Tiga Cinta Satu Pria – Sedikit kisah dari seorang lelaki bernama Bong, yang merupakan seorang Seniman. Dia pelukis yang handal, karya lukisannya sudah sering dipajang di banyak galeri. Belum lagi, banyak undangan yang datang padanya untuk menjadi pembicara, undangan tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi, juga dari luar negeri. Menurut sahabatnya – Lelaki berkumis yang rupawan – Bong ini diselimuti oleh kabut putih yang membuatnya sulit untuk ditebak dan sulit untuk dijangkau melalui pikiran. Kegemaran Bong yang selalu merasa bahagia dengan menghasilkan karya lukisan Buaya, membuatnya saat itu pertama kalinya menjejaki kancah ketenaran.
Begitulah Bong dengan kehidupannya. Sebuah buku yang akan memuat cerita tentang cinta dan segala kerumitannya. Berisi tokoh-tokoh dengan nama yang tidak biasa.
(
Spoiler Alert : Cerita dalam novel ini berisi banyak konten dewasa.)
TOKOH
Bong : Seorang lelaki yang dadanya tak berbulu, jarang membicarakan masa depan - atau tidak pernah, gemar berjalan-jalan kala malam hari sambil bertelanjang kaki. Memiliki kebiasaan memeluk pohon erat-erat, kemudian tersenyum ceria, bahagia. Kegemarannya adalah mencium bau tanah yang bercampur air hujan.
Cah Angon : Anak penggembala, masih kecil, tubuhnya kurus, matanya tirus dan selalu ada kesan menggigil, bibirnya bagai bibir tikus.
Keka : Anak seorang pengusaha besar, cantik, mencintai Bong meski sudah memiliki calon suami. Kaya raya.
Pak Kol : Seorang kolektor lukisan, pemilik galeri yang terkenal. Dia yang membantu Bong hingga karya lukisannya dikenal banyak orang.
Keka Kecil : Anaknya Keka, buah hati dari Suaminya Keka dan Keka. Kekasih juga menyukai Bong dan menganggap bahwa lukisan Bong yang terbit di majalah anak-anak, merupakan lukisan yang ditujukan untuk Kekasih, meski saat itu mereka belum pernah bertemu, setelah bertemu keduanya seakan memiliki hubungan yang kuat.
Keka Siang : Anak dari Kekasih, cucu dari Keka. Yang diselamatkan keberadaannya oleh Bong. Keka memiliki kemampuan mengetahui sesuatu yang akan terjadi.
Setting
Cerita pada novel ini, semua lokasinya berada di Indonesia. Tapi, pada bagian Bong masih kecil, daerah tempatnya tumbuh, berada di satu kampung yang tidak diketahui dimana letaknya. Kemudian sanggar, rumah mewah Bong, rumah Keka sampai Apartement Bong. Kemudian Rumah Bambu yang digambarkan berada di bawah pohon gede.
Bong dengan Perempuan Tua
Bong kecil yang tidak memiliki keluarga, apalagi sanak saudara, yang tinggal di rumah majikannya. Baru saja selesai disunat. Tapi, ternyata pesta yang diadakan hari itu, merupakan pesta untuk anak Majikannya. Bong kecil tidak mendapat tamu sama sekali, sampai menjelang sore, datanglah seorang perempuan tua. Yang dahulu pernah bekerja di rumah majikannya itu, datang dengan mengendap-endap karena tidak diundang dan takut diusir, menemui Bong Kecil dan memberikannya hadiah.
Kebahagiaan terpancar dari mata Bong Kecil, kemudian untuk membantu Bong kecil sembuh dari luka bekas sunat, perempuan tua tersebut menawarkan bantuan untuk merawatnya. Tidak diceritakan apakah Bong masih mengenal Ibunya / Bapaknya atau tidak, karena dia hanya tahu bahwa ketika sadar, dia sudah berada di rumah majikannya. Tapi, bersama dengan perempuan tua itu, Bong merasa nyaman. Dia merasa senang setiap kali perempuan tua merawatnya.
Setelah itu, Bong yang tinggal bersama Perempuan Tua, kemudian tetap bekerja di rumah majikannya. Memutuskan untuk pergi ke Kota. Tapi, Perempuan Tua itu melarang Bong untuk datang menemuinya lagi.
Bong sebelum terkenal
Setelah hijrah dari desa ke kota, Bong ikut di sebuah Sanggar yang memang menampung banyak orang dari banyak kalangan. Bukan hanya orang mampu, tapi juga banyak anak jalanan yang ikut berkumpul di sana. Ada yang menyanyi, melukis, melakukan pentas drama dan banyak lagi. Bong tumbuh di sana, bersama orang-orang yang mencintai seni, sehingga Bong kemudian menekuni dunia melukis, meski saat itu belum memiliki media yang layak. Bong akan tetap melukis di mana saja, di tempat yang tidak mengganggu.
Di sanggar tersebut, Bong dan teman-teman lainnya juga sering bekerja bahu-membahu untuk membuat sebuah hiasan. Inilah sumber mata pencaharian mereka semua di sana. Hiasan untuk mobil yang membuat Sanggar tersebut hidup, untuk makan mereka semua.
Kegemaran Bong melukis, suatu ketika diminta untuk memajang lukisannya di pameran lukisan. Tanpa disangka, justru lukisannya-lah yang dibeli dengan harga yang lumayan mahal. Ini membuat kawan-kawannya bertanya-tanya, apa yang menjadi daya tarik lukisan Bong? Tapi, ternyata Bong justru memaksa untuk mengembalikan uang dari orang yang membelinya.
Setelah itu, pertemuan dengan Pak Kol, yang melihat lukisan Buaya milik Bong, yang menjadi pintu kesuksesan Bong selanjutnya.
Bong dan Keka
Tidak diberitahu siapa nama Keka, apa nama kepanjangannya? Tidak ada yang tahu, kecuali Keka sendiri. Keka bertemu Bong di Sanggar. Bong sendiri yang pada mulanya terlebih dahulu menemui Keka dengan alasan yang klasik, minta diantarkan ke tempat orang yang membeli lukisannya.
Sejak itu, mereka berdua selalu bersama. Kemudian, mulailah Bong tinggal bersama di rumah Keka, sampai Keka menolak menikah dengan calon suaminya saat itu. Dia hanya ingin bersama Bong.
Tapi, Bong adalah Bong, yang tetap mencintai Keka namun tidak kunjung melamarnya. Membuat Keka kebingungan dan pada suatu ketika, Keka pergi untuk waktu yang teramat lama. Keka menikah dengan calon suami yang pernah ditolak, kemudian telah memiliki seorang anak.
Bong dan Keka kecil
Siapa yang sangka, kalau ternyata Keka kecil - anak Keka dan suaminya - meminta agar Ibunya mau mengantarkan Keka Kecil ke rumah seorang pelukis yang selalu diidolakannya.
Pertemuan Keka dan Bong saat itu tampak canggung, Bong segera tahu bahwa Keka Kecil adalah anaknya Keka. Mereka tidak saling berbicara, hanya bertegur sapa dan menanyakan kabar. Kemudian Keka menjelaskan bahwa Keka Kecil ingin bertemu dengannya.
Bong mengajak Keka Kecil masuk ke rumahnya, namun Keka menolak dan meminta menunggu di mobil. Keka Kecil bercerita, bahwa setiap lukisan Bong, dirasanya merupakan lukisan yang dibuat untuk Keka Kecil. Sesuatu itulah yang membuat Keka Kecil seketika menyukai Bong dan menganggap ada hubungan antara Bong dengannya.
Keka Kecil bahkan ketika beranjak remaja, masih suka bertemu dengan Bong. Berbincang dengannya, bercerita dan menghabiskan waktu dengan Bong. Malah, hanya Keka Kecil yang berhasil membuat Bong banyak berbicara, dibanding para wartawan yang lebih sering ditolak olek kehadirannya oleh Bong.
Dan kebersamaan Keka Kecil berlanjut hingga dewasa dan pulang membawa berita bahagia. Bong-lah yang menjadi tempatnya meminta bantuan karena Papa dan Mama Keka merasa marah dengan berita yang diterimanya.
Keka Siang
Diberi nama oleh Bong karena Bong ingin mengabadikan nama Keka - cinta sejatinya - dan Siang itu karena bayi kecil mungil yang saat itu hadir tanpa diketahui siapa ayah biologisnya, lahir pada waktu Siang hari. Seperti diinformasikan pada Karakter tokoh. Bahwa Keka Siang memiliki kemampuan melihat masa depan orang-orang tersayangnya. Seperti ketika Mama Tua - panggilan untuk Nenek Keka - sebelum sakit, Keka Siang sudah meminta untuk digunduli dan berangkat ke Jepang. Benar saja, Nenek Keka dinyatakan sakit dan memang harus berobat ke Jepang.
Beberapa kali Keka Siang tidak naik kelas karena harus berpindah-pindah sekolah. Alasannya, Keka Siang tidak cocok di sekolah tersebut karena sering 'diganggu' makhluk lain yang kasat mata.
Pendapat Ipeh Alena
1. Pada bagian ketika Bong kecil dan hubungannya dengan Perempuan Tua. Mungkin akan didapat sesuatu yang tampak 'tak biasa' bagi beberapa pembaca. Hingga saya sendiri, kemudian bertanya pada salah seorang teman tentang hal ini. Dan menurutnya, "hubungan si anak dengan orang tua dan anak-anak seusianya juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangannya." Sehingga saya garis bawahi bahwa kurangnya ikatan tersebut yang membuat Bong merasa nyaman dengan Perempuan Tua.
2. Ini merupakan kisah yang mungkin akan membuat pembaca mengerutkan kening. Kenyataan bahwa kisah cinta para tokohnya selalu bermuara pada satu orang. Tapi, bagi saya, sama seperti kata Cep Subhan, "sebuah cerita yang biasa bukan tanpa makna."
3. Seperti biasa, hal yang saya sukai dari cara Om Arswendo menulis, yaitu dialog yang mengalir seakan para tokoh tengah berbicara langsung pada saya tanpa batasan dan tanpa penghalang. Meski, lagi dan lagi, kerap saya menemui satu dialog yang panjang tentang pendapat si tokoh, namun rasanya tampak seperti berbicara pada diri sendiri. Yang sering membuat saya mengerutkan kening sambil ngebatin, "apakah ini perlu?"
Selebihnya, novel yang sering saya baca ulasannya dari pembaca lain, selalu diikuti dengan pendapat : keruwetan / kerumitan. Tapi novel ini masih bisa dibaca dengan santai, tanpa ekspektasi macam-macam, biarkan saja tokoh-tokoh dalam novel ini menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Begitu saja.
** Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman membaca dari pemilik blog. Dan bukan tulisan berbayar. **