Book Review : All The Bright Places by Jennifer Niven

Book Review : All The Bright Places by Jennifer Niven






All The Bright Places - Membaca novel ini membuat saya berpikir. Terkadang, beberapa orang yang pernah melewati masa tergelap dalam hidup merekalah yang mampu merespon orang-orang yang ada di sekitar mereka yang tengah berada dalam masa kegelapan dengan baik. Meski tidak semua dari mereka yang pernah melewatinya kemudian masih ingat dan terus mencoba untuk bisa membantu yang lainnya keluar ke tempat yang lebih cerah.

Karena tidak semua orang itulah, banyak dari mereka yang tengah berada pada titik terendah hidup mereka, tak bisa ditemukan apalagi menemukan orang yang tepat yang mampu memberikan sedikit saja uluran tangan bagi mereka untuk keluar dari kegelapan. Saya menyebut masa-masa berat dalam kehidupan manusia sebagai kegelapan. Bukan berarti tanpa cahaya sama sekali. Bukan berarti tanpa warna sama sekali. Tapi, saat itu, terkadang yang dirasa adalah satu warna, monochrome, entah itu berbentuk abu-abu atau justru hitam. Tak ada hal lain yang dapat dirasa.

Beberapa kadang mengalami kesulitan untuk menikmati betapa lezat-nya tidur. Beberapa bahkan tak lagi merasakan nikmatnya makan ini dan itu. Bahkan beberapa pun tak lagi menikmati hobi yang pernah sangat digemarinya sebelum segalanya menjadi monochrome. Semua tampak datar. Tak berasa. Tak beraroma. Dan ini semua tidak terjadi secara tiba-tiba. Tapi perlahan, sedikit demi sedikit, hingga tanpa sadar monochrome menyelimuti kehidupan. Momen seperti inilah, menemukan dan ditemukan orang yang tepat adalah hal yang langka. Tidak semua orang berhasil, banyak yang akhirnya memutuskan untuk berhenti meraba.

Dan, bagi mereka yang berhasil keluar dari monochrome, terpisah. Ada yang mampu menoleh ke belakang kemudian mengulurkan tangan bagi yang lain. Ada pula yang tampak kehilangan sisi humanisme dalam diri mereka dan berlagak seolah dia tak pernah melewati masa tersebut. Kemudian menjadi manusia yang lebih kerdil karena melupakan masa lalunya. Berbahagialah mereka, yang memberikan uluran tangan bagi yang lain. Meski terkadang, ketika tangan sudah ter-ulur, tampak tak ada yang meraihnya. Namun, teruslah ulurkan tanganmu, jangan berhenti, jangan berhenti karena ada mereka yang tertatih-tatih di belakang mu hendak meraihnya.




Kartu Tanda Buku

Judul : All The Bright Places || Penulis : Jennifer Niven || Halaman : 378  || Versi : Ebook || Bahasa : Inggris || Penerbit : Knopf  || Rating : 4/5  || ISBN : 9780385755887 || Goodreads : https://www.goodreads.com/review/show/2410162513




Theodore 'Freak' Finch, demikianlah teman-teman di sekolahnya memanggilnya demikian. Sejak mereka menginjak kelas delapan, karena pertumbuhannya yang tampak kurang sesuai untuk anak seumurannya. Tidak diragukan lagi, masa sekolah adalah masa yang rentan terhadap tindak bullying. Bahkan, sebenarnya bullying masih terjadi di kalangan orang dewasa, hanya saja bentuknya berbeda. Kesamaannya adalah terkadang para perundung ini mengucilkan mereka yang dianggap kurang sesuai dengan kehidupan yang dijalani olehnya. Seolah bentuk perbedaan adalah sesuatu yang sulit diterima.

Itulah Theodore Finch yang tak lama kemudian tumbuh menjadi sosok yang melakukan segala hal yang diinginkannya. Sering membuat guru-guru menghela napas dengan berat. Serta sudah sering membuat Embriyo mengawasinya dengan seksama. Penampilan Finch juga tergolong unik. Dia menghabiskan masa sekolah menjadi anak yang super unik alih-alih menjadi anak yang tak terlihat. Meski bagi Finch dia tampak tak terlihat dan tak dianggap, namun sebenarnya dia sangat mencolok di antara anak lainnya.

Tokoh kedua bernama Violet Markey. Seorang cewek terkenal yang pernah menjadi ketua Cheerleader, gemar menulis, bahkan sudah membayangkan ingin mengajukan diri untuk masuk ke universitas New York mengambil jurusan Menulis. Kehidupannya selalu tampak cemerlang di sekolah. Apalagi dia berpacaran dengan cowok terkenal seantero sekolah. Bagi Finch, Violet adalah cewek yang tak akan pernah mampu diraihnya. Namun, kemalangan membuatnya justru berubah total, dari seorang gadis periang menjadi gadis yang pemurung, penyendiri dan sering kali menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian masa lalunya.

Pertemuan keduanya justru terbilang di luar dugaan. Dimana baik Violet dan Finch, sama-sama berada di sebuah tempat yang cukup tinggi di sekolah mereka. Keduanya memiliki pemikiran yang hampir sama, tentang bagaimana rasanya jika terjun dari tempat tersebut. Namun, Finch selalu memiliki sesuatu yang membuatnya menahan tindakan tersebut dengan ragam pertanyaan, “Apakah hari ini adalah hari yang sempurna?”. Sementara Violet, saat menyadari dirinya sudah berada di pinggir gedung, dia jujur mengatakan bahwa dirinya merasa sangat takut.

Kisah Violet dan Finch, dua remaja yang memiliki porsi masing-masing terhadap kehidupan, bertemu dan saling melengkapi satu sama lain sehingga membentuk cerita yang konon banyak orang mengatakan mirip dengan kisah The Fault in Our Stars. Namun, ada satu fakta yang diakui oleh sang penulisnya, bahwa kisah yang disampaikannya ini merupakan kisah nyata yang kemudian dia balut dengan fiksi. Untuk mengajak para pembacanya menyadari bahwa depresi itu nyata, Mental Illness itu nyata dan segala bentuk hal yang membuat banyak orang berpikir untuk bunuh diri itu NYATA.

***

Membaca novel ini membuat saya sempat merasa sulit untuk move on. Terutama sempat berhenti sejenak dari kegiatan membaca demi menurunkan gejolak emosi yang terbawa saat membaca novel ini.

Sebenarnya boleh dikatakan, saat membacanya di bab awal hingga hampir menjelang akhir, saya merasa gaya berceritanya ini sangat membosankan. Apalagi bagi saya, gaya bercerita, narasi, cara penulis menyampaikan cerita itu memegang peranan yang sangat penting sehingga saya yang cenderung moody reader ini selalu fokus pada hal ini. Untuk alur memang lambat, tapi saya pernah membaca alur yang lebih lambat dari ini. Jadi tidak pernah merasa bermasalah.

Namun, dari rasa kurang nyaman dengan gaya bercerita sang penulisnya, saya justru mengacungi jempol dengan penulisnya karena teknik dia menulis yang baik. Mengapa saya mengatakan teknik sementara gaya penceritaannya membuat saya kurang nyaman? Begini, meski saya akhirnya beberapa kali merasakan bosan, tapi saya sangat terbawa oleh suasana hati para tokohnya terutama Finch, yang benar-benar menghabiskan emosi saya selama membaca novel ini.


Bagaimana tidak? Emosionalnya yang naik turun bagai mengendarai roller coaster, membuat saya sempat merasa kelelahan. Apalagi saya sendiri pernah merasakan hal seperti itu namun tidak seperti yang dirasakan Finch. Saat Finch menghilang, saya sudah merasakan curiga, namun sayangnya ini tidak membuat keluarganya ikut curiga. Ah, saya jadi teramat sedih dengan kondisi Finch dan keluarganya. Betapa terkadang keadilan dalam hidup itu bentuknya sangat berbeda dan terkadang seolah tak kasat mata. Dan saya sempat ingin mengakhiri saja buku ini saat mencapai bagian yang teramat sulit, sakit dan sedih. Tapi, akhirnya, saya menyelesaikannya juga hingga halaman terakhir dan membaca dengan seksama bahwa kisah ini. Di salah satu bagiannya, pernah dialami sendiri oleh sang penulis.

Kalau mau baca novel ini, kamu harus menyiapkan hatimu agar tidak pecah berkeping-keping. [Ipeh Alena]

Postingan Terkait