Rahasia Hati Natsume Soseki Dan Perenungan Tentang Hidup Di Usia Senja

Rahasia Hati Natsume Soseki Dan Perenungan Tentang Hidup Di Usia Senja


Rahasia Hati Kokoro Natsume Soseki



Rahasia Hati karya Natsume Soseki merupakan karya terjemahan sastra Jepang yang berjudul Kokoro. Novel yang saya miliki ini merupakan seri sastra klasik dunia yang diterbitkan khusus oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Tidak perlu heran jika didapati beberapa buku memiliki bahasa terjemahan yang terlampau lawas, ini karena memang buku ini hasil terjemahan dari Dunia Pustaka Jaya.

Sampul novel Rahasia Hati memang cukup mendatangkan banyak persepsi. Kombinasi antara tiang, tali yang melingkar, hingga sosok lelaki dengan sastra Jepang seolah menjadi sebuah momok yang cukup membuat banyak orang berpikir bahwa : Ini buku tentang orang yang bunuh diri. Apakah saya terlalu menuduh? Jika ya, mungkin pemikiran saya yang sempit. Tapi, sesuatu yang terikat pada kaki lelaki yang berada dalam sampul inilah yang menjadi pemberatnya melakukan hal tersebut.

Baiklah, jika baru membaca kalimat pembuka saya yang terlampau menuduh, membuat Anda ingin segera pergi dari blog ini, sepertinya itu keputusan yang baik. Tapi, jika Anda berkenan untuk tinggal sesaat dan membaca hingga habis, saya sangat berterima kasih. Pasalnya, saya memang ingin memberitahu kepada Anda tentang buku ini. Meski sebelumnya saya juga akan berkisah dan sedikit memberikan garis besar persamaan antara buku ini dengan Rumah Perawan karya Yasunari Kawabata.

Keduanya merupakan sastrawan dari Jepang. Kedua novel mereka juga diterbitkan dalam versi seri sastra klasik KPG. Dan kedua buku tersebut menghadirkan sosok orang yang sudah tua dengan pemikiran-pemikiran mereka terkait dunia modern. Dunia yang bagi banyak orang yang sudah tua, sudah tak mampu lagi mereka ikuti karena terlalu cepat, terlalu ringkas, terlalu ingin terburu-buru. Sementara ciri khas orang yang sudah tua, mereka menginginkan sesuatu yang mampu membuat mereka duduk barang sejenak untuk merenung.


Kartu Tanda Buku

Judul : Rahasia Hati (Kokoro)
Penulis : Natsume Soseki
Halaman : 265
Cetakan Pertama, Mei 2016
Sebelumnya diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya
Penerjemah : Hartojo Andangdjaja
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Rating : 5/5
ISBN : 978.602.424.032.5


***

Rumah Perawan, mengisahkan tentang seorang lelaki tua bernama Eguci yang kerap datang ke sebuah rumah khusus yang menyediakan servis bagi para lelaki tua untuk tidur dengan perempuan-perempuan perawan yang tak mengenakan baju sehelai pun. Namun, dengan peraturan, bahwa para gadis itu tidak boleh diperlakukan secara tidak baik. Kerap kali sebelum tidur, Eguci tua selalu terbawa pada perenungan-perenungan tentang kehidupannya. Bahkan membawanya mengingat hal-hal masa lalunya dengan sangat jelas, padahal sebelumnya dia tak pernah mengingatnya.

Dalam hal ini, unsur erotisme merupakan yang paling menonjol dalam buku Rumah Perawan, mungkin akan membuat pembaca mengernyitkan dahi. Apa kaitannya? Begitu. Padahal jika dilihat kembali, pada beberapa fragmen terdapat potongan perenungan seorang yang sudah tak mampu lagi mengikuti alur dunia, sudah terlampau lelah dan tak lagi memiliki semangat hidup. Karena sadar, akan kekuatan yang semakin lama justru semakin menghilang, termakan usia.

Sejalan dengan novel Rahasia Hati yang hendak saya tuliskan sesaat lagi. Sebuah novel yang berisi tiga bagian. Dimana dinarasikan oleh seorang lelaki yang tak bernama. Jika saya salah, mohon katakan kepada saya, pada halaman berapakah terdapat nama dari tokoh yang ada di dalam buku ini. Mungkin saya terlewatkan karena terlalu fokus pada pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang antara lelaki muda dan dua lelaki tua.

Novel ini mengambil pertimbangan-pertimbangan pada sudut pandang dari sosok yang memang sangat jauh berbeda. Dua lelaki tua yang sama-sama menghadapi ajal mereka, namun memiliki pemikiran yang berbeda tentang hidup, memiliki cara yang berbeda dalam menjalani hidup, hingga memiliki keputusan yang berbeda dalam mengakhiri hidup. Ditambah, sebuah pemikiran lain yang sebenarnya seperti perwakilan bagi kita pembaca, yang masih memiliki darah muda dan semangat yang membara.

Mungkin Anda akan mendapati bahwa tulisan ini hanya berisi rangkuman dari apa yang saya baca. Atau sesekali akan saya sematkan sedikit pemikiran saya. Apa sajalah itu, intinya saya ingin menyeritakan betapa buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang membutuhkan perenungan serta pertimbangan dari pelajaran tokoh-tokoh fiksi (bisa saja bukan fiksi) yang bisa didapat dari membaca.

Tentunya, mungkin tulisan ini bisa menjadi oleh-oleh berharga bagi siapa saja yang membutuhkannya. Setidaknya saya bisa mengikuti jejak A.J Fikry dalam memoar singkatnya di buku fiksi The Storied Life of A.J Fikry. Silakan disimak.


Bab Pertama : Sensei Dan Aku



Kisah dibuka dengan kenangan seorang mahasiswa ketika pertama kali bertemu dan berkenalan dengan sang Sensei. Saat saya membaca buku ini, hingga akhir, saya mengira dalam imajinasi saya, bahwa si narator tengah membangun kembali ingatan-ingatannya tentang si Sensei saat dirinya bertolak dari desa menuju Tokyo karena surat yang diterimanya.

Kemudian menuliskannya seperti seorang remaja yang baru saja mengalami hal paling hebat dalam hidupnya, kemudian menyeritakannya dalam buku harian khusus. Seperti itulah saya kemudian mengambil keputusan sepihak pada imajinasi yang saya tangkap. Sebuah ingatan saat narator bertemu dengan Sensei pertama kali di Kamakura, ketika liburan musim panas.

Lelaki muda itu hanya menjelaskan, bahwa dia memanggilnya Sensei. Bukan seperti Sensei yang sering dipikirkan banyak orang : memiliki jabatan, berpendidikan tinggi atau seorang profesor di universitas. Namun, sosok Sensei ini yang paling berpengaruh pada pemikiran-pemikiran dan sering menarik perhatian lelaki muda yang waktu itu masih berstatus mahasiswa.

Sikapnya bagi sang lelaki muda tampak sedikit kaku. Sensei biasa datang dengan tepat pada jam yang biasa dan pergi dengan tepat pula setelah berenang-renang. Sensei selalu menjauh dan tak peduli betapa juga gembiranya orang banyak di seputarnya, ia tampak sama sekali tak acuh terhadap sekelilingnya. Sosok inilah yang kerap membawa rasa penasaran pada si lelaki muda, ketika pertama kali dirinya melihat lelaki tua itu di pantai yang cukup ramai.

Seorang yang sanggup mencintai atau lebih tepat kukatakan seorang yang tak sanggup untuk tak mencintai, tetapi tak dapat dengan sepenuh hati menerima cinta orang lain terhadapnya - orang semacam itulah Sensei. ~ Hal 13



Pada bab ini, kita akan dijejali hari-hari yang dilalui lelaki muda tersebut bersama sang Sensei. Betapa seringnya mereka bertemu, mengakibatkan sang lelaki muda itu bertambah tertarik dengan kehidupannya. Bahkan, sosok Sensei mampu menggantikan sosok Ayahnya yang sama-sama sudah tua, hingga dia selalu tak tahan untuk membandingkannya.

Tidak disadari, bahkan si lelaki muda selalu berupaya untuk senantiasa berada dekat sang Sensei ketimbang dengan Ayahnya. Di sini, saya mendapati banyak rasa penasaran tentang siapa sih Sensei itu sebenarnya? Wajah dan ekspresinya yang tampak santai, pemikirannya yang seolah tidak begitu mencolok yang justru membuat lelaki muda yang penuh semangat itu tertarik padanya.

Namun, sekali lagi, meski si lelaki muda itu tertarik, ada beberapa kali pemikiran yang bersebrangan. Dan lagi, lagi, lagi, si lelaki muda tak menemukan cara untuk bisa menjauh dari lelaki tua itu. Dia kerap merasakan ada sifat istimewa yang patut mendapat perhatian darinya. Terutama, ketika suatu petang sang Sensei menganggapnya sebagai seorang yang “Tak benar-benar berpikir tentang kematian.”

Pada bab awal menjelang halaman 30, masih terlalu dini memang untuk langsung mengambil keputusan secara sepihak bahwa intinya adalah si kakek seorang yang berpengaruh buruk. Tapi, saya ingin menjelaskan sesuatu yang terlintas dalam benak saya selama membaca novel ini.

Di dalamnya, berisi pemikiran sang tokoh dimana kita bisa belajar tentang perilaku manusia, pembelajaran tentang sifat-sifat manusia dari sudut pandang seorang pesimistis dan pendendam seperti Sensei. Tapi, kita juga diajukan sosok lain, yang lebih berupaya untuk berpikiran positif selama kehidupannya, sebagai bahan pertimbangan. Dan dua pemikiran ini dijadikan satu, dibalut dan dikemas dalam kisah yang begitu ciamik.

Mungkin ada beberapa yang tidak menyadari atau justru sudah sangat menyadari sejak awal. Ketika sang lelaki muda menganggap A adalah benar dan B adalah salah. Jiwa muda dan pemikiran khas orang muda, benar-benar mampu digambarkan dengan baik oleh Natsume, sampai sisi emosionalnya dan keputusan yang dibuat oleh si narator. Betapa saya seolah membaca sebuah memoar tentang sosok orang yang dikagumi oleh orang lain meski tampaknya biasa saja. Siapa pun pasti pernah memiliki (atau masih) sosok yang kita kagumi lebih dari mengagumi sosok Ayah atau Ibu kita, kan?



Bab Dua : Orangtuaku Dan Aku



Saya akan sedikit mencampur, beberapa potongan bingkai yang dinarasikan di bab pertama, namun akan saya sematkan bersamaan dengan bab tentang narator dan orangtuanya. Hubungan keduanya selepas sang lelaki muda ini mengenal Sensei dan menaruh hormat pada lelaki itu melebihi dirinya menghormati sang Ayah.

Apa yang paling sering terjadi dalam pergolakan jiwa muda hingga memilih untuk menghormati orang lain secara berlebihan ketimbang orangtuanya? Tidak lain sebenarnya adalah idealisme yang sering berisikan pandangan-pandangan tentang jalan hidup, opini, hingga bisa saja tentang agama dan politik. Tidak ada anak yang bisa memilih untuk dilahirkan oleh orangtua yang seperti apa dan bagaimana.

Pun tidak ada orangtua yang bisa memilih ingin anaknya tumbuh besar seperti ini dan itu. Meski orangtua memiliki kemampuan untuk membimbing mereka di masa kecil hingga remaja, namun tidak dapat dipastikan apakah hal itu dapat mengubah pandangan mereka terhadap hidup atau tidak, apakah itu akan membuat mereka tetap seperti keinginan orangtua atau tidak.


“Tetapi berlainan dengan ayahku yang gemar main catur itu tak dapat menghiburku, maka Sensei, yang kucoba mengenalnya tanpa maksud mencari kesenangan, jauh lebih banyak memberikan kepuasan intelektual padaku sebagai kawan.” ~ Hal 52


Demikian pula sang lelaki muda, yang menganggap waktu yang dihabiskan olehnya di desa, di rumah orangtuanya, tak mampu membuatnya bertahan lama. Kalau bukan karena sesuatu yang penting, mungkin si lelaki muda tak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah itu. Dirinya sudah terlalu lekat dengan Tokyo dan keramaian serta hingar bingarnya.

Hingga merasa tak sesuai lagi hidup dengan budaya yang masih tumbuh subur di desa tempat asalnya. Terlebih, fakta bahwa tidak ada sosok Sensei yang mampu membuatnya bertahan. Kefanatikannya pada sosok Sensei ini bisa kita lihat pada banyak karya-karya atau kejadian yang dekat dengan sekitar kita. Tentang seseorang yang akan dengan sangat setia mengekor pada orang lain demi mendapatkan imbalan.

Dalam hal ini, si lelaki muda sebenarnya mengharapkan imbalan, entah itu berupa cerita pengalaman masa lalu si Sensei. Atau imbalan seperti pertolongan untuk mencarikan pekerjaan. Atau apalah itu yang tersimpan dalam hati si lelaki muda, tapi setidaknya menurut pendapat saya, dia tetap mengekor demi sebuah imbalan.

Pada bagian inilah, kita akan membuka kembali dan menerima sebuah kondisi dan pemikiran dari keadaan lelaki tua lainnya yaitu Ayah sang lelaki muda. Begini, beliau adalah lelaki yang tumbuh dan menua di desa. Dengan lingkup sosial yang berbeda dengan kota besar seperti Tokyo. Juga dengan pengalaman yang memang jauh berbeda dengan yang pernah dialami Sensei. Karena itulah, kehidupan dan pengalaman mampu membuat manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Meski sama-sama tua, kita dihidangkan sebuah pemikiran tentang seorang Ayah. Seorang lelaki yang memiliki anak dan menyayangi anaknya dengan segenap hati dan jiwa. Seorang lelaki yang memiliki istri dan menyayanginya. Seorang lelaki yang sudah memiliki cucu dan berusaha untuk menerima keadaan tanpa bermaksud mengeluh.

Kesepian yang dirasakan pasangan tua ini berbeda, antara Sensei dan istrinya juga orangtua si lelaki muda. Meski, dari kedua pasangan ini ada satu persamaan : Ketika sang suami yang sudah bertahun-tahun mengisi kehidupan mereka, harus pergi meninggalkan sang istri. Pilihan yang selalu mereka pinta adalah menyertai kepergian mereka dengan tenang. Agar tak ada lagi kesunyian yang membayangi.

Kita tidak bisa langsung menepuk dada bahwasannya itu bagai roman picisan. Coba sesekali, temui orang-orang tua dari berbagai penjuru tempat, dimana kondisi mereka sudah ditinggal pasangannya. Bagaimana perasaan mereka, minta mereka untuk berkata dengan jujur, apakah sebenarnya mereka merasakan kesepian dan kesunyian itu? Apalagi, jika Anda bertanya pada pasangan yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama dan berbagi derita yang sama. Tentunya akan berbeda jawabannya, namun pasti memiliki persamaan.

Hidangan lainnya yang sempat menohok si lelaki muda yang juga membuat saya mengangguk dalam pemikiran saya sendiri ada pada halaman 86. Dimana saya berpikir, inilah sebuah pemikiran yang nyata tentang orangtua - dalam hal ini seorang Ayah - dan bagaimana perasaan mereka yang kerap kali lebih tertutup dari seorang Ibu. Kondisi ini pula, yang merupakan sebuah pembeda yang saya katakan sebelumnya, dapat digunakan sebagai pembanding antara kedua lelaki tua dalam buku ini. Apakah ada persamaan yang mendasar dari sosok lelaki tua?

Juga pada halaman 100, sebuah pengingat yang entah kenapa membuat saya berpikir tentang orangtua saya. Dan fakta bahwa nantinya saya pun akan menua, namun saya merenungi akan seperti apakah saya saat tua nanti? Bagaimanakah kondisi saya nantinya? Akankah saya menyusahkan keturunan atau orang lain?

“Pada zamanku dulu, orang-orangtua dibantu oleh anak-anaknya. Sekaran ini, anak-anak itu dibantu oleh orangtuanya senantiasa.” ~ Hal 103


Kutipan dialog sang Ayah menjelang ajalnya ini, membuat saya lumayan termengung cukup lama. Benar adanya, Natsume tidak sedang menjejali saya dengan pemikirannya kemudian mewajibkan saya untuk menyetujui semua hal yang dia tulis di sini. Tidak. Dia tengah memberikan saya sebagai pembaca, kilasan-kilasan pembelajaran dari para tokohnya yang sudah tua.

Jika Anda sering mendengar bahwa mengingat kematian itu lebih baik agar kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Saya mungkin setuju, jika yang harus dilakukan itu melalui cara-cara yang baik, karena membaca buku ini membuat saya bukan sekedar mengingat kematian. Tapi juga mengingat kembali perjalanan kehidupan saya yang ternyata juga berubah sesuai tahapan usia yang saya alami.

Kondisi yang saat ini juga banyak saya lihat, dimana banyak anak-anak yang ditopang secara finansial oleh orangtua mereka. Namun, ketika mereka sudah menua, bahkan untuk meminta uang saja sulit. Tidak jarang dimarahi hanya untuk membeli barang yang mereka senangi. Betapa terkadang kita sebagai orang yang masih memiliki semangat muda dan kurang pengalaman, sering menuduh sembarangan tentang orang-orang yang sudah renta.

Berbeda dengan Eguci tua dalam Rumah Perawan. Kilasan-kilasan kenangan yang dialami oleh dua lelaki tua dalam buku ini, cenderung berbeda. Mereka tidak membutuhkan tidur bersama seorang gadis perawan tanpa busana. Mereka hanya butuh seseorang untuk mendengarkan mereka, butuh seseorang yang dekat dengan mereka untuk menyertai kepergian mereka. Hanya butuh wajah-wajah yang dikenalnya untuk mengucapkan salam perpisahan, bukan oleh kesunyian yang abadi.


Rahasia Hati Kokoro Natsume Soseki


Bab Tiga : Sensei Dan Pesannya



Pada bab ini, Anda mungkin akan menerima banyak pengakuan dari sang Sensei yang mungkin akan membuat Anda setuju dengan sikap dan alasan Sensei memutuskan sesuatu. Atau justru bertambah bulat tekad Anda untuk menjadi orang yang tidak setuju dengan sikapnya. Ini semua merupakan keputusan yang dapat diambil oleh pembaca secara bebas.

Begitu lebih baik, membiarkan pembaca memilih ingin pro dan kontra terhadap tokoh dan pemikiran yang mana saja. Tanpa diinvertensi hanya karena harus sejalan dengan tujuan penulis. Karena, tidak ada satu kata pun yang menuliskan bahwa Natsume berusaha menjejali kita dengan anggapan dan pemikirannya dan kita harus menyetujuinya.

Di bab ini juga, kita akan mengetahui secara mendalam. Garis besar alasan dan penjabaran melalui surat panjang yang melebihi beberapa lembar dan berisi kenangan-kenangan tentang kehidupan. Surat yang akan mengantarkan kita pada pemikiran yang mungkin berhak untuk dipertimbangkan lagi. Dan juga sebuah surat yang merupakan jawaban mengapa judul Kokoro diterjemahkan menjadi Rahasia Hati.


Kesimpulan


Membaca karya sastra Jepang dari beragam penulis memang mengasyikkan. Ketika pertama kali membaca kisah Botchan tentang kenangan seorang anak lelaki pada pengasuhnya, bagaimana dia berusaha untuk berterimakasih dengan perjuangan sang pengasuh membuat pembaca mungkin terharu atau mungkin juga biasa saja. Tapi tetap meninggalkan kesan.

Sama halnya juga dengan buku Rumah Perawan yang bisa jadi tidak membuat Anda merasa terkesan sekali, namun entah mengapa justru ingatan tentang buku tersebut tak ingin pergi. Seolah menempel dengan jelas bagai dipatri tanpa mampu dicopot. Demikian pula halnya saat saya usai membaca novel ini.

Tidak ada keinginan yang aneh-aneh usai membacanya. Justru saya tertarik, mengapa para sastrawan Jepang selalu memiliki pemikiran tentang kehidupan yang mendalam. Mengapa mereka berhasil mengusik sisi kemanusiaan tentang bagaimana hidup, tentang siapa kita di dunia, tentang manusia dan perasaannya. Bagaimana cara mereka yang sederhana, kemudian membuat pembaca seperti saya merasa kikuk usai menutup buku karena merasa belum ada apa-apanya dalam berpikir tentang kehidupan.

Ah, bahkan saya tidak mampu menyebutkan bahwa buku ini bukan sekedar layak baca saja. Tapi juga berisi hal-hal yang unik, menarik namun dikemas dengan cara sederhana. [Ipeh Alena]


Postingan Terkait