Ziggy Dan Di Tanah Lada Yang Membuat Saya Meracau Tak Karuan

di tanah lada


Kalau buku Di Tanah Lada tidak dipilih sebagai buku untuk dibedah di grup OWOB. Rasanya, saya akan terus menunda untuk membaca buku ini. Sudah banyak saya temui ulasan positif mengenai karya Ziggy. Sampai-sampai ada yang terus mencari buku-buku lainnya. Demi mendapat asupan karya dari penulis favoritnya.

Saya yang waktu itu belum menemukan alasan untuk membaca karyanya. Masih terus menunda. Meski pada akhirnya, buku ini mampu dituntaskan dalam sehari. Karena, gaya berceritanya yang ringan. Walaupun tema yang diangkat cukup banyak dan mendalam. Pesan yang ingin disampaikan pun sebenarnya bisa ditangkap. Tapi, bisa berbeda bagi setiap orang.

Di Tanah Lada merupakan suatu daerah yang ditempati oleh Ava sebelumnya. Lada juga berkaitan dengan sosok anak yang menemani Ava sepanjang waktu. Dan, Di Tanah Lada pula tujuan mereka setelahnya.


Kartu Tanda Buku

Judul : Di Tanah Lada
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Halaman : 254
Rilis tanggal : 27 October 2015
Format : Buku Digital
Bahasa : Indonesia
Baca Di : Gramedia Digital
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama



Ava Seorang Gadis Kecil Yang Pandai



Kata Mama, bicara hal yang tidak saling berhubungan itu disebut meracau. Katanya, anak-anak suka meracau. Seperti nenek-nenek dan kakek-kakek.

Cerita bergulir melalui sudut pandang pertama seorang anak perempuan berusia 6 tahun. Dia sudah terbiasa diajari untuk berbicara dengan bahasa yang baik dan benar. Kegemarannya mencari tahu mengenai setiap kata yang rumit di dalam kamus. Merupakan keunikan dari karakter dalam buku ini.

Seorang anak yang gemar sekali bercerita. Dia juga senang menggunakan kata-kata yang didengar dari orang dewasa di sekitarnya. Walaupun Ava tidak paham makna dari seluruh kalimat tersebut.

Kehidupannya di pulau Sumatera, merupakan masa-masa awal sebelum petualangannya di pulau lain. Ia hidup bersama Papa dan Mamanya. Berdekatan dengan rumah Nenek Isma juga Kakek Kia.

Namanya cucu, Ava tentu banyak mendapatkan curahan perhatian dari kakeknya. Dia sangat gemar menghabiskan waktu dengan sang kakek. Ini tampak dari jalinan cerita yang sering menggunakan alur mundur untuk mengisahkan masa lalunya. Dimana kamus yang ia dapat, terdapat tulisan dari mendiang Kakek Kia.


Setiap Papa Itu Jahat


Ini kalimat yang terus berulang tersimpan dalam ingatan Ava. Ketika kita disuguhi narasi Ava tentang Papanya. Ia akan menyebut sang Papa adalah monster. Yang besar, berwajah masam serta sering memukul meja. Tak hanya itu, sang Papa juga sering membanting piring berisi makanan hingga mereka tidak makan malam itu.

Usai kematian Kakek Kia. Kehidupan Ava berubah. Papanya menjual rumah tempat tinggal mereka di kampung. Kemudian, pindah ke sebuah rusun di pulau lain. Rusun Nero yang tampak kumuh, jauh dari kata bersih dan enak dipandang. Dengan kamar yang kecil serta sempit. Bahkan, tidak ada kamar untuk Ava, apalagi kasur. Papanya memilih Rusun Nero, karena dekat dengan lokasi perjudian.


“Iya. Papa sering membuat Mama menangis. Aku juga sering dibuat Papa menangis.” ~ Hal 37


Ava tidak menjejali saya dengan sosok sang Papa seperti apa secara paksa. Ia mengenalkan saya dengan Papanya melalui narasi dan juga dialog. Sedikit demi sedikit tabir itu terbuka. Sang Papa yang gemar berjudi dan menghabiskan uang warisan untuk hal itu. Papa yang bahkan memaksa Ava tidur di kamar mandi karena membencinya.

Sosok Papa yang bahkan menamai anaknya SALIVA karena saat lahir Ava seperti ludah. Begitu tahu arti nama itu, sang Mama langsung mengubahnya sedikit menjadi SALVA. Setiap keduanya bertengkar, Ava selalu diminta sang Mama untuk masuk ke dalam kamar. Tapi, tidak jarang sang Papa akan membentak Mamanya sampai memukulnya di depan Ava.

Di Rusun Nero, Ava bertemu dengan seorang anak lelaki, berusia 10 tahun yang senang membawa gitar. Dia bilang, namanya hanya P. Tak ada huruf lain menyertainya. Hanya P. Katanya, sang Papa memberinya huruf P karena bocah lelaki itu bukan orang. Nama hanya untuk orang. Dari situlah, bocah yang pada akhirnya dipanggil Pepper oleh Ava menjadi teman sekaligus pelindungnya.

Bersama Pepper, keduanya menjelajahi banyak tempat. Sampai membuat rencana untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan bersama seorang Papa. Bagi Pepper yang juga sering dipukuli hingga dimaki oleh Papanya. Kehadiran Ava teramatlah sangat membantu. Ia menjadi lebih bersemangat.




Ava Dan Pepper Cerminan Kekerasan Anak



Ziggy sejatinya ingin merekam kasus kekerasan anak yang kerap terjadi di sekitar kita. Ia ingin pembaca tidak melupakan bahwa kekerasan baik fisik maupun verbal bisa berakibat fatal bagi anak-anak. Tak hanya mendatangkan trauma yang mampu dibawa hingga mereka dewasa nanti. Tapi, juga membuat mereka terus hidup dalam ketakutan.

Kekerasan anak dan juga kekerasan dalam rumah tangga. Bisa terjadi karena banyak hal. Tak hanya dikarenakan kemiskinan saja. Tapi, pola pikir orang tua hingga kemampuan orang tua dalam mengelola amarah mereka juga sangat penting. Bahkan, tingkat stress dan depresi yang dialami seseorang pun bisa mengakibatkan mereka melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang juga berakibat langsung pada anak.

Dari buku ini, tidak perlu muluk-muluk. Kita dihadirkan pada kasus yang terjadi setiap hari di lingkungan kita. Seringnya, banyak tetangga yang tidak mampu untuk melindungi sang anak. Karena, masyarakat kita menekankan untuk tidak ikut campur urusan orang. Terlebih ketika berhubungan dengan tindak kekerasan dan kriminal. Kenapa? Mereka sering takut jika nantinya akan dimintai keterangan hingga dibawa ke jalur hukum. Niat menolong tidaklah cukup dengan cara seperti itu. Terkadang, bisa mendatangkan petaka bagi yang ingin menolong.

Petaka itu juga dituangkan oleh Ziggy dalam buku ini. Momen ketika Alry dan Suri ingin menolong Pepper yang dihajar habis-habisan oleh Papanya. Saat Suri menyembunyikan Pepper dan Ava di kamar dari kejaran Papanya Pepper. Bahkan, terjadi baku hantam. Belum lagi kalau dibiarkan Pepper berada di kamar Suri berlama-lama. Akan membuatnya dikejar polisi sebagai tindakan menyalahi hukum.

Kalau sampai Papanya Pepper dilaporkan ke polisi. Ada kemungkinan Pepper tidak akan dibiarkan tinggal sendiri. Dia akan dibawa ke panti asuhan. Dimana belum tentu kondisi di Panti Asuhan akan menyenangkan. Bisa jadi, kebebasan yang ditawarkan itu bagai jeratan dalam bentuk berbeda.

Hal ini mengingatkan saya pada buku-buku klasik. Atau jika ingin mengetahui sedikit tentang betapa takutnya anak-anak yang tidak memiliki wali atau orang tua untuk melindungi mereka. Bayangan Panti Asuhan atau Panti Sosial membuat mereka ketakutan. Dalam film yang diangkat dari novel berjudul Hugo Cabret. Sang anak lelaki yang bahkan ditelantarkan oleh pamannya sendiri. Harus terus bersembunyi dari polisi. Ia tidak boleh menampakkan diri karena bisa jadi ia akan dibawa ke Panti Asuhan. Rasa takut terbayang di wajahnya.




Itulah sebabnya, alasan demi alasan yang menjadi motivasi setiap tokoh di buku Di Tanah Lada ini tampak logis. Karena, realitas yang ada pun demikian. Sama halnya dengan anak-anak yang dibuang oleh orang tua mereka. Saat ada yang ingin merawatnya, mereka harus menjalani proses panjang adopsi yang bahkan mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit.



Menjadi Orang Tua Tidak Mudah



Ada bagian dimana Mamanya Ava digambarkan oleh Ava sebagai Mama yang terkadang tidak baik. Karena, sering lupa dengan Ava. Lupa ketika ia sedang mengobrol dengan temannya. Lupa ketika ia tengah asik dengan sesuatu sehingga Ava merasa terabaikan.

Baiklah, sampai di sini saya bahkan tidak menganggap Ziggy tengah menyindir para Ibu. Saya justru melihatnya kalau Ziggy ingin menunjukkan bahwa ada kesiapan diri dan mental saat hendak menikah dan memiliki anak. Karena, menjadi Ibu itu tidaklah mudah. Hal yang sering muncul adalah stress hingga depresi pada seorang Ibu.

Ibu, baik bekerja maupun di rumah. Memiliki kisah perjuangan yang masing-masing sama porsinya. Hanya berbeda variabel saja. Sosok Ibu selalu dituntut untuk menjadi baik, bisa memasak, mampu mengajarkan budi pekerti yang sempurna untuk anak, bisa memberikan anak mereka bukan hanya makanan yang bergizi tapi juga membuat anak mereka memiliki berat badan seimbang. Apalagi di masa sekarang ini, anak yang tampak memiliki banyak kemampuan akan banyak dipuji dan tidak terlalu menonjol akan mendatangkan makian bagi sang Ibu.

Menjadi Ibu itu sulit. Tidak mudah. Ada yang bahkan harus berjuang melawan ‘bisikan’ yang ternyata merupakan dampak dari Baby Blue Syndrom yang nyata. Banyak orang, baik lelaki maupun perempuan yang menganggap hal tersebut adalah bentuk drama baru seorang Ibu yang baru melahirkan. Padahal hal tersebut adalah nyata.


Tuntutan demi tuntutan. Tuduhan demi tuduhan. Harus diterima oleh seorang Ibu. They Gain Something And Lose Something At The Same Time. Seorang Ibu bahkan mengalami masa dimana masuk ke kamar mandi pun disertai jeritan anak. Atau ketika sang Ibu tengah menikmati makanannya, ia harus siap dengan anak yang menangis. Belum lagi ketika dihadapi dengan pekerjaan atau masalah lain, namun harus tetap sigap mengurus anak. Ini tidak mudah.

Menjadi orang tua itu tidak mudah. Ini baru saya ambil dari sudut pandang seorang Ibu. Belum dari sudut pandang Ayah. Yang ketika kehadiran seorang anak membuatnya berpikir keras bagaimana menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Bagaimana ketika pulang, mereka mendapati sang istri kelelahan bukan main. Sementara ia pun tengah lelah juga.

Ini dari sudut pandang sosok Ayah yang memang menginginkan keluarganya baik-baik saja. Tak jarang kita temui sosok suami yang duduk santai di rumah. Menghabiskan waktu berjudi, nongkrong dan main perempuan. Sementara istrinya banting tulang bekerja. Ada yang menjadi tukang sayur ada yang bekerja menjadi asisten rumah tangga. Tidak sedikit kisah ini terjadi di sekitar kita.



Kesiapan Seorang Wanita 



Penting untuk dipahami bahwa saya menyajikan beberapa kasus yang memang terjadi di sekitar saya. Kasus yang harap bisa dipertimbangkan baik itu hukumnya maupun penilaian terhadap mereka.

Di atas tadi, saya jabarkan kesulitan demi kesulitan yang dihadapi orang tua. Dengan kondisi, keduanya sudah sepakat untuk merajut rumah tangga. Bagaimana jika ada seorang wanita yang harus menjalani kehidupan tanpa persetujuan apa-apa?

Dalam hal ini, di buku ini digambarkan salah satu tokoh yang melahirkan saat usianya masih 17 tahun. Kemudian, sang anak diasuh oleh kakaknya. Tapi, kemudian ditinggal oleh sang kakak karena tak sanggup hidup dengan suaminya. Jadi, bagaimana nasib anak ini?
Bagaimana dengan kasus beberapa waktu lalu. Ketika seorang gadis yang mengalami keterbelakangan mental. Menjadi pemuas napsu birahi Bapak kandungnya dan Saudara laki kandungnya. Secara bergantian dan bergilir. Seperti apa perlindungan yang akan diberikan untuknya?

Atau saat dua orang anak perempuan. Yang bergantian dipaksa untuk menjadi pemuas napsu birahi Ayahnya. Sampai hamil di usia yang sangat muda. Apa yang harus dilakukan oleh gadis ini? Jika membiarkan janin yang ada di kandungannya ini digugurkan, justru membuatnya dipenjara. Belum lagi hukuman sosial yang harus diterima olehnya, padahal ia adalah korban.

Apa yang bisa diperbuat dengan dua kasus yang bahkan kabar kelanjutannya tak terdengar? Saya paham, saya hidup di negeri yang tidak mau memikirkan hal seperti ini. Saya hidup di negeri yang bahkan menyalahkan korban, karena dianggap bodoh dan mau saja dijadikan pemuas birahi. Saya hidup di negeri yang orang-orangnya mayoritas beragama tapi mereka enggan untuk memberikan bantuan pada para korban.

Padahal, melepaskan diri dari hubungan toxic seperti ini tidak mudah.


Melepaskan Diri Dari Lingkungan Buruk Bukan Hal Mudah



Di film yang sering ditayangkan. Banyak menyuguhkan peranan para aktor atau aktris yang dengan heroiknya melepaskan diri dari tangan penjahat. Mereka akan disanjung dan dipuji sebagai pahlawan. Namun, tidak demikian jika kejahatan itu adalah orang terdekat.

Di Tanah Lada, menyajikan hubungan seperti ini untuk dijadikan bahan pemikiran. Bahwa, melepaskan diri dari sosok yang sudah bertahun-tahun berbuat buruk, keji dan jahat pada korban. Bukan hal mudah. Ada perasaan takut dan ketidakmampuan yang kerap menyelimuti pemikiran korban. 

Jika terjadi pada anak-anak yang hendak melepaskan diri dari jeratan orang tua yang membawa pengaruh buruk. Maka, anak itu akan merasa takut kehilangan orang tua. Siapa pula yang ingin menjadi anak tanpa orang tua? Jangan lupa, bagaimana perjuangan seorang anak pertama yang berusaha menyelamatkan adik-adiknya. Ketika sang Ayah sudah ketahuan adalah seorang teroris yang hendak melakukan kegiatan buruk.

Sang anak memang tidak lagi diekspos. Jangan. Kasihan anak itu. Saya yakin, ia sudah menjalani masa-masa berat dalam hidupnya. Namun, cukup dipikirkan saja. Trauma apa saja dan hukuman sosial apa saja yang kemudian membuatnya harus menanggung seluruh beban itu? Saat hendak melarikan diri pun sang anak tentu akan merasa takut. Merasa tak ingin bertindak lebih jauh. Rasa ini adalah beban yang sering dihadapi para korban.

Demikian pula yang terjadi pada anak-anak yang mendapatkan perlakuan semena-mena dari orang tuanya. Yang ada dalam pikiran mereka adalah rasa takut. Takut kalau nanti mereka tidak akan mendapat jaminan kehidupan. Takut jika nanti tidak akan ada lagi tempat untuk berlindung. Hingga takut jika nanti mereka tak memiliki orang tua dan dibenci seumur hidup mereka.

Hal ini juga terjadi pada para istri yang harus menerima tubuhnya dihajar habis-habisan. Demi anak. Biasanya ini menjadi alasan mendasar seorang wanita bertahan dalam hubungan yang buruk. Setelahnya, mereka takut nantinya akan sulit mendapat pekerjaan. Kemudian, ketakutan lain pun muncul, yaitu reaksi masyarakat terhadap status yang nantinya akan disandangnya.

Ini baru ketakutan yang muncul sebelum bertindak. Belum proses panjang yang harus ditempuh seorang wanita untuk bebas dari perlakuan buruk pasangannya. Menjalani proses perceraian itu bukan perkara mudah. Ia harus menjalani persidangan demi persidangan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Ia juga harus mencari pengacara yang bisa membantunya dalam urusan hukum. Tak hanya itu, ia pun harus bersedia bertemu dengan lelaki yang menyakitinya demi proses mediasi. Pun harus menjalani terlebih dahulu pengumpulan bukti ini dan itu hingga proses panjang perceraian bisa menguras energinya.

Kalau kekerasan itu secara fisik. Maka bisa dilihat buktinya. Namun, bagaimana dengan kekerasan verbal sampai kekerasan seksual? Walaupun sudah berstatus suami, tak jarang istri yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari mulut suaminya. Kekerasan verbal sangat lemah karena tidak mudah mengumpulkan bukti. Bagaimana dengan kekerasan secara seksual, seperti yang terjadi pada seorang wanita asal garut yang dipaksa untuk melayani lelaki lain demi memuaskan birahi suaminya?

Perjalanan panjang yang harus ditempuh seorang korban demi kebebasannya. Membutuhkan proses yang tidak sedikit. Tidak semudah tokoh dalam film yang setelahnya membuat ia dipuji. Tak jarang, para korban ini justru mendapat cibiran dan cacian usai memperoleh kebebasannya.

Ini fakta, bukan sekadar omong kosong.



Kenapa Bisa Seorang Anak Kecil Berpikir Tentang Kematian?



Usia bukan lagi halangan untuk seseorang memutuskan mengakhiri hidup. Saya termasuk yang menyetujui bahwa Anak Bukan Kertas Kosong. Mereka sudah dianugerahi pemikiran dasar yang merupakan fitrahnya sebagai manusia. Orang tuanya yang memiliki tugas menstimulasi pemikiran tersebut. Akan menjadi apa dan bagaimana hasilnya adalah tergantung dari stimulasi yang diberikan.


Kehidupan yang tampak sempurna tak menjadikan anak-anak jauh dari godaan untuk mengakhiri hidup. Jangan lupakan kasus seorang anak lelaki dengan nilai yang bagus di sekolah, prestasi yang baik dan dikenal sebagai sosok anak yang baik. Memutuskan untuk menggantung dirinya di lemari kamar tidurnya. Setelah sebelumnya memutuskan untuk puasa agar saat ia meninggal nanti tidak ada kotoran yang akan menyusahkan sang Ibu. Ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Yang saya ingat adalah foto sang anak yang tersenyum, anak lelaki dengan kaca mata dan wajah yang tampak ceria.

Kalau dianggap kasus ini sudah terlalu basi. Silakan baca kembali berita tentang kematian seorang anak kelas 5 SD di Texas. Yang memilih menggantung dirinya di lemari karena perisakan yang dialaminya di sekolah.

Ada banyak alasan seseorang memilih mengakhiri hidupnya. Itulah kenapa ada satu bulan yang ditujukan untuk Mencegah Bunuh Diri. Wawasan mengenai pikiran dan keputusan seseorang untuk bunuh diri harus diketahui oleh khalayak luas. Bahwa ini nyata dan bukan sekadar anak itu jauh dari Tuhan.

Bisa saja terjadi seperti yang ada di kisah Di Tanah Lada ini. Anak-anak yang berada di lingkungan yang buruk membuat mereka tak tahan lagi. Sehingga, menurut mereka mati lebih baik. Atau bahkan tekanan hidup yang tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Sehingga, sang anak terlambat untuk ditolong.

Sudah waktunya, anak-anak diberikan pembelajaran mendasar mengenai kesehatan mental. Mereka sudah waktunya diberikan pemahaman mengenai apa yang harus dilakukan dalam hidup. Bantuan kecil seperti mendengar mereka bercerita dan menjadi pendengar yang baik bisa dilakukan. Meski sebenarnya ada banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan lebih dari itu.

Namun, harus ada upaya yang lebih besar. Jangan anggap remeh pemikiran anak-anak yang mungkin dianggap masih terlalu polos berpikir tentang kematian.


Penutup


Membaca Di Tanah Lada, membawa saya pada ingatan mengenai kejadian masa lampau. Membuat saya penasaran dengan nasib para korban yang bahkan saya tak tahu lagi kelanjutannya. Apakah mereka mendapat bantuan yang sesuai? Ataukah mereka ditinggalkan begitu saja untuk mengurus diri mereka sendiri?

Ziggy hanya ingin menyajikan pertimbangan bagi pembaca. Sebelum memutuskan atau bertindak sesuatu. Apalagi jika sesuatu itu adalah keputusan yang sangat besar. Melalui sudut pandang anak-anak, Ziggy sebenarnya ingin mengingatkan kita bahwa apa yang terjadi pada para tokohnya itu nyata. Jangan dilupakan kasus-kasus yang pernah terjadi dan kita baca beritanya. Teruslah cari tahu, mengapa ada hal seperti itu terjadi. Apa yang harus dilakukan agar kita bisa melindungi generasi penerus bangsa agar menjadi anak-anak yang sehat.

Membaca buku ini tidak sesulit itu. Bahasanya ringan karena menggunakan sudut pandang anak-anak. Tapi, efek yang datang setelahnya membuat saya menguras otak. Berpikir lagi dan lagi, tentang apa saja yang belum saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan. Dan persiapan apa yang harus saya miliki.

Jika setelah membaca ini kalian akan merasa, ah tidak ada apa-apanya. Wajar. Karena, pesan yang disampaikan Ziggy ini tersirat saja. Bisa berbeda bagi setiap orang. Karena itu, silakan membaca buku ini jika dirasa perlu. Tapi, jangan pernah menutup mata dari apa yang terjadi di sekitar kalian.

Postingan Terkait