Hidup Itu Harus Pinter Ngegas & Ngerem
Emha Ainun Nadjib - Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem, merupakan judul buku yang berisi tentang pembahasan tentang kehidupan dan perilaku manusia di Indonesia secara garis besar. Bahkan, melalui beberapa contoh mendasar yang disertai dalam setiap pernyataan, membantu agar jalur pikiran pembaca lebih teriring secara fokus pada permasalahan. Agar tema dan topik yang dibahas tidak terlalu luas.
Secara menyeluruh, memang Cak Nun membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Karenanya, tidak heran jika beliau sering mengutip dari beberapa ayat alquran dalam penjelasannya. Untuk memberi penjelasan yang lebih baik tentang roda kehidupan dan hal-hal apa saja yang ternyata justru lebih sering dilupakan.
Saya pribadi, kebingungan. Bagaimana cara saya menceritakan isi buku ini? Meski isi tulisan ini merupakan hasil buah karya pemikiran Cak Nun, tetap saja ada beberapa hal yang masih kurang sejalan dengan apa yang saya pikirkan dan yakini. Terkadang memang perbedaan ini memang lebih seringnya campur tangan dari penafsiran yang berbeda. Namun, tetap ada beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat pada masa kini yang seru juga untuk dibaca. Seperti, kebiasaan orang-orang terkait kondisi masa kini.
Jadi, kemungkinan besar, saya hanya akan menyertakan beberapa kutipan disertai penjelasannya sedikit semacam rangkuman dari penjelasan buku ini. Karena, memang akan lebih dirasa manfaatnya dengan dibaca sendiri. Bukan sekadar membaca dari ulasan saja. Sejalan dengan kutipan pertama dari buku Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem.
Jangan gampang percaya dengan hal-hal yang terlihat. Jangan tertipu penglihatan kita. ~ hal 9
Kutipan ini terdapat pada bab 1, mengawalinya dengan kebiasaan manusia yang sering dilakukan. Tentang sudut pandang yang selalu dijadikan pembenaran. Beliau memberikan contohnya, seperti ketika kita melihat banjir, kecenderungan yang sering terjadi adalah manusia menyalahkan air. Padahal Air hanya patuh pada hukum gravitasi, dimana air akan turun ke tempat yang lebih rendah. Ada sela ia akan masuk. Itu sifat air.
Manusia yang tidak becus membuat sistem irigasi, tidak becus menyusun tata kota, hingga akhirnya air masuk. Air itu pada dasarnya taat pada Allah. Namun, berbenturan dengan kepentingan banyak orang kota, maka air yang masuk ke kota disebut banjir.
Jangan ingin menjadi orang besar. Inginlah menjadi orang yang bermanfaat. ~ Hal 43
Dalam buku ini, Cak Nun mengingatkan agar kita tidak salah niat. Agar yang menjadi landasan kita melakukan banyak hal demi kesuksesan selalui diawali dengan asas kebermanfaatan. Seberapa banyak manfaat yang sudah kita berikan pada orang lain.
Perlu ada peralihan ke spiritualitas masjid. ~ hal 50
Di bab ini, diceritakan tentang asal usul eksistensi Nyai Roro Kidul. Ketika kekuasaan politik kerajaan-kerajaan di Jawa beralih dari Hindu-Budha ke Wali Sanga, setting Hindu Budha beralih ke setting Islam. Masa wali sanga ini berlangsung sampai Pajang. Setelah Pajang pindah menjadi Mataram, wali sanga tidak dipakai lagi. Diganti spiritualitas Nyai Roro Kidul.
Raja Jawa seluruh Yogyakarta, sejak jaman panembahan Senapati, masih terkait dengan Nyai Roro Kidul. Itulah kenapa, hal ini harus diantisipasi dengan mengalihkan spiritualitas Nyai Roro Kidul ke spiritualitas masjid.
Nah, dari beberapa hal yang saya setuju, ada juga beberapa poin yang kurang saya setujui. Banyak sebenarnya, tapi akan sedikit saya uraikan dalam tulisan ini agar pembaca yang penasaran dengan isi buku, bisa menimbang dan memutuskan sendiri.
1. Tentang Membaca Quran
Jadi di halaman 17, beliau menuliskan tentang orang-orang yang menjaga Gunung Merapi dan mensyukuri rahmat yang diberikan melalui gunung tersebut memiliki penilaian dari Allah setara dengan orang yang khatam Al-Quran.
Serta tentang pelafalan yang kurang benar dalam membaca Quran. Benar memang bagi yang belum mengetahui ilmunya, tidak masalah. Tapi, di sini, seolah-olah hal ini gampang. Jika dibaca oleh orang yang kurang pemahaman, maka mereka akan menganggap bahwa bacaan mereka sudah benar tanpa harus belajar ilmu tajwid lagi.
2. Memberikan gender pada Allah
Ya, ini berisi juga logika dari beliau. Dan di halaman 129 beliau memberikan pemikiran tentang sifat dan diri Allah yang memiliki aksen feminim dan maskulin.
Maaf, untuk banyak hal, saya tidak bisa menjelaskan kenapa saya kurang sepakat. Tapi, ini semacam warning bagi kalian yang ingin membaca tulisan ini. Agar tidak langsung menelaah tanpa dipelajari lebih lanjut.
Karena menurut hemat saya Allah itu berbeda dengan makhluk Nya. Jadi, tidak ada sisi feminim dan maskulin karena memang berbeda. Gitu.. bisa jadi penjelasan saya kurang memuaskan karena ilmu yang saya dapat masih sedikit. wallahualam
Dari dua poin di atas, semoga bisa menjadi sebuah bahan pertimbangan. Bukan, buku ini bukan buku yang jelek atau buruk atau menyesatkan. Hanya saja, buku ini berisi tafsiran tentang Agama dan Islam serta Ketuhanan dari seorang Cak Nun.
Meski mungkin pemahamannya luas, toh beliau diberi batasan juga. Sehingga untuk banyak hal, ada baiknya dilihat kembali dari ilmu dasar tentang beberapa hal yang dibahas. Apalagi ini mengikut sertakan beberapa hadis yang belum saya kenal. Jadi, ada baiknya untuk tetap menyaring apa saja yang ditulis dalam buku ini.
Karena kalau terlalu taklid, nantinya akan menyusahkan diri sendiri. Taklid akan membawa pada tindakan dan pemikiran yang sempit.
Sejauh ini, saya setuju dan sepakat, dalam bab Menjadi Manusia dulu Baru Jadi Muslim. Ini menekankan bahwa, kita harus mengenal diri kita dulu, baru bisa mengenal Allah. Kalau kita belum tahu siapa sih diri kita ini, maka akan sulit nantinya mempelajari Islam. Karena berkenalan dengan Allah itu ada ilmunya.
Kartu Tanda Buku
Judul : Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem || Penulis : Emha Ainun Nadjib || Halaman : 230 || Penerbit : Noura Books || ISBN : 9786023851508 || LBABI : 3 || Rating : 🌟🌟🌟