Rule of Thirds : Dua Dunia Dalam Tombol Shutter
Rule of Thirds merupakan buku karya Suarcani yang pertama kali saya baca. Namun, bukan berarti ini karya pertamanya, karena sebelum RoT, sudah ada beberapa karya yang mendahului. Awal pertama tahu kehadiran buku ini melalui timeline kawan saya di Facebook. Saya bertanya-tanya dalam hati, kira-kira apakah judulnya hanya semata menempelkan istilah fotografi, atau ada unsur fotografinya juga di dalamnya?
Kesempatan itu terbuka ketika saya beruntung mencicipi buku ini melalui ajang pencarian bookstagram dari salah satu akun pencinta buku. Itu pun saya ikutannya dengan setengah hati. Karena peruntungan saya dalam dunia giveaway ini lumayan kurang oke, sehingga saya tidak banyak berharap. Pun ketika kak Suarcani menanyakan perihal akun Goodreads serta buku metropop apa saja yang sudah saya baca, akhirnya saya tambah menyerah, tak berani berharap. ahahahaha.
Tapi, ternyata oh ternyata, saya mendapat kesempatan tersebut. Sungguh menggembirakan pastinya, terlebih rasa penasaran saya bisa segera saya tuntaskan. Bagaimana pun, setidaknya saya tak menyesal dalam hal ini, yaitu pernah berharap meski sempat menyerah hehe.
Sebelum saya lanjutkan, saya ingin sedikit mengenalkan perihal buku ini terlebih dahulu.
Kartu Tanda Buku
Judul : Rule of Thirds || Penulis : Suarcani || Halaman : 280 || Penyunting : Midya N. Santi || Penyelaras : Mery Riansyah || Perancang Sampul : Orkha Creative || Penerbit : Gramedia Pustaka Utama || ISBN : 9786020334752 || LBABI : 1 || Rating : 3/5
Sinopsis
Apalagi yang paling menyakitkan dalam pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?
Demi mengejar cinta Esa, Ladys meninggalkan karir sebagai fotografer fashion di Seoul dan pulang ke Bali. Pulau yang menyimpan kenangan buruk akan harum melati di masa lalu dan pada akhirnya tempat ia menangis.
Dias memendam banyak hal di balik sifat pendiamnya. Bakat terkekang pekerjaannya sebagai asiaten fotografer, luka dan kerinduan dari kebiasaannya memakan apel Fuji setiap hari, juga kemarahan atas cerita kelam tentang orang-orang yang meninggalkannya di masa lalu. Hingga dia bertemu Ladys dan berusaha percaya bahwa cinta akan selalu memaafkan.
Ini kisah tentang para juru foto yang mengejar mimpi dan cinta. Tentang pertemuan tak terduga yang mengubah cara mereka memandang dunia. Tentang pengkhianatan yang akhirnya memaksa mereka percaya bahwa hidup kadang tidak seindah foto yang terekam setelah mereka menekan tombol shutter.
Kisah Apa Yang Berada di Balik Rule of Thirds?
Kalau dari sinopsisnya sudah jelas bahwa ini kisah cinta yang juga dibumbui dengan pengkhianatan dan bagaimana tokoh-tokohnya berurusan dengan kata maaf. Ada beberapa poin yang sudah saya tangkap ketika membaca sinopsis singkat dari buku ini.
Dimulai dari kepulangan Ladys ke Bali. Sudah bisa ditebak ya, Ladys kembali ke Bali demi Esa. Namun, di balik itu ada alasan lainnya yang membuat Ladys setuju untuk kembali ke Bali. Yaitu permintaan sang Om untuk membantunya di studio foto miliknya di Bali. Jadi, bisa saya simpulka.keputusan Ladys awalnya untuk menerima tawaran sang Om masih belum bisa dia terima, namun karena kerinduannya dengan Esa akibat LDR selama setahun. Justru inilah yang menjadi penguat alasannya untuk menjejakkan kaki di Bali.
Ladys memang tinggal di Korea bersama papanya. Di sinopsis tersemat kalimat "PULANG KE BALI" yang menandakan Ladys adalah sosok penduduk asli dari Bali. Yang tampaknya sudah begitu lama tak kembali ke rumahnya (Pulang biasanya identik dengan kampung halaman atau rumah). Namun, ternyata tempat inilah yang ada akhirnya membawanya pada kenangan masa lalu dan membuatnya menangis. Karena di rumah yang ditempatinya - meski sementara - ini menyimpan banyak kenangan tentang keluarga.
Sementara Dias, bukan seorang lelaki dari keluarga yang cukup mapan. Terlebih hobi dari si Bapak yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan sementara tidak pernah bekerja sama sekali (ini mengingatkan saya pada anime Kamisama Hajimemasita #eeaa). Kehidupan Dias dan adiknya - Tyas - akhirnya harus sangat mengirit, bahkan Dias merelakan pendidikannya terhenti demi sang adik. Kehidupannya sebagai kakak lelaki yang harus melindungi Tyas, membuat Dias memiliki pembawaan yang sedikit muram, serius dan cenderung kurang bersahabat.
Pertemuan pertamanya dengan Ladys, pun membuat Dias bukannya justru bersenang-senang, tapi malah menjadi semakin tak menentu. Pasalnya, Dias terus saja menjadi seorang asisten fotografer yang bahkan harus berusaha untuk menabung demi membeli kamera untuk dirinya sendiri (iya, harga kamera DSLR emang gak murah, Dias. I feel you #eeaa). Dari tabungannya sedikit demi sedikit inilah, Dias menyimpan impiannya.
Selain dua karakter ini, ada beberapa karakter lain seperti Tyas, adiknya Dias. Om Agung - adik papanya Ladys - yang juga merupakan bosnya Dias. Kemudian rekan kerja mereka di studio foto, dan Esa serta Prajna. Esa sih udah ketawan ya seseorang yang disukai Ladys, Prajna? Ketebak gak sih kalau Esa itu cowok yang disukai Ladys, sementara Prajna.... Ya bisa ditebak ya, kalau enggak berarti memang harus SEGERA beli bukunya.
Disamping karakter-karakter yang muncul, kisah kehidupan mereka, ada juga nih yang menjadi daya tarik tersendiri novel Rule of Thirds ini. Yaitu, adanya informasi terkait dunia fotografi, entah itu istilah seperti yang terpampang di judulnya : Rule of Thirds, kemudian overexposure, flare dan banyak istilah fotografi lainnya yang tidak kalah seru untuk disimak sedikit. Selain itu, dialog antara Ladys dan Dias, juga menyematkan beberapa sosok fotografer favorit mereka berdua - yang notabennya berbeda - yang justru membuat pembaca juga bisa mencari tahu lebih lagi tentang mereka.
Jadi, apa yang tersemat dalam novel ini, bukan sekadar tempelan semata, tapi memang diberi porsi yang sesuai. Sehingga pembaca bisa mendapat nilai lebih dari membaca novel Metropop Rule of Thirds ini. Oiya, di balik beberapa hal yang saya suka, ada juga semacam pendapat saya pribadi mengenai kekurangan dalam novel ini. Tak mengapa ya, semoga saja penulisnya semakin semangat untuk menyajikan karya yang membuat pembacanya akan terngiang terus.
Pendapat Saya Tentang Rule of Thirds
Beberapa adegan dalam novel ini sebenarnya cukup mengenaskan, terlebih sang tokoh beberapa kali mengalami goncangan dalam kehidupannya yang semestinya bisa dirasakan oleh pembaca. Inilah yang menjadi hal yang kurang dalam novel ini, kurang bisa membangun emosi pembaca melalui adegan dramatis yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Saya bukan pembaca yang susah untuk dibikin senang, tapi saya bahkan belum lupa bagaimana depresinya tokoh yang pernah saya baca dalam novel Wuthering Heights. Atau bagaimana saya merasa sebal dengan tokoh lelaki di novel Landline. Saya masih ingat, bagaimana kekesalan itu terbangun akibat dari emosi yang terbentuk melalui susunan kata dalam sebuah buku.
Hal lain yang cukup saya rasakan kurang tereksplor adalah karakter Ladys. Meski digambarkan Ladys memiliki sedikit kenangan yang kurang mengenakkan dengan Melati. Meski kemudian digambarkan juga bagaimana dia justru selalu ingin terikat dengan hal berkaitan dengan Melati. Tapi, di sini, Ladys justru tidak begitu menampakkan hal tersebut, hanya seperti omongan orang lain kalau Ladys senang dengan hal yang berkaitan dengan Melati. Bukan dengan menunjukkan bahwa Ladys selalu addict dengan segala hal tentang Melati. Karena meski dia selalu menenteng atau bahkan memeluk Jasmin tetap masih lebih menonjol di karakter Dias, yang selalu kemana-mana memakan Apel Fuji.
Nah, kalau ini sih benar-benar MURNI kebetean saya sama tokoh di dalam novel ini. Meski saya berpikir kalau kak Ari tengah menguji keimanan dan kesabaran saya melalui KEBODOHAN kedua tokohnya. Ahahahahahaha, iya serius deh saya benar-benar jengkel dalam beberapa hal yang terkait dengan Ladys dan juga Dias. Astaga, saya benar-benar tak habis pikir hingga akhirnya mengomel-ngomel ketika berhadapan dengan keduanya. Tapi, saya bersyukur, karena ternyata Kak Ari tidak berlama-lama menyiksa saya, kemudian mengakhiri kebodohan kedua tokohnya dengan cara yang memang cukup mudah ditebak. Namun, masih lebih mending daripada tetap diakhiri dengan hal yang membuat saya ingin bertemu secara langsung dengan Ladys dan Dias (Emang mereka nyata, Peh?).
Kesimpulan
Kalau menurut saya, buat kalian yang memang suka dengan genre Metropop atau mencari bahan bacaan yang ringan tapi cukup menghibur dan bisa mendapat informasi terkait fotografi. Novel ini oke juga, bukannya saya promosi, tapi memang serius saya malah baru tau beberapa nama fotografer yang disebutkan dalam novel ini. Sehingga bagi saya, novel yang mengisahkan kehidupan tentang cinta dan masa lalu ini, cukup memuaskan. So far, jangan lupa beli ya mau novelnya atau ebook legalnya. Soalnya, biar kalian bisa tau, gimana sebalnya saya sama Ladys dan Dias. Ahahahahahaha.
Bekasi, 24 Pebruari 2017