Playing Victim : Karena Bisa Jadi Kamu Bukan Korbannya

Playing Victim, Book Review


Sakit. Kata yang muncul pertama kali saat membaca novel Playing Victim. Padahal, belum mencapai bagian akhir. Tapi, saya sudah merasakan lelah. Bukan karena lelah perihal karya yang buruk. Justru buku ini menyajikan sesuatu yang porsi Show-nya lebih banyak ketimbang Tell.

Jika kalian termasuk pembaca yang cukup pemilih. Agak sedikit pesimis dengan karya anak negeri. Wajar. Karena, saya pernah juga beberapa kali disuguhi bacaan yang membuat saya emosi. Alih-alih mendapat pesan moral. Saya justru merasa kalau waktu saya terbuang sia-sia. Rasa trauma itu membuat saya juga cenderung pemilih. Meski, saat ini saya mulai mencoba memberi kesempatan bagi karya lain yang belum saya baca.

Playing Victim ini mengangkat tema Social Media Anxiety Disorder. Yang cuma disebut sekali saja. Selebihnya, ciri-ciri sampai dampak yang ditimbulkan. Dijelaskan melalui kisah tiga orang sahabat yang berusaha untuk bisa viral di dunia maya.

Kalau kalian berpikir akan diceramahi hingga dijabarkan masalah teknis dan medisnya. Sayang sekali. Di sini kalian hanya akan mengikuti kehidupan mereka. Dimana saat membaca, kalian tidak akan sempat memaki tokohnya, kalau saya begitu. Hingga tak sempat untuk mencegah mereka.

Saya cuma disuguhi cerita yang membuat saya harus pasrah mengikuti.



Kartu Tanda Buku

Judul : Playing Victim
Penulis : Eva Sri Rahayu
Halaman : 397
Cetakan 1, Mei 2019
Bahasa : Indonesia
Format : Buku Cetak
Diterbitkan oleh Noura Publishing
ISBN : 9786023858873


Masalah Yang Kerap Muncul Pada Pengguna Internet



Kehadiran teknologi seperti internet sebenarnya banyak memberikan kemudahan. Salah satunya bagi pengguna yang membutuhkan informasi. Mereka tinggal mengetikkan kata kuncinya untuk mendapatkan banyak jawaban yang beragam. Tak hanya itu, belakangan ini perpaduan antara sosial media dengan internet. Membawa pengguna di banyak tempat di dunia bisa terhubung dengan mudah.

Tapi, kemudahan tersebut juga beriringan dengan resiko yang dihasilkan. Istilah PIU atau Problematic Internet Use mulai beredar seiring munculnya gejala perilaku dan kognitif. Dimana gejala ini memberikan efek negatif pada kemampuan sosial akademik. Para pengguna internet yang terkena dampak negatifnya, juga mengalami kondisi psikologis. Seperti merasakan kesepian dan lemahnya kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Ada korelasi antara kesepian seseorang dengan PIU. Salah satunya rasa nyaman dalam menunjukkan perasaan, mengemukakan pendapat sampai hal paling pribadi. Dimana kebanyakan orang yang merasa sendirian hingga merasa tak mendapat panggung di dunia nyata. Mereka akan mencarinya melalui dunia maya. Dimana mereka merasa lebih nyaman.
Sering kali, para pengguna yang terdampak PIU ini. Memanfaatkan media sosial untuk interaksi secara anonim. Lebih mudah bagi mereka berkelakar dibanding saat identitas mereka tampak jelas. Itulah mengapa banyak pengguna yang lebih memilih kanal sosial dan merasa nyaman.

Sementara itu munculnya Social Media Anxiety Disorder ini. Merupakan salah satu dampak yang hadir dari PIU. Sebuah kondisi dimana penggunanya berusaha membuat image baru terhadap dirinya. Yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Namun, disertai dengan kondisi rendahnya tingkat percaya diri orang tersebut. Bahkan, ada yang membenci sosok nyata mereka dan membuat sosok baru dalam diri mereka melalui dunia maya.



Playing Victim Kondisi Yang Banyak Terjadi



Ada yang masih mengingat. Kasus seorang anak yang muncul dan menjadi viral. Sebab kisah yang diangkat mengenai perisakan yang diterima olehnya. Hingga membawa sang remaja menjadi korban yang patut diberi support. Hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ikut turun tangan akan hal ini.

Beberapa meminta pelaku untuk dihukum selamanya. Beberapa meminta agar para pelaku dicoret namanya dari universitas hingga instansi manapun. Sehingga mereka mendapatkan hukuman yang sesuai dengan keinginan. Semua berspekulasi. Semua mengutarakan pendapat baik dukungan maupun kontra.


Tapi, akhir dari segalanya terkuak. Hingga sedikit membungkam mereka yang sempat mendukung. Membuat patah hati mereka yang bersimpati. Kasusnya tak separah cerita yang disampaikan. Tak ada kekerasan secara seksual. Tapi, ada pencetus yang membuat mereka melakukan tindakan. Selalu ada api sebelum ada asap.


Hai Victim, Wanna Play?



Di depan cermin, tiga orang remaja yang sudah bersahabat sejak lama. Menyunggingkan senyum setelah aksi mereka yang fantastis. Kalimat tersebut dijadikan pembuka untuk aksi mereka lainnya. Aksi yang mengandung racun dan teror. Membuat saya yang membacanya merasa lelah.

Menggunakan alur yang buat saya cukup cepat temponya. Namun, tidak melupakan hal-hal yang signifikan dari sebuah cerita. Motivasi setiap tokoh, yang setiap bagian dijelaskan dengan baik sehingga pembaca paham. Mengapa mereka memutuskan berbuat seperti ini dan itu.

Tiga sahabat. Satu tim. Memiliki kemampuan berbeda. Yang satu bernama Isvara, sang pencetus ide. Calya sang ratu drama yang pandai merogoh perasaan. Afreen si penasihat bijak yang bisa membuat ide tersebut terwujud tanpa cela. Dan, ketiganya mulai menyuguhkan bab demi bab yang mampu membuat kita tak mampu menyalahkan siapa-siapa.

Seperti saat guru olahraga mereka harus mengalami hal yang tak mengenakkan. Saya sebagai pembaca ikut serta menyalahkan sang guru tersebut. Terutama karena mulut sang Ibu yang cenderung kasar. Siapa pula yang terima jika dimaki demikian? Body Shaming. Itulah yang dilakukan sang guru. Meski kemudian, ia mendapatkan hadiah yang tak akan pernah ia lupakan selamanya.




Pengabdi Konten


Boleh saya katakan demikian? Sebenarnya, saya pun seorang pengabdi konten. Yang berusaha mencari ide unik untuk diangkat menjadi konten. Baik itu di kanal sosial maupun di blog. Tapi, apakah peran Pengabdi Konten ini buruk?

Kembali lagi pada tingkat adiksi seseorang terhadap kanal sosial. Faktanya, tuntutan tinggi bisa membuat pengguna sosial media harus berusaha lebih keras. Blogger, Influencer hingga Buzzer juga merasakan hal tersebut. Totalitas, mereka menamakannya. Siapa pula yang bisa menghindar dari tawaran optimasi blog dan kanal sosial melalui kerjasama dengan sebuah brand.

Membuat para blogger, influencer dan buzzer harus memutar otak untuk memberikan yang terbaik. Wajar memang usaha tersebut dilakukan. Tapi, ketidak-wajaran tersebut menjadi berbahaya ketika aksi terlarang dibuat demi konten. Sama seperti dengan kasus yang tadi saya sebutkan.

Dan, di novel Playing Victim. Ada banyak sekali aksi yang membuat saya kehabisan kata-kata. Dari tiga sahabat itu, dua orang hampir saja kehilangan nyawa. Satu lagi justru berusaha mengenyahkan gangguan yang tak terlihat.

Simpati dan empati serta dukungan pada mereka. Hingga pujian akan konten yang mereka bagikan. Membuat ketiganya menjadi gandrung untuk terus menyajikan sesuatu yang disukai netizen. Siapa yang tak suka jika dipuji dan diberi dukungan? Tapi, pada akhirnya mereka tak lagi mampu berkutik. Ketika banyak dari mereka yang membongkar satu demi satu. Menguliti dan mengkritik apa yang mereka sajikan. Siapkah mereka?


Penutup



Kisah tiga sahabat dalam mencari popularitas di dunia maya. Dikemas dengan cara yang cukup baik. Tidak ada bagian yang tampak menasehati apalagi menggurui. Pembaca bisa belajar dari efek yang dirasakan oleh mereka. Bisa menjadikan pertimbangan akan banyak hal dari aksi yang dilakukan.

Faktanya, keberadaan sosial media bukan hal yang buruk. Jika tidak menyebabkan penggunanya merasa tidak nyaman dengan dunia nyatanya. Karena, bisa digunakan sebagai media penyalur kreativitas. Media yang bisa dijadikan portfolio positif untuk dunia kerja nanti.

Bahkan, beberapa HRD di perusahaan, banyak yang menanyakan apa sosial media mereka. Sebelum membuat perjanjian dengan calon karyawan tersebut. Kalau begitu, diskusi mengenai bijak bermedia sosial memang sudah semestinya diadakan di setiap sekolah. Untuk memberikan pemahaman bagi mereka sebelum terlambat.

Postingan Terkait