilangan hak perpanjangan surat ijin untuk usaha toko, warung, kilang padi dan sebagainya. Di sinilah, Basar menjadi sosok yang terguncang idealismenya. Sebagai sesama aktivis seperti Kabul, dia mempertanyakan dirinya sendiri, apakah dia sudah masuk ke dalam kelompok mereka? Perasaan gelisah menyelimuti Basar usai tamu-tamu tersebut pulang.
Pasalnya, jika Basar berusaha untuk berani menentang maka dia akan mendapat teror yang teramat sengit. Dia akan disebut sebagai pilar penopang yang enggan berpartisipasi dalam pembangunan. Dia akan dianalisa, dikuliti hingga yakin bahwa dia bukan orang yang terlibat dalam gerakan komunis. Namun, yang lebih besar lagi adalah anggaran desa akan berkurang dan sumber pendapatan desa pun terancam bangkrut.
Don Kisot Dan Idealismenya
Ada sebutan yang cukup lucu melekat pada Kabul, yaitu Don Kisot. Maksud panggilan ini merujuk pada orang yang terbuai mimpi menjadi pahlawan besar. Sindiran halus bagi perilaku Kabul yang dianggap menggelikan akan perbuatan konyol menurut orang-orang yang tahu lika-liku dan ikut serta di dalam permainan tersebut.
Sekarang, mari berkenalan dengan Kabul. Seorang mantan aktivis di kampusnya. Yang pernah ditinggal sang pacar karena asik mencari data mengenai korupsi yang ada di kampus tersebut. Yang nantinya akan dibongkar ke muka umum. Ketika bekerja sebagai seorang insinyur, Kabul sering mempertanyakan hal-hal aneh yang baginya tak masuk dalam logikanya. Seperti para warga desa yang menjadi penadah semen. Atau seperti hitungan dalam proposal pengadaan material yang berbeda antara harga dan kuantitas sampai kualitasnya. Bosnya pun memahami perihal ini, namun ada kalimat pesimis yang saat itu seolah wajar dilemparkan, “Namun kapan hal sangat besar dan ideal itu bisa diwujudkan? Mungkin kondisi yang menurut Dik Kabul ideal itu baru bisa terwujud pada masa cucu atau cicit saya.”
Ketika Kabul bertemu dengan Mas Kades, Basar namanya yang merupakan teman dekat Kabul semasa kuliah dulu, perbincangan mereka pun masih berlanjut. Dirangsang oleh khutbah Jum’at mengenai diutusnya Nabi Muhammad salallahualaihiwassalam dengan maksud memperbaiki akhlak manusia dan semua hal lain dikecualikan. Ada kemungkinan, pendapat dari Kabul dan Basar ini sedikit tidak disetujui oleh pembaca, namun tidak ada salahnya mendengarkan apa pendapat mereka.
Di halaman 49, Kabul menjelaskan pendapatnya bahwa penyimpangan sudah menggejala dimana-mana. Ritual agama hanya difokuskan pada syariah saja. Kajian-kajian agama setiap pagi dan sore melalui beragam media hanya menyediakan kesalehan ritual saja. Diibaratkan semacam kesalehan sosial yang kemudian mendatangkan pertanyaan, mengapa orang yang sudah saleh masih menjalankan praktik korupsi?
Bagi Kabul, orang-orang yang terkait dengan proyek pembangunan jembatan ini, banyak diisi oleh orang yang mengaku beragama dan mengaku pula sudah ditatar dengan pedoman pengalaman pancasila. Namun tetap pula mereka serakah. Di sinilah yang kemudian hari meresahkan hati Kabul. Dia merasa banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Biyungnya.
Dalam idealismenya, pembangunan yang diadakan untuk masyarakat tentunya harus memiliki kemaslahatan umum yang besar. Kualitas yang sempurna pada setiap inci materialnya sehingga dapat memanfaatkan setiap sen dari anggaran yang memang sudah ditentukan dengan semestinya.
Realitas Dalam Cerita
Hal menarik lainnya datang dari Mak Sumeh, seorang perempuan Tegal yang membuka warung nasi di dekat pengerjaan jembatan. Kenapa menarik? Begini, pak Tohari bagi saya menyajikan suasana yang demikian realistis, itulah kenapa kebanyakan orang mengatakan bahwa novel ini berisi isu sosial yang cukup banyak terjadi di sekitar kita. Realistis di sini dalam hal kecil namun benar adanya. Dimana ada proyek pembangunan, di situ ada warung nasi. Mau itu pembangunan apartemen, jembatan atau pembangunan gedung. Akan selalu ada warung nasi kecil yang hadir di dekatnya. Konon, warung Mak Sumeh ini cukup sering didatangi para orang proyek karena lokasinya yang cukup strategis.Dari Mak Sumeh pula, saya melihat kebiasaan orang Indonesia. Beliau menanyakan alasan kenapa Kabul masih membujang padahal banyak gadis yang naksir padanya. Kemudian, memberitahu bahwa seorang gadis bernama Wati tengah jatuh hati padanya. Hingga berceloteh tentang bagaimana seorang perempuan tua itu sangat mengetahui isi hati Wati yang sebenarnya.
Meski di satu sisi yang tak begitu menyukai Mak Sumeh yang sering ikut campur urusan orang. Tapi, keberadaan Mak Sumeh ini semacam warna lain dalam kehidupan yang memang sering ada dalam kondisi apapun. Sosoknya memang ada di banyak tempat, entah itu bertransformasi menjadi penjaga warung kopi atau warung nasi. Yang intinya memang sering memiliki banyak informasi mengenai seseorang. Karena itulah, banyak yang berkelakar bahwa warung kopi atau warung nasi, bisa menjadi tempat segala informasi unik dan aneh bermuara.
Kemudian, berbicara masalah Kabul tentu akan membicarakan masalah jodoh. Dan, kembali lagi si sosok Mak Sumeh ini yang akan mengantarkan Kabul pada fakta bahwa Jodoh itu harus diusahakan. Bukan jatuh dari langit. Sebagai makcomblang, Mak Sumeh ini ada benarnya juga. Karena itulah, saya tidak bisa setuju seratus persen padanya, tapi juga tidak bisa membencinya sepenuh hati. Tapi, gojlokan dari si Mak cerewet ini cukup ampuh bagi Kabul. Meski memang harus membuat Wati menentukan langkahnya. Langkah terbesar dalam hidupnya.
Selain kisah cinta dan sosok Mak Sumeh. Ada juga realitas yang sedikit menghangatkan hati. Yaitu, fakta bahwa Kabul yang ingin segera kawin namun masih bingung karena penghasilannya habis untuk menghidupi ibu dan kedua adiknya yang masih kuliah. Sikap tanggung jawab seperti inilah yang tentu menjadikan Kabul sosok lelaki idaman di mata Wati. Alasan Kabul menunda pernikahannya cukup masuk akal terlebih dirinya tak menginginkan calon istrinya nanti melarat hanya karena dia nekat kawin tanpa persiapan.
Bagi Kabul, dia tidak terkejut dengan sifat pesimis di dalam diri bosnya. Karena, negeri yang dihuni olehnya dihuni oleh masyarakat yang korup terutama di kalangan birokrat sipil maupun militer dan orang awam. Bahkan, Kabul sendiri menyaksikan jenis korupsi dalam bentuk berbeda, yakni korupsi melalui manipulasi gelar sarjana. Maksudnya, gelar sarjana yang diberikan kepada seseorang dengan jalan membelinya dari universitas tersebut atau melalui calo penjual ijazah.
Praktik ini masih banyak digelar dengan tujuan untuk memperoleh kenaikan tingkat kepegawaian, kenaikan gaji dan fasilitas lain. Kecurangan seperti ini memang seperti rahasia umum di kalangan masyarakat luas. Hanya sedikit orang seperti Kabul yang berusaha menentang arus dan dianggap konyol oleh banyak orang. Baginya, kejujuran itu sebenarnya hal yang biasa, namun menjadi sesuatu yang tampak istimewa karena berlawanan dengan kebiasaan yang ada.
Mitos Tumbal Di Kalangan Warga Desa
“Musim hujan akan datang lagi. Kalau tumbal tidak diberikan, seluruh bangunan jembatan yang sudah setengah jadi bisa dirobohkan bah.” ~ Hal 137
Masyarakat di desa tersebut masih percaya dengan adanya musibah akibat tidak adanya tumbal. Konon, tumbal harus diberikan setiap kali ada penggarapan proyek dan ritual ini dilakukan sebelum proyek dimulai. Tidak bisa hanya didahului dengan doa-doa seperti biasa. Di sini, contoh mitos tumbal diwakili kisahnya oleh pengalaman Kang Martasatang. Dia kehilangan anaknya bernama Sawin.
Sang anak tidak pulang beberapa hari yang mengakibatkan dirinya kehilangan kendali dan merangsek masuk ke ruangan Kabul. Mengomelinya serta meminta pertanggungjawaban dari Kabul atas hilangnya Sawin yang dipercaya merupakan tumbal agar proyek tersebut berjalan lancar. Kabul yang tak tahu menahu alasannya apa, kebingungan. Sementara itu, santer terdengar di kalangan pekerja bahwa tumbal diserahkan melalui penimbunan si tumbal di rancangan besi tiang lalu dicor.
Tak hanya itu, sosok kawan Mas Martasatang bernama Wircumplung justru memperkeruh keadaan. Dia terus mendesak Martasatang untuk meminta pertanggung jawaban pada pengada proyek jembatan akibat hilangnya Sawin. Namun, hal yang sungguh tak diduga terjadi. Sawin datang setelah berhari-hari membuat bapaknya khawatir.
Ternyata, Sawin yang tengah jatuh cinta pada Sonah, mengikutinya kembali ke Brebes. Namun, dia tak mengetahui dimana letak rumah Sonah sehingga dia keluyuran tak tentu arah. Bukan hanya itu, di terminal saat hendak pulang, dirinya ditawari cimeng dan koplo yang membuatnya teler berhari-hari. Hingga kemudian baru tersadar bahwa dompetnya hilang sehingga dia harus pulang dengan menumpang truk.
Menurut Pak Tarya, kadar animisme di masyarakat desa tersebut masih tinggi. Orang di sana masih percaya bahwa jika ditemukan mayat yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing. Malah, konon di tahun 1984 ketika ada pembasmian preman dan copet, ada orang yang memesan mayat mereka untuk dikubur di tanah yang rawan longsor. Menurut mereka, jasad manusia memiliki mata dan kekuatan yang cukup besar pengaruhnya bagi keberlangsungan kehidupan dan keseimbangan alam.
Harapan Demi Masa Depan Yang Lebih Baik
Bagi saya pribadi, pernyataan bosnya Kabul, Pak Dalkijo, bukan sepenuhnya pesimis mengingat perubahan zaman yang mungkin bisa saja berubah. Seolah seperti beliau menyimpan harapan yang demikian tipis namun masih mencoba untuk berharap meski tampak seperti mustahil.
Pada akhirnya, memang tampak manusiawi ketika masing-masing tokoh mengusahakan nasib mereka agar menjadikan masa depan lebih baik. Seperti Kabul yang berasal dari keluarga miskin turun-temurun, kemudian berusaha untuk keluar dari kemiskinan tersebut dengan berupaya menempuh pendidikan yang tinggi. Namun, tetap berusaha semaksimal mungkin agar tidak melenceng dari apa yang sudah diajarkan orangtuanya.
Dan, keputusan Kabul tampaknya cukup berani mengingat tak ada lagi cara yang bisa dia lakukan demi mewujudkan idealismenya melalui pekerjaannya di tempat tersebut. Seolah mengucapkan selamat tinggal pada satu sama lain, orang-orang yang ada di kawasan proyek setelah selesai, kemudian berpamitan. Tidak ada yang menetap, bahkan Tante Ana sekalipun kembali ke terminal dan menjadi penjaja minuman. Semua berpisah kembali ke tempat asal mereka. Sementara itu, tempat yang dahulu ramai ketika ada pengerjaan proyek, kembali sepi.
Potongan Bingkai Cerita Dari Buku
Dalkijo : “Apa jadinya bila di hari peresmian jembatan belum sempurna? Ingat, peresmian akan dilakukan wapres dan disaksikan juga oleh Ketua Umum GLM. Jangan main-main.”
Kabul : “Tidak ada yang main-main. Soalnya adalah, kita tidak menggunakan semen khusus yang bisa mempercepat waktu pengerasan.”
Dalkijo : “Siapa suruh tidak pakai semen khusus?”
Kabul : “Dana yang tidak cukup!”
Dalkijo : “Yah, atur sajalah. Pokoknya aku tidak mau tahu, pasanglah balok jembatan begitu derek datang.”
Kabul : “Kapan itu?”
Dalkijo : “Memang belum pasti karena kita belum dapat derek. Tapi jelasnya secepatnya.”
Kabul : “Kalau kurang dari tujuh belas hari, tidak bisa. Tiangk-tiang belum cukup kuat. Bagaimana bila retak atau runtuh?”
Dalkijo : “Tidak. Aku pernah melakukan hal seperti itu, tidak apa-apa. Atau, kita kan kontraktor, pemborong. Yang penting untung, kan?”
Penutup
Cara Ahmad Tohari mengkritisi pemerintahan Orde baru ini cukup unik. Tak membuat pembaca bosan apalagi langsung berkobar emosinya untuk berteriak mengecam. Tapi, tetap mampu memainkannya seperti ombak sedang yang meninggalkan riak dalam hati pembaca. Tokoh-tokohnya yang menggambarkan kesan mendalam hingga cara penyampaiannya yang lugas namun tetap tepat sasaran, membuat novel ini tak bosan untuk diselesaikan.
Hal lucu yang cukup membuat banyak pembaca terkenang dari buku ini adalah Pak Tohari memberikan penutup dengan cara jenaka. Menyindir melalui cerita humor tentang orang proyek di akhirat.
Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek. ~ Hal 251