Book Review - A River In Darkness : One Man's Escape From North Korea
Book Review - A River In Darkness : One Man's Escape From North Korea
People's kindness had been ground out of them. They were struggling to survive themselves. ~ Masaji Ishikawa
Jika mencari lagi di mesin pencarian, tentunya buku serupa bisa banyak ditemui. Seolah Korea Utara adalah sebuah neraka dimana penghuninya berlomba untuk keluar dan bebas dari negaranya tersebut. Saya sendiri sempat berpikir, kenapa banyak yang menulis hal serupa? Apakah yang diisahkan oleh Masaji ini betul-betul kisah nyata, ataukah seperti kisah seorang gadis dari Korea Utara yang kemudian ditemukan oleh media kebohongan yang dikatakan olehnya?
Saya sempat mengalami perdebatan sengit dalam kepala saya. Menerka-nerka apakah kisah ini nyata atau tidak. Karena, sungguh, kisah ini memuat segala hal yang cukup menyakitkan dan menyedihkan hingga akhir tentang perjuangan seorang lelaki yang ingin terbebas dari negaranya dan ingin membebaskan keluarganya. Meski demikian, ketika saya mencari tahu di mesin pencarian, banyak pembaca yang telah membaca buku ini juga bertanya-tanya. Mengapa tidak ada satupun data atau informasi terkait Masaji?
Terlepas dari rasa penasaran yang saya alami. Konflik yang terjadi antar banyak negara dengan Korea Utara memang tidak pernah hilang dari peredaran. Buktinya, setiap saya menonton NHK News World, selalu saja ditayangkan berita tentang Korea Utara, tentunya tidak menggambarkan secara langsung seperti apa, karena semua serba terbatas dan serba rahasia. Bahkan saya tidak tahu ada berapa banyak jumlah perpustakaan di sana dan seperti apa bentuknya? Atau tempat wisata mana saja yang direkomendasikan di Korea Utara? Sungguh minim sekali informasi yang saya dapat dari negeri tersebut.
If I remain in North Korea, I'll die of starvation. ~ Masaji Ishikawa
Anda bisa menemukan kisah singkat tentang Masaji di beberapa website yang menyeritakan hal yang sama, tentang dirinya yang merupakan seorang lelaki setengah Korea Utara dan setengah Jepang. Namun, hatinya terpaut pada Jepang, tempat asal ibunya. Tentunya juga banyak tertulis bahwa dia akhirnya dikirim ke North Korea karena ajakan sang ayah. Dia, Masako - adiknya, dan Ibunya harus menerima keputusan tersebut setelah mendapat dorongan dari komunitas di sana.
Namun, sebelum saya memulai semuanya dari awal, saya ingin bercerita tentang hubungan Masaji dan ayahnya....
Kartu Tanda Buku
Judul : A River in Darkness : One Man's Escape From North Korea
Penulis : Masaji Ishikawa
Halaman : 172
Versi : Kindle
Bahasa : Inggris
Penerbit : Amazon Crossing
Rating : 5/5
ISBN : 9781542047197
Goodreads : https://www.goodreads.com/review/show/2319681461?book_show_action=false&from_review_page=1
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Keluarga Masaji Ishikawa
Pada waktu itu, banyak orang-orang dari Korea Utara dikirim ke Jepang untuk dijadikan buruh atau budak. Beberapa dari mereka bahkan dibawa sejak masih sangat kecil sehingga tidak mengenal dengan baik seperti apa Korea Utara itu. Yang mereka tahu, di sanalah tempat mereka dilahirkan dan mungkin, di sana pula mereka akan meninggal. Sama seperti ayahnya Masaji yang merupakan orang Korea Utara.
Bagi penduduk Jepang, orang-orang yang berasal dari Korea Utara adalah orang yang kasar, buruk dan segala macam label penjahat dan kebodohan serta hal buruk lainnya melekat pada diri mereka, tidak terkecuali ayahnya Masaji. Di mata keluarga Ibunya Masaji, sang ayah hanya sosok lelaki yang memalukan dan akan merusak nama baik keluarga. Pernikahan mereka memang tidak disetujui dan sering menjadi penyebab keluarga besar dari Ibunya menolak untuk mengakui orangtua Masaji sebagai kerabat mereka.
Selain label yang melekat pada ayah Masaji, ternyata sosoknya yang dikenal sangat kuat hingga mendapat julukan The Tiger ini, memang menjadi bukti betapa orang Korea Utara itu memiliki perangai buruk. Tidak sekali atau dua kali saja Masaji mendapati ayahnya yang mabuk memukuli habis Ibunya. Bahkan, mabuk atau tidak, dia akan memukuli ibunya saat dia berada di rumah.
Perangai inilah yang terpatri terus di dalam kepala Masaji tentang sosok ayahnya. Tidak bisa disalahkan juga, jikalau dirinya sangat membenci sang ayah. Hingga suatu ketika sang Ibu akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah dan bekerja. Dia memiliki impian untuk membawa serta anaknya dan memiliki tempat tinggal. Untuk itulah dia bekerja sangat keras.
Masa kecil Masaji di Jepang memang bukan tergolong orang berada apalagi kaya raya. Mereka termasuk keluarga miskin. Sang Ayah bekerja apa saja yang mampu dilakukan olehnya, apalagi karena orang Kor-Ut pada masa itu, tidak memiliki izin untuk bisa bekerja apa saja sesuka kehendak mereka. Keterbatasan pekerjaan ini juga menjadi kesulitan bagi ayahnya Masaji. Namun, tetap saja, dia masih bisa bersekolah dengan nyaman.
Belum lagi hilang rasa sedihnya, sang ayah membawa pulang seorang wanita - selingkuhannya - untuk tinggal bersama dengan mereka. Ibu tirinya ini termasuk sosok yang mirip dengan Ibu tiri di lakon Bawang Merah Bawang Putih. Tidak perlu dijelaskan lagi, keinginan Masaji untuk pergi dari rumah sangat besar, dia hanya ingin tinggal bersama ibunya. Tapi, suatu ketika, beberapa orang dari komunitas setempat memaksa ayahnya Masaji untuk rujuk dengan ibunya dan memulangkan perempuan selingkuhannya itu. Siapa sangka, ayahnya justru menuruti apa yang dikatakan oleh orang-orang dari komunitas tersebut.
Singkatnya, setelah mereka rujuk, tidak lama kemudian berita itu datang. Orang-orang dari Korea Utara akan dipulangkan dari Jepang. Pada waktu itu, banyak sekali penduduk Kor-Ut yang tinggal di Jepang dipulangkan dengan menggunakan kapal besar. Masaji dan adik serta ibunya termasuk dalam rombongan tersebut. Dimana rasa khawatir yang sangat besar membuatnya enggan untuk menyetujui bahwa Kor-Ut adalah Surga.
Kehidupan Nyata Di Korea Utara Adalah Contoh Kisah Distopia Yang Nyata
Memasuki kehidupan Masaji di Korea Utara, saya melihat adanya kesamaan yang juga terjadi di Indonesia. Tentang birokrasi pemerintahan, tentang presiden yang tampak baik namun memiliki banyak hal yang disembunyikan dan tidak sesuai dengan kenyataan, tentang oknum-oknum pemerintah dan kepolisian serta militer yang semena-mena. Kehidupan mereka tidak sedang dijajak oleh bangsa lain, namun dijajah oleh bangsa dan kaumnya sendiri. Terutama mereka yang merupakan darah campuran (Jepang - Korea Utara), kehidupan mereka ditempatkan pada kasta terendah.
Sebenarnya ini sama saja, ketika di Jepang, warga Kor-Ut mendapat label atau kasta yang rendah. Demikian juga sebaliknya ketika mereka berada di Kor-Ut, orang Jepang menempati kasta yang paling rendah. Tidak ada yang lebih baik, jika saya menelisik lebih dalam lagi melalui cerita yang disampaikan oleh Masaji di sini.
Saya memiliki semacam ketidak-percayaan pada buku ini. Begini, di era saat ini, dimana banyak sekali beredar berita hoax dan artikel yang berisi propoganda terhadap beberapa hal terkait politik. Saya sempat berpikir, terutama karena minimnya akses informasi pada sosok Masaji Ishikawa ini sendiri. Pasalnya, seorang penulis masa kini, tentunya memiliki profil yang setidaknya dapat diakses oleh para penggemarnya. Namun, saya tidak mendapati informasi sedikit pun terkait Masaji Ishikawa ini. Perkiraan saya, Masaji Ishikawa adalah nama pena.
Selanjutnya, saya masih menyimpan kecurigaan, kalau cerita-cerita tentang orang-orang yang berusaha melepaskan diri dari Korea Utara adalah bentuk propoganda secara halus, demi menekankan pada publik bahwa Korea Utara adalah negeri yang tidak layak dihuni. Terlebih, berita-berita yang beredar tentang negara-negara yang takut akan terjadinya perang dunia karena Korea Utara sudah mengembangkan nuklir. Berita yang sempat saya dapat dari NHK News World, tentang guncangan yang terasa di beberapa negara tersebut, yang kemudian diberitakan bahwa ada kemungkinan Korea Utara tengah menguji coba nuklir buatan mereka.
Dengan kondisi yang demikian rumit ini, jelas banyak orang akan berpikir bahwa Korea Utara adalah Negeri Distopia yang nyata, tapi ketika saya tarik kembali beberapa sejarah yang tercatat di Indonesia. Tahun sekitar 50-an, juga merupakan tahun-tahun yang sulit. Krisis terjadi dimana-mana, bukan hanya di Korea Utara. Dimana dalam tulisan Masaji, beliau menjelaskan bahwa banyak penduduk Korea Utara yang mati karena kelaparan.
Sulitnya mendapat pekerjaan pada masa itu dan sistem mencari pekerjaan yang semua harus melalui pemerintah setempat, membuat Masaji kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi dia adalah returnee, seorang darah campuran, yang tentunya memiliki keterbatasan dalam mencari pekerjaan. Kehidupan yang sulit serta kesewenangan pemerintah dan kepolisian setempat sangat ditonjolkan. Bagaimana kehidupan Masaji yang teramat sulit, sampai-sampai mencuri adalah hal yang wajar dilakukan pada masa itu.
We were taught that Kim Il-Sung was "the king who liberated Korea from colonialism". He'd waged a war against US imperialists and their South Korean lackeys - and had won. It was thoroughly drummed into us that Kim Il-Sung was an invincible general made of steel. I could tell the teachers were proud of his role as the Great Leader of an emerging nation. ~ Masaji Ishikawa
Baiklah, simpan kecurigaan masing-masing, sambil berpikir bisa saja tulisan ini adalah kisah nyata. Namun, demi kepentingan bersama, informasi menyeluruh tentang Masaji Ishikawa disimpan erat-erat. Agar tidak mengalami hal-hal yang mampu mencoreng nama baik kedua negara. Apalagi, perlu diketahui, kisah heroik Masaji demi terbebas dari kekangan negaranya, dia rela untuk mendobrak aturan. Dia pergi dari negaranya dan meminta suaka dari negara Jepang dan bantuan dari mereka.
Perjuangannya untuk bisa kembali ke Jepang pun tidak mudah. Bahkan, kisahnya harus dirahasiakan dari publik, karena menyangkut beberapa orang yang berusaha membantunya. Apalagi ini termasuk dalam pelanggaran peraturan antar-negara. Masih ingat dengan status para pengungsi Rohingya? Sama seperti hal tersebut, bahwasannya memberi kewarga-negaraan bagi mereka adalah perkara rumit yang tidak bisa selesai dalam satu waktu.
Namun, karena Masaji seorang diri, karena itulah dia dibantu oleh banyak orang melalui suap demi suap yang dilakukan beberapa orang agar dirinya bisa tinggal dan menetap di Jepang. Meski begitu, tetap saja sulit bagi Masaji untuk mendapat pekerjaan yang layak. Hingga dirinya merasa tak cukup mumpuni untuk mengirimkan uang kepada anak-anaknya di Korea-Utara.
A totalitarian dictatorship is a "democratic republic". Bondage is known as "Emancipation". ~ Masaji Ishikawa
Sebuah Kisah Perjuangan Menuju Kebebasan Dibalut Kisah Sedih Tentang Kehidupan
Ada beberapa bagian yang membuat saya mengingat terus hingga selesai membaca buku ini. Beberapa bagian yang mengharukan juga menyedihkan. Pertama adalah ketika sang ayah yang kita ketahui sangatlah pemarah dan kasar, tidak segan-segan memukul. Justru saat mereka tiba di Korea Utara, perangainya berubah 180 derajat. Sangat jauh berbeda dari apa yang sebelumnya terlihat. Beliau menjadi lelaki yang berkata dengan lemah lembut, bahkan berbicara sambil berbisik pada Masako yang terus-menerus mengerang meminta untuk pulang ke Jepang.
Bukan hanya itu, selama mereka tinggal di Korea Utara, tepatnya di Dong Cho-ri, beliau tidak pernah sama sekali memukul ibunya. Menjadi lelaki yang bekerja sangat keras, tidak pernah lagi berkata kasar apalagi memukul sang ibu. Justru beliau menjadi kepala rumah tangga yang sangat penyayang dengan keluarganya. Sangat melindungi istri dan anak-anaknya, bahkan rela untuk memberikan apa saja demi keluarganya itu.
Hal kedua adalah ketika Masaji menikah, kemudian berpisah dengan istrinya sementara itu anaknya dititipkan padanya. Dia harus mengurus anak lelakinya tersebut, dengan bantuan adik dan ibunya. Kalau tidak, tentu Masaji tidak bisa bekerja dengan baik. Namun, tidak lama kemudian sang Ibu meninggal dunia. Dan pesan terakhir sang Ibu pada Masaji yang membuat saya merasakan sesak demikian hebatnya.
When you go back to Japan, please take my ashes with you. Take them to your granparents. Put them in their family grave. ~ Masaji's Mom
Ketiga adalah ketika adiknya yang sudah menikah, pulang dalam keadaan hamil besar, menggandeng dua orang anak yang merupakan anak tirinya. Dia diusir oleh mertuanya, karena tidak memiliki uang untuk pulang, akhirnya dia berjalan kaki demi mencapai rumah. Dengan begtu, bertambah lagi jumlah orang yang harus diberi makan oleh Masaji dan Ayahnya, karena keduanyalah yang masih mampu bekerja. Namun, tidak lama berselang, anak yang dilahirkan oleh Masako (adiknya), meninggal dunia.
Peristiwa keempat, kondisi sudah sedemikian sulit. Mereka tidak mendapat jatah makanan yang cukup. Belum lagi sulit untuk mendapat pekerjaan yang bertambah parah. Dan kelahiran anaknya Masaji yang penuh dengan perjuangan. Terutama karena istrinya lemah dan kurang nutrisi, kemudian mengalami pendarahan yang hebat. Dalam kekalutannya inilah, akhirnya tidak lama berselang, Masaji memutuskan untuk kembali ke Jepang dan meminta pertolongan agar keluarganya bisa keluar dari Korea Utara.
Sayangnya, setelah dia berhasil tinggal di Jepang, setahun kemudian dirinya mendapat telegram, berisi berita bahwa Istrinya meninggal dunia karena kelaparan. Sementara Masaji belum mendapatkan cara untuk menolong keluarganya agar bisa bebas dan berkumpul bersamanya. Tidak lama berselang, anaknya mengabarkan bahwa dirinya sudah memiliki dua anak dan tak mampu lagi tinggal lebih lama di Dong Chong-ri. Belum terkumpul uang yang hendak diberikan Masaji kepada anaknya, telegram selanjutnya tiba, mengabarkan bahwa anaknya meninggal dalam keadaan kelaparan.
Saya sempat menyalahkan Masaji, kenapa meninggalkan begitu saja keluarganya? Masa iya tidak sanggup mengumpulkan uang barang sedikit pun untuk dikirim ke keluarganya di Dong Chong-ri? Saya sempat merasa kesal, karena bagi saya ini sangatlah menyedihkan. Mendengarkan kabar anak dan istrinya meninggal, sementara dia masih saja belum menemukan cara untuk menyelamatkan mereka atau bahkan mengirimkan uang untuk mereka. Tapi, di bagian penutup, saya mendapati sebuah kalimat yang berisi penyesalannya. Yang berisi pernyataan yang membuat segala kekesalan saya luruh, bahkan saya tidak berhak untuk menghakiminya, atas keputusan yang diambil.
I often think about what would have become of me if I'd stayed in North Korea. I would probably have starved too. But at least I'd have died in someone's arms with my family gathered around me. We'd have said our goodbyes. ~ Masaji Ishikawa
Kalimat ini bisa ditemukan pada bagian penutup, yang membuat saya tak mampu lagi meredam rasa haru dan sedih yang sudah membuncah sejak halaman pertengahan menjelang akhir.
Masaji sendiri melakukan pelarian pada tahun 1996, kemudian tidak lama berselang sekitar tahun 1998 dia menerima beberapa kali berita dari anaknya. Setelahnya, dia kehilangan jejak dimana anaknya berada. Setiap malam dia tak mampu tidur hanya memikirkan tentang kondisi anaknya, apakah ada dari mereka yang mampu bertahan ataukah semuanya mati karena kelaparan?
Terlepas dari kecurigaan saya sepanjang membaca buku ini. Saya mengakui bahwa ini adalah buku yang tidak pernah saya sesali setelah membacanya. Terlebih, banyak pula klub pembaca yang membahas dan mendiskusikan terkait buku ini. Setidaknya, jika ini adalah kisah nyata, maka ini menjadi memoar yang bukan saja tentang kisah hidup sang penulis. Tapi, juga sebuah sejarah tentang sebuah negeri yang tak mampu diintip bagaimana rupanya. Jika kalian ingin membacanya, bisa melalui aplikasi Kindle, bagi pengguna Kindle Unlimited, bulan Maret ini bisa membaca buku ini secara gratis. [Ipeh Alena]