#BookReview Thousand Cranes Karya Yasunari Kawabata

Thousand cranes review



Thousand Cranes. Membaca buku karya Yasunari Kawabata, bisa mengecoh pemikiran. Keahliannya dalam bermain kata, terutama dalam menyiratkan sesuatu tanpa tampak di permukaan. Membuat saya semakin penasaran dengan karya-karyanya.

Pada mulanya, bolehlah kiranya kita mengira dalam cerita pendek yang terkumpul di buku Daun Bambu. Kemudian berpikir kalau seorang lelaki pecinta burung itu. Yaa hanya suka dengan suara burung.

Namun, ada pesan yang baru bisa ditangkap usai membacanya dengan seksama. Membaca kata demi kata secara perlahan, meresapinya dan barulah makna itu mencair melalui kesabaran akan penantian.

Mungkin pula pembaca akan mundur seketika saat hendak membaca buku Rumah Perawan. Ah, siapa yang mau membaca buku tentang lelaki tua yang memandangi payudara remaja wanita?

Awalnya, saya pun hampir mundur. Cih, tak sudi rasanya menyelami pikiran kotor lelaki tua bangka yang sudah mau mati itu. Kemudian, ikut membandingkan payudaraku dengan milik tokoh di dalam buku ini. Keterlaluan!!

Tapi, merasuki dunia pikiran Kawabata. Membawa saya pada satu pemahaman baru. Yang berbeda. Ini bukan sekedar  memandangi payudara saja. Bukan.

Ini tentang ketidak-sanggupan seorang lelaki tua. Menghadapi dunia yang baginya terlalu cepat. Membuat mereka seolah tak diperhitungkan. Penuh rasa sedih, kesepian dan terasing.

Ini adalah rasa yang terwakilkan melalui kilatan peristiwa dan kenangan yang dialami sang tokoh. Sangat identik dengan karya Kawabata lainnya. Seperti Beauty and Sadness, yang memunculkan kilatan ingatan dari Tuan Oki.




Kartu Tanda Buku


Judul : Thousand Cranes
Penulis : Yasunari Kawabata
Halaman : 166
Bahasa : Indonesia
Versi : Buku Fisik
Diterbitkan oleh Immortal Publishing
ISBN : 9786025868221




Inikah Sisi Tersembunyi Dari Lelaki? 



Saya belajar untuk memahami, meski masih belum juga paham. Mengapa, dalam setiap karya Kawabata. Selalu ada saja sekelumit cinta yang tidak biasa.

Selalu mengikut-sertakan wanita lain dalam hidup lelaki tua yang memiliki istri. Dan kenangan mengenai wanita lain begitu kuat sehingga pembaca akan bingung, alasan apa yang membuat si lelaki ini mau menikah dengan istrinya? Apakah hanya untuk formalitas saja?

Menyelami dunia lelaki, demikian saya menyebutnya. Meski tidak sepenuhnya benar, karena banyak buku dari lelaki lain yang berbeda mengenai wanita.

Sikap flamboyan setiap tokoh Kawabata, hampir mirip dengan tokoh-tokoh dari novel besutan Arswendo Atmowiloto. Tidak semua, meski di Projo Brojo, Arswendo mengedepankan sisi lelaki setia.

Namun, cinta dan hasrat menggelora yang datang menghinggapi tokoh dalam dunia cerita Kawabata ini terkesan aneh. Hingga saya mempertanyakan, apakah semua lelaki seperti ini? Entahlah, karena saya bukan lelaki dan masih belajar ingin tau dengan apa yang ada dalam pikiran lelaki.

Karena itu, saya cukup terbelalak mendapati bahwa Kawabata mengangkat sisi aneh dalam dunia lelaki. Buatku ini semua masih aneh.

Sering pula Kawabata memberikan sindiran mengenai perempuan dalam setiap ceritanya. Seperti sikap bawel, kepura-puraan dan terlalu mudah jatuh dalam pelukan pria.

Kalau tidak dipikirkan baik-baik. Bisa saja banyak orang akan mencaci penulis yang pernah meraih Nobel dalam bidang sastra ini.



Thousand Cranes 




Kali ini, sosok perempuan menyebalkan yang kerap ikut campur bernama Chikako. Perempuan yang menjadi wanita simpanan Ayahnya Kukiji, tokoh utama, meski hanya sebentar.

Perempuan yang memiliki tahi lalat besar di dadanya. Yang kemudian kerap menghantui Kukiji sejak ia masih kecil.

Apalagi, perbincangan sang Ibu dengan Ayahnya yang terdengar olehnya. Membuat bayangan itu semakin menjadi.

Hingga Kukiji dewasa, menjalani kehidupan seolah dihantui bayang-bayang birahi Ayahnya. Ia tak menginginkan Chikako, namun perempuan itu kerap ikut campur tangan dengan kehidupannya.

Suatu ketika, Kukiji bertemu dengan Nyonya Ota. Wanita simpanan lain dari Ayahnya. Yang kerap membuat Chikako melontarkan kalimat pedas. Sebab, kebersamaan Chikako dengan Ayahnya Kukiji, cukup singkat. Hingga setelahnya berpaling ke Nyonya Ota.

Di sinilah, Kukiji nampak dibayangi hasrat birahi Ayahnya. Ia menjalin hubungan dengan Nyonya Ota hingga wanita itu meninggal dunia.

Daya tarik dari novel ini, kilasan masa lalu dan ingatan tentang seseorang. Diangkat melalui jamuan minum teh dan perlengkapan minum teh. Identik dengan tradisi Jepang.

Pada jamuan minum teh, mereka akan berkumpul dan bercerita. Seperti ketika Chikako berusaha menyingkirkan Fumiko. Dengan bahasa sindiran halus saat minum teh bersama menggunakan Jambangan Shino.

Jambangan Shino ini sudah berganti pemilik turun temurun. Dari ayahnya Fumiko, kemudian sempat melalui kisah bersama Ayahnya Kukiji dan berakhir di perjalanan bersama Kukiji.

Seolah, Jambangan Shino ini merekam sejarah dua keluarga dengan Love Affair yang mereka simpan.

Tapi, perlengkapan minum teh ini, masih terus berputar. Terutama ketika Fumiko memberikan cangkir khusus yang memiliki noda seperti lipstik di pinggirnya kepada Kukiji. Bagi Kukiji ia mengingatnya dengan perasaan campur aduk hingga terasa mual.

Bayangan Nyonya Ota terus menghinggapinya. Hingga ia masih bertahan melajang. Membuat Chikako terus mencampuri hidupnya. Sampai suatu titik, sampailah pada pemikiran yang seolah merobek harga dirinya.


Thousand cranes review


Pendapat Ipeh



Buku ini termasuk ringan dan tidak seberbobot buku karya Kawabata lainnya. Tapi, tetap bagus. Meski mungkin ada yang bertanya, mengenai arti dari Thousand Cranes ini.

Sama seperti Ibu Kota Lama, yang judul awalnya adalah Kyoto. Di situ Kawabata tidak bercerita mengenai Kyoto saja. Tapi, ada sesuatu yang terjadi di sana. Ada perubahan gaya hidup atau bisa disebut westernisasi yang masuk ke budaya Jepang saat itu.

Demikian pula dengan novel ini. Kawabata menyiratkannya melalui penggambaran Kukiji terhadap Fumiko. Gadis itu mengenakan pakaian Eropa, demikian jelas Kukiji.

Sementara Nyonya Ota dan Chikako sampai gadis Inamura pun masih mengenakan kimono. Seolah pada waktu itu, pergeseran budaya ini sedang mengalami masa transisi.

Ada yang masih ingin menjalankan tradisi. Ada pula yang ingin meninggalkannya, seperti Kukiji. Yang tak ingin lagi mengikuti upacara minum teh manapun. Meski di rumahnya adalah tempat latihan minum teh yang paling terkenal di masanya.

Pemikiran terhadap kehidupan dan kematian dalam buku ini pun tak begitu menyayat seperti buku lainnya. Khas Kawabata masih, menyertakan pemikiran mendalam yang berentet pada tokohnya.

Yang saya suka lagi dari buku ini adalah buku ini diterbitkan oleh penerbit Immortal. Dengan ilustrasi sederhana namun tetap cantik. Menggambarkan simbol dari kisah di dalamnya.



Kutipan Buku



Demikianlah, hubungan saya dengan Kawabata yang tampak aneh tapi nyata. Overall, saya masih tetap suka meski tak begitu membenci siapa-siapa dalam buku ini. Tapi, kehangatan saat Kukiji sedang memandang Momiji ikut menjalar dalam darah. Meski ingatan yang muncul cukup berbeda.

Saya sertakan kutipan dari buku ini sebagai penutup. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat.


"Kematian tetaplah bukan jawaban. Kematian hanya memotong pemahaman." ~ Hal 85

"Kau membiarkan racun itu merajalela dalam dirimu, itulah masalahnya." ~ Hal 13




Postingan Terkait