Ulasan Buku Exit West - Melewati Batas - Karya Mohsin Hamid

Ulasan Buku Exit West - Melewati Batas - Karya Mohsin Hamid



Ulasan Buku



“Perang akan mengikis fasad gedung mereka, seolah mempercepat sang waktu sendiri, dengan jumlah korban satu hari melampaui jumlah korban satu dekade.” ~ Hal 14


Membaca buku yang ditulis oleh seorang yang berasal dari negeri yang luluh-lantak akibat perang menjadikan pengalaman membaca menjadi lebih berwarna. Membayangkan bahwa kondisi-kondisi yang dituliskan dalam buku ini, merupakan kejadian yang nyata, dialami oleh beberapa orang yang membuat semuanya tampak teramat nyata dari kenyataan itu sendiri. Rasanya berbeda dari sekadar membaca beritanya di koran atau portal berita. Berbeda karena dari kisah ini, rasa pahit dan getir sungguh terasa hingga menjalar ke seluruh peredaran darah.

Jika membaca blurb yang terletak pada sampul belakang buku, mungkin kalian akan menganggap kisah dalam buku ini Roman Picisan belaka. Sayangnya, kisah asmara dan romantisme yang dihidangkan di sini tidak akan membuatmu menganggap percintaan mereka manis, romantis dan menggairahkan. Namun, cukup untuk memberimu pandangan bahwa itulah kisah yang realistis dalam sebuah hubungan antara dua manusia yang terkena empasan waktu.


Kartu Tanda Buku


Judul : Exit West 
Penulis : Mohsin Hamid
Halaman : 204
Format : Ebook Gramedia Digital
Bahasa : Indonesia
Alih Bahasa : Barokah Ruziati
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020620589


Tentang Penulis


Disalin langsung dari buku Exit West halaman 201. 

Mohsin Hamid adalah penulis terkemuka dunia yang menulis novel Moth Smoke, The Reluctant Fundamentalist dan How to Get Filthy Rich in Rising Asia, serta koleksi esai Discontent and Its Civilizations. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari tiga puluh bahasa dan memenangkan atau masuk dalam daftar pendek berbagai penghargaan, termasuk Man Booker Prize, DSC Prize for South Asian Literature, IMPAC Dublin Literary Award, PEN/Hemingway Foundation Award dan Betty Trask Award. Esai-esai dan karya fiksi Hamid pernah muncul di The New York Times, The New York Review of Books, The New Yorker, Granta dan banyak terbitan lainnya. Lahir di Lahore, dia menghabiskan kurang-lebih setengah hidupnya di sana dan sebagian besar sisanya di London, New York dan California.



Kondisi Sebuah Negara Yang Berada Di Jurang Kehancuran



Sempat saya bertanya-tanya, apakah penggambaran dalam narasi buku ini nyata dan dialami juga oleh Mohsin Hamid? Terlebih, usai membaca latar kehidupan beliau yang merupakan sosok penulis dari Pakistan.

Seperti yang kita tahu, negara Pakistan yang senantiasa dilanda peperangan sudah bukan lagi berita yang baru. Pertempuran dan peperangan yang telah menewaskan banyak korban jiwa ini, membawa rasa duka bagi seluruh orang yang membaca berita tersebut. Tapi, ternyata, membaca berita melalui portal berita sangatlah berbeda dengan membaca cerita dalam buku ini. Perbedaan yang paling menonjol adalah RASA yang ditinggalkan usai membacanya.

Sesaat saya benar-benar merasa tenggelam dan kelelahan selama membaca buku yang mengisahkan tentang kehidupan dua insan yang saling mencintai di saat tempat kelahiran mereka tengah dilanda konflik perang. Dari kehidupan yang digambarkan di sini, tampak sangat realistis, tampak bahwa ini lebih nyata. Dimana rasa mencekam yang digambarkan dan seperti apa proses blokade yang dilakukan oleh para kelompok militan. Seolah saya menjadi saksi mata dan menyaksikan langsung apa yang terjadi di sana.

Melalui sosok Saeed dan Nadia yang saling terikat satu sama lain, kita akan diajak bersama mereka, menyaksikan sedikit demi sedikit kota kelahiran mereka hancur akibat perang. Merasakan bagaimana perjuangan mereka mencari secercah kedamaian melalui kebebasan yang mereka impikan. Merasakan bagaimana menjadi seorang imigran yang tidak diinginkan. Mengeksplorasi kehidupan yang memang terjadi namun sering ditangkis dan dianggap tidak ada hanya karena hal tersebut memalukan.

Bagi kalian yang memiliki alergi pada hubungan-hubungan gay atau lesbian, lebih baik berhenti sampai di sini. Meski dalam buku ini tidak dijelaskan bagaimana hubungan sesama jenis itu. Namun, Mohsin tidak juga menganggap bahwa hal itu tidak ada. Semua hal yang tampak tidak ada dihidangkan di sini. Tanpa memberikan penghakiman pada apa pun. Karena, semua keputusan dan pandangan secara umum, murni dimiliki oleh para karakter mereka dan milik para pembaca.

Lantas, bagaimana kondisi tempat mereka bekerja?

Mohsin menggambarkannya melalui kehidupan yang dilalui oleh kedua tokoh yang saling memiliki ketertarikan. Awalnya dikisahkan dari sisi Saeed, yang menyeritakan bahwa banyak para klien di perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak dalam bidang periklanan, meminta agar iklan-iklan tak lagi dipasang di luar ruangan. Karena, tampak tidak memberikan pengaruh apa-apa, terutama di saat perekonomian di negara tersebut merosot akibat kerusuhan yang kian meningkat.

Di perusahaan tersebut, Saeed menggambarkan bagaimana ekspresi atasannya ketika menandatangani surat izin untuk mencetak iklan dari klien mereka. Seolah dia bisa melihat masa depan bisnisnya yang akan hancur sebentar lagi.

Demikian pula dengan Nadia, yang menggambarkan perusahaan asuransi yang menjadi tempatnya bekerja. Digambarkan bahwa atasannya tengah berlibur ke luar negeri namun tak kunjung usai. Beberapa karyawan ada yang tidak datang di hari-hari ketika letusan senjata dan bom terdengar dekat dengan tempat mereka bekerja. Juga, menggambarkan ketika jam malam dan kondisi sudah tak kondusif lagi, beberapa properti milik kantor dibawa oleh karyawan-karyawan yang masih datang meski tidak ada lagi pekerjaan yang menanti.

kutipan buku


Bagaimana dengan tempat-tempat publik di kota mereka?

Di sini, akan diambil alih sebentar oleh kedua orangtua Saeed. Mereka menggambarkan, dahulu ketika keduanya tengah remaja, mereka bertemu di depan gedung bioskop. Yang keberadaannya kemudian diganti menjadi toko peralatan elektronik. Dia juga menyeritakan beberapa tempat sudah beralih-fungsi tak lagi menjanjikan tempat hiburan yang menarik, hanya berjejer toko-toko usaha yang di kemudian hari banyak yang tutup.

Orangtua Saeed memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ibunya seorang guru dan Ayahnya seorang dosen. Mereka tinggal di flat yang dahulu merupakan kawasan elit, namun seiring berjalannya waktu, tempat tersebut menjadi sama kumuhnya dengan tempat-tempat lain. Di flat tersebut, Saeed sering menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya, minum teh dan berbincang mengenai hal-hal yang ada di sekitar mereka. Sambil menemani Saeed menatap langit dan mengamati pergerakan benda-benda di langit dengan teleskop.

Sementara itu, Nadia yang berasal dari keluarga yang sangat taat pada agama. Memutuskan untuk melajang dan tinggal terpisah dari orangtua mereka. Ini adalah keputusan yang bukan saja buruk tapi menjadi keputusan yang paling beresiko tinggi. Di tempatnya berada, perempuan lajang yang hidup sendiri akan mendatangkan malapetaka yang beresiko dengan keselamatannya. Sehingga, Nadia memutuskan untuk berbohong dengan pemilik penyewa kamar, bahwa dirinya adalah seorang janda. Karena itu lebih mudah baginya.

Nadia menyewa di kamar yang dahulunya merupakan bekas gudang. Diapit oleh pasar yang cukup ramai. Namun, perlahan menjadi sangat sepi usai diduduki oleh kelompok militan. Di sini, Nadia dan Saeed pun menggambarkan bagaimana pada mulanya diberlakukan jam malam. Dari pemberlakuan jam malam yang teramat ketat hingga jam malam yang sedikit longgar yang memungkinkan keduanya bertemu di kamar sewaannya Nadia.

Bukan hanya itu, tidak lama berselang, jaringan internet pun dimatikan secara total. Lumpuh. Membuat Nadia dan Saeed tidak lagi bisa saling bercengkrama lewat ponsel mereka. Dan, kondisi ini diperparah dengan peledakan bom demi bom yang membuat banyak jiwa melayang. Kondisi ini semakin mencekam dengan lumpuhnya penerangan hingga dihentikannya pasokan air bagi seluruh warga.


“Kelompok militan mulai menguasai semua wilayah di penjuru kota. Menetapkan jam malam yang ketat dan membangun pembatas.” ~ Hal 48



Ketika Serangan Udara Mulai Dilancarkan Para Militer



Apalagi yang paling mencekam usai jaringan ponsel dimatikan, pasokan air dan listrik dilumpuhkan? 

Yaitu saat serangan udara mulai dilancarkan. Sempat mengenai beberapa rumah yang dekat dengan Saeed tinggal. Di sini, Saeed merasakan kekhawatirannya terhadap kondisi Nadia meski dengan curangnya, pembaca bisa mengetahui bahwa Nadia baik-baik saja. Maksudku, bagaimana ketika yang kita rasakan saat ini menjadi sesuatu yang sangat teramat mencekam?

Saat itu, pasar-pasar tutup. Penyediaan barang untuk kebutuhan mulai menipis. Harga-harga melonjak tinggi karena permintaan lebih besar daripada ketersediaan barang. Belum sampai di situ, bank-bank banyak yang tutup dan beberapa bank buka sudah dipenuhi antrian manusia yang berusaha mengambil hak mereka. Meski tidak tahu, akan digunakan untuk apa uang tersebut. Toh, tidak ada lagi yang bisa dibeli.

Jendela yang dahulu merupakan mata bagi penghuninya untuk melihat dunia luar, mulai ditutup. Keamanan mereka tergantung pada jendela yang masih terbuka. Sehingga banyak dari mereka menutupnya agar terhindar dari letusan senjata api.

Beberapa kelompok militan sering mengadakan patroli di malam hari. Mereka mengincar nama-nama orang dari Mazhab tertentu. Menghabisinya di saat itu juga dengan menggorok leher mereka dan membawa keluarga yang tersisa ke suatu tempat yang tidak pernah diketahui oleh siapapun.

Pada masa itu, banyak penduduk yang kaya raya, melarikan diri ke luar negeri. Sayangnya, melarikan diri tak semudah dibayangkan seperti yang dilakukan orang yang memiliki uang. Pengurusan Visa terlampau sulit bagi warga miskin. Hingga beredarlah desas-desus mengenai pintu ajaib. Pintu yang menyerupai pintu ajaib milik doraemon yang bisa membuka dan membantu mereka pergi dari tempat tersebut.


“Orang-orang menghilang pada masa itu dan sebagian besar tak pernah diketahui, setidaknya selama beberapa waktu, apakah masih hidup atau sudah mati.” ~ Hal 63


Tokoh-tokoh Dalam Kisah Exit West



Saeed : seorang pemuda yang cukup tampan, memiliki pembawaan yang pendiam, menyukai semua hal yang ada di langit.

Nadia : gadis yang mencintai kebebasan dan cukup sering menjadi pencetus keputusan.

Ayah Saeed : lelaki yang cukup romantis, mencintai istrinya dan teramat menyayangi Saeed.

Selebihnya merupakan tokoh-tokoh yang datang dan pergi silih berganti menyesuaikan keadaan dan tempat yang disinggahi oleh Saeed dan Nadia. Namun, ada pula karakter-karakter lain, di negara lain yang tampak menggunakan pintu ajaib demi melepaskan kejenuhan dalam hidup mereka. Semua terjalin dalam cerita yang dikemas dengan begitu apik.



Apalagi Hal Yang Paling Berkesan Dari Buku Exit West?



Jika menyukai buku-buku yang ditulis dan berlatar negeri-negeri di timur tengah, ada baiknya kalian juga mencoba membaca buku ini. Dan, sebelum membacanya, cobalah membaca profil penulisnya. Karena, dari profil sekilasnya itulah saya membayangkan, bahwa ini berdasarkan pengalaman Mohsin. Karena, tokoh-tokoh di sini juga menyambangi beberapa tempat yang juga pernah dijejaki oleh Mohsin.

Pintu ajaib, berbicara mengenai hal ini mendatangkan kesimpulan sekilas bahwa ini merupakan kisah Fantasi Realistis. Tapi, bagi saya, hal tersebut merupakan simbolisme terhadap jalur-jalur yang pernah dilintasi oleh para pengungsi yang melarikan diri dari negeri mereka yang tak lagi menyediakan tempat yang aman dan nyaman demi kehidupan mereka. Alih-alih, harga nyawa mereka tampak tak berharga lagi. Jam demi jam, mampu dilewati dengan berpikir bahwa bisa saja hari itu adalah hari terakhir mereka di dunia ini.

Berbicara masalah pengungsi, tentunya kondisi ini sangat teramat berkaitan dengan apa yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Nasib pengungsi yang kita saksikan di layar kaca atau baca melalui portal berita, sama dengan apa yang dikisahkan dalam buku ini. Bahkan, lebih komplit dan terasa lebih lengkap. Karena, kondisi baik Saeed dan Nadia yang berhasil melarikan diri menuju tempat-tempat yang ditentukan oleh nasib, tidak selalu menyediakan pengamanan yang mereka butuhkan. Ada pula kericuhan yang terjadi hingga menewaskan para imigran tersebut.


Ketika menyesap kalimat pertama hingga berlembar-lembar halaman kemudian, ada satu yang membuat saya melihat sesuatu yang tampak seperti identitas penulis-penulis khas timur tengah. Dulu, saya pernah membaca novel Kite Runner yang bahasanya mendayu dan mengasikkan hingga tak terasa halaman terakhir akan memisahkan saya dengan dua lelaki dalam kisah ini. Begitu pula yang saya rasakan, gaya bercerita Mohsin, cukup ringkas meski mendayu-dayu, bahkan tidak ditemui penyampaian yang berputar-putar hingga membuat bosan. Justru sangat padat, apa adanya dan menggunakan bahasa yang indah.

Entahlah, tapi saya sangat menyukai buku ini. Yang ketika saya baca kembali ulasan saya ini, sama sekali tidak bisa memberikan spoiler cerita. Karena, saya kemudian membatin, bagian ini belum saya ceritakan, bagian itu belum saya ceritakan hingga ternyata masih banyak bagian yang belum bisa saya tumpahkan dalam tulisan ini. Tentunya, ini menjadikan alasan, mengapa buku-buku bagus itu sulit untuk di-spoiler meski tampaknya sudah semua diceritakan ternyata masih ada saja bagian-bagian yang lupa tidak ditulis.


Jadi, menurut saya, silakan baca sendiri tulisan Mohsin Hamid ini. Karena RASA yang disampaikan olehnya, hanya bisa disesap oleh dirimu sendiri, tanpa melalui perantara orang lain.

Postingan Terkait