AUK - Arswendo Atmowiloto

AUK

Judul : AUK
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Halaman : 170
Penerbit : Pustaka Utama Grafiti
ISBN : 9794443042


Auk berasal dari bahasa lisan. Sebagai jawaban, tapi sebenarnya tidak menjawab. ~ hal 23



...saya berkesimpulan bahwa bahasa percakapan yang sehari-hari, kini sudah masuk pembicaraan yang sifatnya resmi. Sadar atau tidak, direncanakan atau tidak sengaja, televisi ikut menyebarkan kata auk tadi.~ hal 31



Kalau kata auk kita terima dalam kehidupan masyarakat kita sebagai bentuk komunikasi, maka kita akan terjebak dalam suatu bentuk masyarakat yang pesimistis, yang tidak bertanggung jawab, masyarakat yang tidak peduli.....~ hal 37



Kata auk harus diterangkan, dijelaskan, seolah kata itu sudah tak mempunyai tenaga untuk menjelaskan sendiri. ~ hal 44


Ini kisah tentang seorang tokoh masyarakat yang disegani, memiliki taman bacaan yang letaknya selalu tidak jauh dari keramaian pasar. Tidak menerima sumbangan dalam bentuk uang, hanya menerima sumbangan buku atau majalah. Kemudian tampil di televisi, diwawancarai bersama para pejabat dan kemudian hanya melontarkan jawaban 'AUK' sebanyak tiga kali!


Problematika yang dihadapi para tokoh, terutama dalam lingkup keluarga pak Hartin, disoroti juga. Keseharian mereka, tetangga mereka yang gemar ikut campur, Bu Yadi. Kakak dan adik dari Sri, istri Pak Hartin. Serta kedua anaknya yang memiliki masalah yang hampir sama namun tetap jalannya berbeda.


Pak Hartin, sosok yang gemar 'guyon', sikapnya apa adanya. Iya dijawab iya, tidak dijawab tidak. Namun, sering kali jawaban atas pertanyaan keluarganya dijabarkan dengan berputar-putar. Salah satu ciri khas dari karya Arswendo semenjak pertama kali membaca Canting. Tapi, pak Harti adalah sosok Bapak yang dekat dengan anak-anaknya. Dan sangat mengenali lika-liku tabiat lelaki pada umunnya, namun tidak menghakimi.


Sri, istri pak Hartindo. Yang dikenal lugu serta polos oleh anak-anaknya. Serta oleh tetangganya. Berpikir dengan sederhana. Berasal dari keluarga berada, yang banyak memiliki mantan pacar. Kisahnya bersama pak Hartin dimulai ketika dirinya baru saja patah hati karena pacarnya. Dan pernikahan mereka terjadi seakan-akan begitu saja.


Ada rasa yang sedikit sama dengan Sudesi. Kisah lelaki yang masih setia dengan istrinya. Bagaimana Pak Hartin bersikap dan membantu anak-anaknya mengambil keputusan. Bagaimana mereka sekeluarga sempat menjalani kondisi dimana keluarga mereka diasingkan karena kata 'AUK'. Yang diduga mencemooh masyarakat.


Pada setiap bab dalam cerita selalu disematkan sebuah kalimat yang rasanya memang 'quoteable', tapi saya lebih memilih kalimat lain dalam setiap penjabaran para tokohnya. Dan, memang benar kata Pak Hartin, bahwa pembacalah yang menentukan sebuah tulisan itu fiksi atau bukan.


Perbedaan karya fiksi dengan nonfiksi bisa juga ditentukan oleh pembaca, bukan pengarangnya. ~ hal 61


Dalam novel ini, yang saya rasakan adalah tokoh pak Hartin ini lagi-lagi sama seperti tokoh utama dalam serial Sudesi. Seakan mewakili sang penulis. Sosok yang menjadi cerminan dari tokoh dengan kondisi sosial yang sempat 'diasingkan'. Tapi, lagi dan lagi juga, saya seakan terjerumus dalam tulisannya dan dengan mudah menganggap ini seakan seperti membaca buku diari dari sosok nyata. Terasa seperti mengalir dan 'hidup'.

Namun, walaupun tidak harus dan tidak wajib, dalam menemukan kesalahan penulisan saat membaca. Ini seperti tantangan untuk saya, karena saya tidak tahu, apakah ini kesalahan penulisan, atau memang gaya penulisan? Karena awalnya narasi melalui perkenalan tokoh dan sebagai orang ketiga. Namun di bab 20-an ke atas, ditemukan narasi menggunakan orang pertama. Inilah yang membuat saya bingung, bukan karena cerita. Tapi, bingung apakah benar tudingan saya ini bahwa ini salah? Atau jangan-jangan saya yang salah? Duh, sepertinya jawaban saya terpengaruh pak Hartin!



Postingan Terkait