Book Review : An Ember In The Ashes by Sabaa Tahir
Book Review : An Ember In The Ashes by Sabaa Tahir
"Hantu-hatu dari kesalahan kita berusaha membalas dendam. Tapi, biayanya akan sangat tinggi." ~ An Ember In The Ashes
Akhirnya saya berhasil menamatkan buku yang sudah menanti selama setahun lebih di tumpukan agar disentuh. Sebenarnya saya sudah beberapa kali mencoba untuk membaca buku ini, entah kenapa 'mood' saya selalu berubah arah. Lebih membutuhkan sesuatu yang berbeda, seperti buku-buku Murakami, Kawabata, Soseki sampai buku-buku yang tidak begitu WAH untuk otak saya pun tetap saya nikmati. Entah kenapa untuk masuk ke dalam dunia dalam buku ini, saya membutuhkan perjuangan dan energi yang tidak sedikit. Mungkin, saya tengah membutuhkan sesuatu yang berasal dari realita bukan sebuah dunia yang harus diciptakan sendiri dalam imaji saya yang sesuai dengan penggambaran di buku.
Padahal, buku ini bukan buku yang jelek apalagi buruk. Bukan buku yang tergolong TERLALU DI PUJA-PUJI. Bukan. Ini buku bagus dengan plot yang rapi, karakter yang kuat, alur yang mengalir dengan baik, motivasi karakter yang mencukupi sampai teknik penulisan yang baik. Namun, memang, kalau sedang tidak berselera mau dipaksa seperti apapun tak akan membuahkan hasil.
Setelah menyelesaikannya, hati saya bersorak sorai, karena saya membacanya seharian penuh sampai saya rela begadang dan menyisihkan waktu selama 10 menit selama bekerja. Ini karena saya sudah bisa masuk ke dunia dimana Imperium berkuasa atas bangsa-bangsa lain seperti Scholar, dimana Resistance berusaha untuk menggoyahkan kekaisaran Imperium serta merusak apa yang ada di dalamnya. Dan kisah tentang seorang adik yang berusaha untuk menyelamatkan kakaknya.
Cerita ini disampaikan dengan menggunakan dua sudut pandang. Pertama sudut pandang Laia, seorang adik yang mencoba mencari cara agar bisa menyelamatkan kakaknya, Darin, yang ditangkap oleh Prajurit Mask. Kemudian sudut pandang selanjutnya yaitu Elias, seorang siswa sekolah Prajurit Mask, yang memiliki keinginan untuk lepas dari kekangan kehidupan. Dia ingin bebas secara jiwa dan raga, namun keinginan itu terus terhalang oleh banyak hal. Kedua tokoh ini bertemu pada beberapa kali saja, namun jalinan ceritanya berkaitan satu sama lain.
Kartu Tanda Buku
Judul : An Ember In The Ashes || Penulis : Sabaa Tahir || Halaman : 520 || Penerjemah : Yudith Listriandri || Bahasa : Indonesia || Versi : Buku || Diterbitkan oleh Penerbit Spring || ISBN : 9786027432284
Ketika Penyerbuan Prajurit Mask Terjadi Di Malam Hari
Laia mendengar suara kakaknya baru saja masuk ke dalam kamar, dia berpura-pura sedang tidur namun Darin mengetahui kalau adiknya itu masih terjaga. Keduanya sangat dekat, setelah kepergian kedua orangtua mereka, Darin berjanji untuk selalu menjaga Laia. Mereka tinggal bersana Pop dan Nan, kakek dan nenek dari pihak Ibunya yang tidak pernah sama sekali mereka temui sejak kecil. Namun, suatu hari keduanya dititipkan oleh kedua orangtua mereka tanpa kisah yang bisa disampaikan, setelah itu tak pernah lagi terdengar kabar dari Ayah dan Ibu mereka. Mereka telah meninggal dunia.
Malam itu, Laia telah melihat sketsa yang digambar dengan sangat baik oleh Darin. Tapi, siapa sangka, akibat buku tersebutlah rumah mereka diserang. Darin disekap oleh para Prajurit Mask, sementara Laia yang hampir saja dilukai oleh salah seorang ketua Prajurit Mask berhasil melarikan diri. Sayangnya, Pop dan Nan dibunuh oleh Prajurit Mask dengan cara yang sangat sadis. Darah mereka mengalir menghiasi lantai rumah, kemudian rumah tersebut dibakar.
Sejak dahulu kala, rakyat Scholar selalu berusaha untuk tidak berurusan dengan Imperium. Kasta dari rakyat Scholar pun berada di lapisan terbawah. Tidak ada mimpi apalagi cita-cita yang tinggi bagi para perempuan kaum Scholar, mereka selalu berakhir menjadi seorang budak yang harus rela disakiti atau diperkosa oleh para Prajurit Mask. Sungguh, kondisi yang sangat mencekam dan menyedihkan. Itulah sebabnya muncul sebuah gerakan pemberontakan yang banyak dikenal dengan nama Reisitance.
Laia yang sudah tidak lagi memiliki siapa-siapa, diminta oleh Nan untuk pergi ke sebuah Permukiman. Dia menyendiri di sana dan berusaha berpikir bagaimana cara menyelamatkan Darin, karena hanya dialah yang dimiliki Laia di dunia ini. Sebenarnya, ketika membaca sudut pandang Laia ini, saya sempat gregetan. Tapi, Sabaa Tahir membuat motivasi serta karakter dasar Laia ini mampu diterima meski memiliki sisi menyebalkan. Ada alasan-alasan yang kuat yang menjadikan Laia seperti manusia pada umumnya : memiliki kelemahan.
Kelemahan ini dalam berpikir secara masak, membuat rencana sampai menaruh kepercayaan pada orang tertentu. Dia cenderung terburu-buru, walaupun tidak bisa disalahkan juga karena dia didesak oleh keadaan yang tidak lagi memungkinkan. Apalagi ketika dia berhadapan dengan seorang lelaki yang seharusnya dia curigai sepenuh hati, namun sayangnya, justru dia mempercayakan segala hal pada lelaki itu. Sungguh, Laia, kau membuatku sangat geram tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Kelebihan Laia adalah dia cerdas juga memiliki penampilan yang menarik serta kekuatan untuk bertahan hidup yang bagus. Itulah kenapa saya mengatakan kalau Laia ini beruntung karena ada dua lelaki yang sangat menginginkannya. Bahkan sang Komandan pun setuju bahwa Laia memiliki penampilan yang cantik meski itu digunakan untuk bernegosiasi dengan seorang pembuat pedang. Selain itu, ketahanan hidupnya itu tinggi, meski beberapa kali didera oleh rasa sakit dia tetap berusaha untuk terus hidup. Tekadnya untuk menyelamatkan Darin sangat kuat.
Ini yang membuat saya mengatakan kalau Sabaa Tahir tidak main-main menciptakan buku ini.
"Aku hidup dengan rasa bersalah. Tapi, ada dua jenis rasa bersalah, Nak : jenis yang menenggelamkanmu sampai kau tidak berguna, dan jenis yang membakar jiwamu untuk mencapai tujuan." ~ Hal 338
Ketika Kebebasan Tampak Lebih Menjanjikan Tapi Penuh Keraguan
Dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kabur dari Imperium menuju negeri yang bebas. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Elias tidak lagi mampu bertahan setelah kelulusannya. Ada hukuman yang teramat berat bagi mereka yang berusaha untuk kabur dari Imperium. Hukuman cambuk dan dipermalukan di depan umum. Sementara itu, Elias berkali-kali memikirkan cara yang tepat agar tidak tertangkap pasukan lain saat dia kabur. Ada satu masalah lainnya, hubungannya dengan Helena.
Helena adalah sahabat Elias sejak kecil. Mereka tidak pernah lepas. Selalu ada Elias dan Helena di semua waktu, mereka jarang terpisah. Baik Helena dan Elias seolah sepasang sepatu yang siap mengisi setiap langkah kehidupan yang mereka jalani. Namun, visi dan misi keduanya bertolak belakang. Helena adalah seorang prajurit yang sangat setia dengan Imperium, dia tidak akan berkhianat barang sedikit pun. Sementara Elias, dia sudah merasa muak dengan kehidupannya sebagai prajurit Mask.
Terutama ketika dia melihat salah seorang anak dari tahun Yearling dihukum di depan umum akibat ketangkap basah hendak membebaskan diri dari Imperium. Tekanan dan peraturan di tempat itu memang membuat banyak siswa dari Sekolah Keprajuritan Imperium merasa ingin sekali pergi dari tempat itu. Belum lagi kepemimpinan Komandan yang dikenal sebagai pemimpin tangan besi dan berdarah dingin. Dibuktikan dari banyaknya budak yang bekerja untuknya yang berakhir bunuh diri karena tak sanggup dengan tekanannya.
Elias memang sudah berada di tahun terakhir sekolah. Hanya tinggal menunggu kelulusan dan menanti pengumuman saja. Tapi, ternyata tidak seperti yang dibayangkan olehnya, namanya muncul sebagai empat orang terpilih yang mengikuti Ujian khusus keprajuritan untuk menentukan siapa kaisar selanjutnya yang akan terpilih. Elias sudah hampir ingin menyerah kalau tidak ingat bahwa siapa yang kalah akan dibunuh. Juara pertama akan menjadi kaisar dan juara kedua akan menjadi Blood Shriker, tangan kanannya.
Selama menghadapi Ujian tersebut-lah Elias selalu dibayang-bayangi rasa takut dan kelelahan yang luar biasa. Akankah ia akan sanggup menemukan jalan keluar bagi kebebasan jiwa dan raganya seperti yang dibisikkan para Augur? Augur ini siapa? Seperti apa Komandan dan bagaimana Elias serta Laia bertemu dalam petualangan mereka?
Sungguh, saya hampir tidak bisa memberi jeda barang sesaat selama membaca buku ini. Rasanya tak sabar untuk segera menyelesaikannya. Dan saat ini, saya tengah membulatkan tekad untuk meneruskan membaca buku keduanya. Semoga saja setelah ini buku ketiganya bisa terbit versi terjemahannya. Karena saya sangat menginginkan kelanjutan cerita mereka. [Ipeh Alena]