Single Mom's Diary : Kisah Nyata Ibu Tunggal

Single Mom's Diary : Kisah Nyata Ibu Tunggal
Single Mom's diary

"Ibu broken home itu apa? Kita ini keluarga broken home, ya?" Pertanyaan ini terlempar dari sosok anak lelaki yang sudah duduk di bangku SMP. Dan hari itu dihabiskan oleh Mba Ujianti untuk menjelaskan apa itu broken home. Disertai diskusi tentang anak-anak dari keluarga broken home. 

Ada satu pandangan dari masyarakat umum tentang Single Mom serta anak-anaknya. Bahwasannya, anak-anak dari keluarga broken home akan menjadi anak yang bengal, berakhir di penjara, tidak memiliki prestasi serta kekurangan kasih sayang. Namun, Mba Ujianti beserta anak-anaknya membuktikan bahwa pandangan tersebut tidaklah benar.

Bahkan anak-anak dari keluarga utuh pun banyak yang berakhir menjadi pribadi yang negatif. Karena pendidikan itu tentang sosok orang tua yang dapat membuat anak-anak mereka memahami eksistensi mereka di dunia ini. Demikian juga pengalaman Mba Uji melewati kehidupan yang berbeda, kehidupan yang konon 'tidak normal', padahal tidak ada aturan baku tentang prosedur normal.

**

Anak broken home, itu hanya sebagian stigma yang diberikan pada Single Mom. Ada beberapa hal lain seperti pertanyaan-pertanyaan yang justru dapat mengorek luka lama. Misalnya, "kemana suamimu kok tumben jarang ngumpul?" Pada mulanya, Mba Uji dan keluarganya menyembunyikan kenyataan ini. Mereka berusaha mengarang cerita tentang keberadaan sang suami. Meski kemudian lambat laun, hal ini membuat beban yang teramat besar bagi Mba Uji pribadi.

Terlebih, sebagai seorang anak, Mba Uji sadar betul bahwa perceraiannya merupakan aib bagi keluarganya. Beban ini pula yang harus ditanggung olehnya, karena bagaimana pun keputusan perceraian justru merupakan jalan keluar yang lebih baik ketimbang terus mempertahankan bahtera rumah tangga yang sudah tidak sehat lagi. Namun, pilihan akhir ini telah melewati banyak pertimbangan, bukan sekadar keputusan sesaat.

Setelah Mba Uji memutuskan untuk tetap berpendirian teguh dengan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, mulailah satu ekspresi yang terus menerus dihujani padanya. Yaitu kenyataan bahwa kebanyakan orang akan melabeli seorang Ibu Tunggal dengan label "Sosok yang patut dikasihani". Menurutnya, label inilah yang membuat banyak Single Mom akhirnya mengkerdilkan sang Ibu untuk bertahan dan menjadi sukses.

**

Masih teringat ketika saya pribadi, berbincang dengan salah seorang Ibu di depan sekolah. Awalnya saya tidak menanyakan apa-apa, hingga kemudian seorang Ibu lain menanyakan perihal Bapak si anak yang sedang ada di dalam sekolah. Dengan senyum manis, si Ibu yang ditanya ini menjawab, bahwa dirinya sudah bercerai dan merupakan sosok Single Mom. Seperti biasa, reaksi yang kerap terjadi ketika seseorang mengemukakan jawaban yang sebenarnya, perbincangan saat itu akhirnya selesai tanpa tahu bagaimana akhirnya.

Saya yang selalu merasa nyaman menjadi pendengar, akhirnya berusaha untuk melanjutkan perbincangan. Kami membahas apa saja, kesukaan si anak, cita-cita yang sering dikisahkan. Hingga kemudian dia bercerita dengan sendirinya. Kekalutan ketika awal-awal masa perceraian, persis seperti yang Mba Uji alami. Dia mengalami kebingungan untuk menjelaskan pada anak-anaknya. Hingga kemudian dia sendiri merasa kebingungan, karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk menyediakan waktu di kantor lebih banyak daripada di rumah.

Sampai keputusan itu dibuat. Anak pertamanya, harus diasuh oleh Kakaknya yang berada di Tasikmalaya. Itu berarti dia harus berjarak dengan anaknya. Ini pun demi kebaikan si anak, karena sang Ibu tak dapat membagi waktunya untuk pekerjaan. Dimana pekerjaan inilah satu-satunya cara untuk membiayai kedua anaknya. Bahkan anak keduanya, diasuh oleh Adiknya di Bekasi. Mereka tetap tinggal satu rumah, tapi karena banyak hal yang harus dipikirkan, akhirnya diputuskan bahwa Sang Ibu harus kost di Jakarta Barat. Demi mengirit pengeluaran ongkos.

**

Perjuangan yang dialami oleh teman saya tersebut, juga dialami oleh Mba Uji dan banyak perempuan para Single Mom di banyak tempat. Mereka harus rela mengorbankan waktu mereka yang biasanya penuh untuk anak-anak, atau bahkan harus berpisah dengan anak-anak mereka, demi satu : Kesejahteraan si Anak itu sendiri. Tidak terbayangkan bagaimana beratnya tinggal berjauhan dengan anak, sementara di kehidupan sebelumnya mereka sudah terbiasa 24 jam berasama sang Ibu.

Kerja keras, memang sebenarnya berlaku untuk semua orang, tidak hanya Single Mom. Tapi, porsi para single Mom ini lebih banyak karena mereka harus menjadi sosok pencari nafkah dan juga sosok Ibu bagi anak-anak. Bagaimana kerasnya juga perjuangan Mba Uji untuk tetap merekatkan bonding dengan anak-anaknya. Bagaimana kemudian dia berusaha juga untuk terus menjadikan sang anak terbuka dan terbiasa bercerita dengannya.

Semua tidak didapat dengan mudah. Mba Uji sendiri harus melalui beberapa proses. Salah satunya melewati tahapan ketika sang anak mulai menunjukkan kebutuhan yang lebih banyak, bagaimana dia menyikapinya. Bagaimana dia meminta bantuan dari para keluarganya dan orang-orang terdekat, serta bagaimana dia menjelaskan pada sang anak posisi dan kondisi mereka.

**

Allah tidak memberi ujian kehidupan yang berlebihan pada sang makhluk. 

Coba kita rehat sejenak, pikirkan kembali dan ingat-ingat lagi, apa saja kemudahan yang sebenarnya sudah diberikan berkali-kali bahkan beribu kali dari Yang Maha Pencipta. Bagi saya, kemudahan yang dialami oleh mba Uji, pun sama, sebagai bentuk kasih sayang Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kepada umatnya. Bagaimana kemudian kedua adik mba Uji menjadi figur 'Ayah' bagi kedua anaknya.

Betapa kedua adiknya ini benar-benar menyumbangkan peran yang sangat besar dalam kehidupan anak-anak mba Uji. Belum lagi keluarganya yang selalu memberikan support pada mba Uji, tetap memberi peluang mba Uji untuk berkuliah lagi demi pendidikan yang bisa menunjang karirnya. Apakah ini berarti Mba Uji tak peduli dengan anaknya? Lebih peduli karirnya?


Tidak, karena dari perjuangannya melanjutkan kuliah lagi di pulau yang berbeda dengan tempat tinggal anak-anaknya. Justru ini yang membawa kemapanan bagi keluarga kecil mereka. Terkadang memang kita harus mengorbankan banyak hal, energi serta waktu hanya untuk memperjuangkan masa depan anak-anak agar mendapat hal yang lebih baik.

Bisa terbayangkan bukan? Bagaimana kesibukan serta perjuangan mereka. Bahkan mereka sendiri pun harus berjuang mengendalikan diri mereka sendiri.

**

Apakah buku ini hanya untuk perempuan yang bercerai saja? Pertanyaannya, sudah siapkan Anda (perempuan dan seorang Ibu) ketika menghadapi satu hal, yaitu perpisahan karena kematian. Sementara Anda sebelumnya seorang Ibu rumah tangga yang tak pernah lepas dari anak. Sudah siapkah diri kita untuk segera berdiri dan berusaha lebih keras lagi demi kehidupan yang lebih baik?

Buku ini bukan hanya untuk para Single Mom saja. Karena bagi Anda yang bukan Single Mom, buku ini juga sebagai bentuk pencerahan, bagaimana bersikap yang baik ketika berhadapan dengan Ibu Tunggal. Apa saja yang boleh ditanyakan atau apa saja yang sebaiknya jangan diucapkan. Karena seringnya 'kebiasaan' masyarakat pada umumnya, meski menyakiti perasaan Ibu Tunggal, namun tidak membawa rasa bersalah bagi orang yang berbuat tersebut.

Ini semacam kebenaran yang menyakitkan. Karena mau tak mau akhirnya para Ibu Tunggal ini berusaha untuk defensif, melindungi diri dan hati mereka demi keseimbangan kewarasan. Hei, come on! Kalian pikir itu mudah, menjaga kewarasan, sementara di sekitar banyak orang menggunjing atau melabeli dengan hal yang kurang sesuai? 

Jadi, mempelajari tetang Ibu Tunggal bukan berarti harus mengalaminya dulu baru bisa berempati. Tapi, kita bisa berempati dengan menghargai mereka, usaha mereka dan perjuangan mereka.

Selain itu, saya jadi teringat dengan komentar mba Mugniar, bahwa membaca Single Mom's Diary, juga sebagai bentuk 'persiapan' ketika suatu saat, takdir yang belum kita tahu, ternyata membawa kita pada perpisahan oleh kematian. Hingga kita sebagai perempuan harus dihadapi kehidupan yang tidak seperti biasanya, bersama anak-anak.

Sama seperti perumpamaan, SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN. Membaca buku ini seperti, mempersiapkan kiranya apa saja yang biasanya dialami pada masa-masa awal sebuah perpisahan. Dan bagaimana cara mengatasinya.


Single Mom's Diary : Kisah Nyata Ibu Tunggal


**

Berikut ini saya sertakan juga, hal apa saja yang seringnya menjadi problem terbesar yang dihadapi oleh para Ibu Tunggal yang baru saja mengalami perpisahan.


1. Safety Net

Jika sebelumnya sang Ibu merupakan sosok yang senantiasa berada di rumah dimana pendapatan berasal 100% dari nafkah suami. Maka, hal yang harus diperhatikan adalah apa yang harus dilakukan ketika nafkah suami tak lagi didapat. Ini seringnya yang menjadi penyebab utama stress dan depresi bagi para perempuan. 

Jangan pernah menganggap remeh hal ini. Karena seperti yang kita ketahui, perempuan yang akhirnya depresi bisa melakukan banyak tindak kriminal yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, pahami sekali lagi, apa yang akan dilakukan jika tidak mendapat nafkah lagi dari suami, apa yang harus dikerjakan atau usaha apa yang harus dilakukan.


2. Belajar Meminta Bantuan

Jika sebelumnya perihal memperbaiki hal-hal yang rusak di dalam rumah dikerjakan oleh sosok Ayah atau suami. Maka sudah saatnya untuk belajar meminta bantuan dari orang-orang di sekitar yang bisa dimintai tolong. Juga belajar meminta bantuan, terkait pengasuhan anak ketika sedang atau harus bekerja.

Seperti mba Uji yang meminta bantuan mahasiswinya yang memang mencari tambahan pendapatan, mahasiswi tersebutlah yang menggantikan pengawasan bagi anak-anaknya ketika Mba Uji tengah bekerja. 

Ingat, kita makhluk sosial yang juga butuh bantuan orang lain. Tapi, yang harus diperhatikan adalah temui orang yang tepat untuk dimintai bantuan.


3. Terima dan Akui

Ini sama saja dengan "JANGAN DENIAL" dengan keadaan yang sebenarnya. Alih-alih berusaha mengasingkan rasa sakit, kenapa tidak rasakan saja rasa sakit itu dengan kesadaran penuh. Terima bahwa kita makhluk yang lemah, yang bahkan harus meminta bantuan orang lain. Yang merasa sakit dengan sindiran halus dari orang lain.

Terima saja dan akui, bahwa semua yang terjadi itu nyata. Karena ketika Anda berusaha untuk mengabaikannya, ini akan menjadi jurang yang membuat Anda kesulitan.



4. Momen Pembelajaran

Kehidupan yang kita jalani pada dasarnya merupakan pembelajaran yang akan kita dapat melalui trial dan eror. Tapi, terkadang kesulitan yang pernah dihadapi, juga bisa menjadi pembelajaran berharga bagi orang lain. Dengan memahami kehidupan dan kesadaran bahwa Sang Maha Pencipta selalu memiliki alasan kenapa kita diberikan hal ini dan itu.

Dengan menyadari hal sekecil ini, maka segala hal rumit akan bisa dihadapi dengan baik. Karena hidup itu merupakan proses pembelajaran.


5. Kesehatan Mental Itu Penting


Mba Uji mengingatkan bahwa penting jika seorang Ibu mengalami rasa putus asa yang berkepanjangan dan meminta bantuan dari psikolog. Jangan diabaikan dan jangan merasa malu untuk meminta bantuan dari sang ahli. Karena kesehatan mental seorang Ibu akan berpengaruh juga dengan kebahagiaan sang anak.

Bagaimana mungkin anak-anak akan bahagia dan bersemangat serta kuat menghadapi kehidupan kalau sang Ibu justru tidak bahagia dan bahkan berputus asa terhadap hidup. Jadi, mintalah bantuan dari sang ahli, jangan malu untuk mengakui kalau kita butuh bantuan orang lain.

Jangan malu apalagi mengabaikan rasa putus asa yang berkepanjangan hingga akhirnya depresi kemudian melakuakan hal yang buruk.


**

Rasa lelah kerap kali menyerang banyak para Ibu, lelah fisik, lelah pikiran serta lelah jiwa. Dan ini bisa mengakibatkan sosok Ibu menjadi tidak toleran terhadap anak-anak. Bisa jadi, karena hal kecil saja, perbuatan anak-anak, bisa membuat Ibu mengomel sepanjang hari. Dan stress yang dialami sang Ibu bisa menular ke anak-anak sehingga mengalami stress massal.

Hal yang harus dipahami adalah kita manusia yang tidak bisa mengerjakan semua dalam satu waktu. Pahami lagi mana tugas yang urgent, pahami kembali bahwa anak-anak akan bahagia jika sang Ibu bahagia. Juga anak-anak akan bahagia jika mereka memahami bahwa keberadaan mereka juga membuat sang Ibu bahagia.


**

Jadi, sudah tepatkah perilaku kita selama ini ketika berhadapan dengan Single Mom? Sudahkah kita menjadi teman yang baik bagi banyak orang? Saya? Masih dalam proses belajar untuk menjadi teman yang baik.


Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.


Terima kasih

Postingan Terkait