Lampuki : Sebuah Tempat Di Aceh

Lampuki : Sebuah Tempat Di Aceh


Lampuki : Sebuah Tempat Di Aceh - Novel yang dinilai sangat berani ini, menjadi pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2010. Ditulis oleh seorang lelaki bernama Arafat Nur, dimana di dalamnya memuat kisah kelam yang dialami oleh penduduk Lampuki, disematkan juga dengan sedikit bahasa melayu hingga membuat kesan tentang daerah tersebut sangat kuat.

Novel dengan sampul berwarna latar merah, seolah mewakili seberapa banyaknya darah yang tumpah di tempat itu, seberapa kelam kondisi ketika malam berangsur tiba. Dengan sosok seorang lelaki, berkumis tebal, bermata garang menantang senjatanya, dialah sosok yang sering hilir-mudik dalam novel ini. Sosok yang digambarkan dengan sangat detail oleh Arafat, dan segala sesuatu dalam novel ini memang sangat detail, memiliki alur yang lambat namun tetap membuat pembaca penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.


Kartu Tanda Buku

Judul : Lampuki || Penulis : Arafat Nur || Halaman : 434 || Cetakan I, Mei 2011 || Penerbit : Serambi Cerita Utama || ISBN : 9789790243545 || LBABI : 3 || Rating : 5


***


"Selain perangai buruk, yang paling menambah kehancuran bangsa dan kaum ini adalah akibat kedua orang itu amat rakus, tamak, loba dan suka berkhianat tanpa mau peduli dan sudi mendengarkan ucapan orang lain yang bermaksud hendak mengingatkan." ~ Hal 39


Pada bab-bab awal, pembaca akan dibawa untuk kembali lagi ke masa lalu, melalui pandangan seorang Tengku yang juga sebenarnya tengah menyindir bagaimana kondisi pada masa itu. Sekarang pertanyaannya, siapakah kedua orang tersebut? Mereka adalah dua orang yang pernah menjabat menjadi presiden. Di sinilah, label 'berani' memang layak disematkan dalam novel ini.

Seperti cerita tentang emas yang menjadi milik penduduk Aceh, yang kemudian diubah menjadi sebuah pesawat yang kini menjadi maskapai penerbangan terkenal di negeri ini. Dimana kemudian sosok Tengku yang merupakan narator, mengisahkan bagaimana jejak sejarah Aceh pada masa kelam yang juga berhubungan dengan sosok bernama Pak Karno.

Kelamnya sejarah Aceh bukan hanya tentang pertukaran emas dengan pesawat yang kemudian diakui milik nusantara saja. Tapi, meliputi masa-masa pembantaian yang banyak menewaskan para lelaki di daerah tersebut. Lampuki, merupakan nama kampung di wilayah Pasai, Aceh. Tempat sang narator yang merupakan guru mengaji ini tinggal. Dia sering menceritakan bagaimana luka yang dibawa pada masa-masa pembantaian membuat bekasnya tak kunjung hilang.

Melalui figur Musa, wajah sosok yang terluka akibat masa kelam pembantaian tersebut, menggambarkan bagaimana kemudian tahun-tahun perlawanan tiba, dimana ini seolah pertanda bahwa semua yang terluka menuntut balas atas perbuatan yang telah membuat luka tersebut menganga dan menjadi borok yang tak kunjung sembuh. Luka yang kemudian membakar semangat para Laskar Baru untuk menjadikan kehidupan di Aceh menjadi lebih layak dengan pimpinan yang baru.



"Untuk apa aku membenci pemerintah? Setiap orang yang berkuasa, pastilah berhasrat untuk menguasai dan menjajah kelompok orang yang lebih lemah. Hanya bangsa lemah sajalah yang mampu dikuasai. Jadi, kenapa aku mesti membenci penjajah lantaran mereka sanggup menguasai kaum lemah?" 

"Yang kubenci dan kusesalkan adalah kenapa kaumku sampai menjadi sangat lemah sehingga dapat dengan mudah dikuasai dan dijajah! Maka, jangan salahkan aku, kalau kadang-kadang aku terpaksa membenci kaumku sendiri yang bebal, congak, pongah dan lemah tak berdaya ini, yang senantiasa terbuai angan panjang dan keangkuhan masa lalu sehingga tidak pernah berpikir dan berbuat sesuatu apa pun untuk diri sendiri, melainkan sibuk mencela dan merusak kaumnya sendiri." ~ Hal 40


Di bab-bab awal pula, kita akan mulai dikenalkan dengan sosok Tengku melalui pemikiran-pemikirannya ketika dihadapi hal-hal yang tampak menyimpang baginya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ketika suatu malam, seorang sosok berkumis tebal nan garang mampir ke balai tempat diadakan pengajian anak dan remaja. Di sana, Tengku yang sedikit gusar dengan kehadirannya, namun tak mampu untuk menolak apalagi mengusir, akhirnya sibuk dengan pemikirannya yang membawa kita pada jejak sejarah Aceh di masa lampau.

Mengapa kemudian tercetus Tahun-Tahun Perlawanan yang kemudian membawa kembali situasi mencekam yang membuat banyak warga kemudian menjadi korban tertuduh tanpa bukti yang sah. Sebuah sejarah yang panjang, masa-masa kelam yang seolah tak kunjung usai. Melalui pemikiran sang Tengku juga, kondisi keseharian rakyat Lampuki diceritakan. Seperti malam itu, sosok berkumis yang tengah mencari bibit-bibit baru untuk membantu perjuangannya.

Tengku memang tak menyetujui ide yang muncul dari lelaki berkumis tersebut, tapi tidak juga bisa menyangkal secara langsung. Hanya saja, pembaca akhirnya bisa mengetahui, bagaimana kemudian seorang yang berkuasa, memang akan terus menjajah kaum yang lemah. Penjajah di sini memiliki bentuk yang berbeda, banyak rupanya. Entah mungkin kejadian dari sosok orang berhidung pesek yang senantiasa tertipu dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Atau hal lain seperti seorang perempuan pemungut pajak yang tanpa takut menyeruak di antara kerumunan tentara.

Satir, kata ini juga mewakili isi dalam novel Lampuki. Tak hanya tentang pemerintahan, tentang bala tentara yang datang entah berapa jumlahnya, tentang perempuan-perempuan yang juga ikut menuliskan sejarahnya dalam novel ini serta kelemahan seorang sosok garang yang menjadi daya tarik tersendiri untuk novel ini. Hingga wajar jika karya sastra ini menjadi pemenang unggulan.


***

Sebagai orang awam, saya tidak banyak mengenali sejarah negeri saya ini selain beberapa penjajah dari negara lain yang pernah terjadi sebelum kemerdekaan. Itu pun sejarah yang saya kenali melalui buku-buku sejarah yang konon ternyata banyak diubah, banyak ditutupi fakta-faktanya, banyak yang dimanipulasi. Hingga kemudian saya seolah tak memahami latar belakang negeri yang saya tinggali.

Namun, melalui keberanian para penulis karya sastra lainnya, yang berusaha mengungkapkan sejarah melalui masa-masa kelam kolonial, masa kelam perlawanan dan masa kelam lainnya paska kemerdekaan, barulah saya sedikit bisa mengintip jati diri Indonesia yang nyatanya masih belum banyak saya ketahui juga. Serta masyarakat seperti apa sebenarnya yang menghuni negeri ini, hingga kini saya masih belum bisa memahami dengan baik.


Novel realita tentang konflik di Aceh ini berhasil membuka mata saya pada sesuatu yang sebenarnya perlu untuk saya ketahui, karena juga mewakili keseluruhan watak yang mendominasi setiap tragedi dan konflik yang terjadi di negeri ini. 


Postingan Terkait