Ulasan Buku Dewi Kawi Karya Arswendo Atmowiloto

Ulasan Buku Dewi Kawi Karya Arswendo Atmowiloto



Dewi Kawi


Saya sering tertawa geli mendapati tulisan-tulisan om Arswendo ini selalu disampaikan seperti sesosok Paman yang tengah bercerita pada keponakannya. Begini, setiap penulis buku fiksi pasti seorang pencerita, pendongeng, yang kisahnya diceritakan dalam bentuk tulisan.
Namun, membaca karya Om Arswendo, saya selalu gumun. Kok, rasanya buku ini tidak membuat saya seperti benar-benar membaca buku. Tapi, seolah saya sedang mendengarkan dua orang sedang bercerita dan menimpali satu sama lain.

Dialog-dialog dalam buku karya Om Arswendo selalu tampak hidup. Terkadang seperti saya yang tengah dinasihati. Tidak jarang saya seolah mendengar mereka bercerita, tampak hidup, sementara saya seperti seonggok tumpukan kertas yang terbengkalai di sudut ruangan. Mendengarkan dengan khidmat setiap kisah dan percakapan.

Sampai detik ini, masih belum ada penulis yang membuat saya merasakan hal ini. Merasakan dialog-dialog yang hidup. Perbincangan yang awalnya sederhana tapi membuat saya berpikir, "loh kok bisa ke sini juga." Tetap nyambung dan tidak seperti dipaksakan.


Kartu Tanda Buku

Judul : Dewi Kawi || Penulis : Arswendo Atmowiloto || Halaman : 138 || Tanggal Terbit : 6 Mei 2013 || Penerbit : Gramedia Pustaka Utama || Versi : Digital ebook Gramedia || Bahasa : Indonesia || ISBN : 9789792240641



***

Juragan Eling tampaknya memang cocok dipanggil Juragan ketimbang sekadar panggilan, "Pak." Bagaimana tidak? Semua usahanya selalu sukses. Dari mulai jual belum lembut sampai stagen pun sukses sampai mancanegara. Bahkan di Paris, merk dagangnya pun dipakai. Kesuksesannya ini membawa Juragan Eling mengingat masa lalunya.

Masa ketika dia merasa jatuh cinta pada seorang pelacur. Pelacur ini dipanggil dengan nama Kawi. Seorang perempuan yang dalam ingatannya memiliki tahi lalat dan tubuhnya sedikit kurus. Namun, setiap kali Eling datang ke tempat lokalisasi, Kawi selalu sukses membuatnya nyaman.

"Cinta itu aneh. Kalau ada hal-hal dilakukan dengan aneh, itu baru namanya cinta. Kalau biasa-biasa bukan cinta." ~ Hal 99

Berbicara masalah aneh, juragan Eling ini juga banyak dianggap aneh oleh banyak orang. Baik karyawannya sampai orang yang ada di sekitarnya. Terlebih saat dia membeli sebuah tanah dan menyediakan rumah untuk para pekerjanya. Dimana tempat tinggal tersebut tidak dikenakan biaya sewa. Sampai kapan? Katanya, sejauh mana bisnisnya berjalan. Kalau gagal, berarti mereka harus pindah dari tempat tersebut.

Belakangan, sejak dia mengingat kembali sosok perempuan bernama Kawi inilah, dia sering bercerita pada Podo, saudaranya. Podo bahkan berusaha mencari dimana sosok Kawi berada. Dari sekitar dua belas orang yang bernama Kawi, hanya ada beberapa yang hampir mirip dengan yang dikisahkan oleh Eling. Namun, tetap saja, Eling masih belum bisa menemukan sosok Kawi yang diingatnya.

Di sinilah, pemikiran Eling tampak seperti habis membaca buku Mindset yang kemarin saya terbitkan tulisannya. Kenapa? Karena, Eling membahas tentang Pola Pikir. Bagaimana dirinya mengontrol pikirannya untuk membangun imajinasi tentang Kawi yang mana setiap ingatan dan imajinasi ini bercampur satu sama lain. Saking bercampurnya, Eling tidak tahu manakah yang merupakan kenyataan. Dan mana yang hanya imajinasi dan keinginan belaka.

"Dusta tak mengingkari realitas karena realitas itu sendiri berubah terus." ~ Hal 48

Begini, kalau pembaca menginginkan novel yang saklek dalam penyampaian, tentu akan menganggap novel ini aneh. Tapi, kalau ditelusuri lebih dalam lagi. Ini adalah kisah tentang bagaimana manusia menyimpan kenangan. Bagaimana kenangan itu bisa bercampur-aduk menjadi sesuatu yang baru dan terkadang jauh dari kenyataan.

Bentuk realitas baru dalam novel ini adalah bagaimana sosok Kawi diperkenalkan pada kita. Ada beberapa hal yang sama, meski dimunculkan dalam berbagai bentuk dalam setiap babak kenangan. Ada pula sesuatu yang berkembang menjadi hal yang lebih menjurus mengenai hubungan antara Eling dan Kawi.

Meski tentu kita akan bertanya-tanya, jadi... Kawi yang manakah yang sesuai?
Novel ini memang khusus untuk pembaca Dewasa. Jangan mencoba-coba membacanya kalau belum mencapai usia 21+. Karena realitas dalam kehidupan masa muda, tentu masih berbeda. Apalagi dalam novel ini, yang disajikan adalah bentuk pemikiran sosok lelaki yang sudah uzur. Sudah bangkotan. Sudah hampir mati, jika dikatakan dengan bahasa kasar. [Ipeh Alena]

Postingan Terkait