Musashi - Matahari dan Bulan



"Yang sungguh merisaukan dan membuatku malu, ialah bahwa pejuang-pejuang baru justru muncul di tempat lain, dan tak seorang pun pemain pedang sekaliber dia muncul di tengah Perguruan Ono. Sebagian besar dari kalian adalah pengikut Shogun karena keturunan. Kalian membiarkan status kalian menguasai diri. Sesudah sedikit saja mendapat latihan, kalian sudah mulai menganggap diri kalian ahli dalam 'Gaya Itto yang tak terkalahkan'. Kalian terlalu puas diri." ~ Tadaaki (113)


Cukup mengagumkan, ketika pesan terakhir seorang guru ketika dia mengumandangkan pengunduran dirinya, di tengah pertempurannya dengan seorang samurai muda. Tadaaki mengakui kekalahannya ketika melawan Kojiro, bukan hanya karena Kojiro lebih muda darinya. Tapi, karena dia membenarkan perilaku Itto tentang arti dari kemenangan, hingga kematian.


Meski Jalan Pedang, seharusnya membuat orang tak mengenal tua. Akan muda selamanya. Namun, Tadaaki, tak lagi mau menutupi kekalahannya. Tapi, bagi Tadaaki, yang menjadi alasan utamanya mengundurkan diri adalah, kelonggaran yang dilakukan oleh muridnya merupakan cerminan kelonggaran yang dilakukan oleh sang guru. Benar, sebagai guru, dia paham bahwa dalam mendidik muridnya memahami Jalan Pedang belum sepenuhnya optimal.

Dalam buku keenam ini, saya lebih banyak membaca porsi keberadaan sosok Kojiro yang lebih tangkas permainan pedangnya. Memiliki sikap dan pembawaan yang dingin, mampu untuk mempermainkan perasaan lawan bicaranya, sehingga tak tampak jelas apakah Kojiro tengah ketakutan, bahagia atau cemas. 

Namun, tetap menjadi sebuah rasa penasaran yang besar bagi saya, untuk mendalami keberadaan dan karakter serta kehebatan Musashi di buku ini. Terlebih, saya pernah membaca, rahasia gelap dari Musashi yang pernah ditulis oleh Junichiro Tanizaki, tentang kebiasaannya menikmati pemandangan di sebuah kuil yang membuatnya mengenal dirinya yang lekat dengan kekerasan. Dan sebelum saya menulis terlalu panjang, saya ingin memberi informasi singkat terkait detil buku yang saya baca ini.


Detil Buku

Judul : Musashi - Buku keenam || Penulis : Eiji Yoshikawa || Halaman : 251 || Alih bahasa : Tim Kompas || Penerbit : Gramedia || ISBN : -


Tentang Jalan Samurai


Bushido adalah istilah yang dikenal di Jepang sebagai arti dari Jalan Samurai. Maksudnya adalah menjadi samurai juga harus menjunjung tinggi aturan-aturan yang berlaku yang telah diajarkan. Sama halnya seperti sumpah Pramuka yang mana terkadang harus diterapkan ketika berada di mana saja. Begitu pula dengan Jalan Samurai ini, yang diterapkan oleh banyak para samurai. Apalagi dahulu, strata seorang samurai ini sangat tinggi, itulah mengapa menjadi ronin merupakan sebuah 'label' yang lumayan memalukan bagi seorang samurai.

Sedikit akan saya bagikan beberapa Prinsip Jalan Samurai (*) :


  1. Keadilan / Keputusan yang Benar (Gi)
    Gi adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang benar, yaitu kebenaran karena diri sendiri meyakini suatu hal sesuai dengan prinsip moralitas, bukan karena orang lain mengatakan hal tersebut benar. Dalam hal kejujuran dan keadilan, seorang samurai tidak mengenal area “abu-abu”, bagi mereka yang ada hanya benar atau salah.
  2. Keberanian (Yu)
    Yu adalah kemampuan untuk menangani setiap situasi dengan gagah berani dan percaya diri. Seorang samurai tidak akan takut untuk menonjolkan diri dari orang-orang di sekitar.
  3. Kemurahan Hati (Jin)
    Jin adalah kombinasi dari kasih sayang dan welas asih. Jin diterapkan bersama Gi akan membuat seorang samurai bisa meredam keinginan untuk menggunakan kemampuan mereka secara arogan atau untuk mendominasi orang lain.
  4. Penghormatan (Rei)
    Rei berarti harus memiliki rasa hormat dan sopan santun kepada semua pihak, termasuk kepada musuh, sama seperti kita menghormati diri sendiri. Seorang samurai dihormati tidak hanya karena kemampuannya, melainkan juga dari bagaimana ia bersikap terhadap orang lain.
  5. Kejujuran (Makoto)
    Makoto berarti bersikap jujur terhadap diri sendiri, selain juga bersikap jujur kepada orang lain. Juga berarti bertindak benar secara moral, dan selalu melakukan suatu hal dengan kemampuan terbaik. Hal ini karena jika seorang samurai sudah mengatakan sesuatu, maka orang akan berkeyakinan bahwa hal tersebut akan terlaksana.
  6. Martabat (Meiyo)
    Meiyo dapat dicapai dengan selalu berpikir positif, namun demikian tetap perlu diwujudkan melalui tindakan dan sikap yang tepat. Martabat seorang samurai dinilai dari bagaimana dia bertindak untuk mewujudkan cita-citanya.
  7. Kesetiaan (Chungi)
    Chungi adalah fondasi dari semua prinsip moral; tanpa dedikasi dan kesetiaan terhadap suatu tujuan atau kepada sesama, seseorang tidak bisa berharap untuk bisa mencapai hasil yang dia inginkan.


Baiklah, prinsip Bushido inilah yang melekat pada sosok Musashi, sehingga dia sangat dikenal oleh banyak orang ketika itu. Di buku ini, Musashi tengah menjalani agama Zen dengan menghindar dari hiruk pikuk keramaian. Ketika dirinya diundang oleh Ujikatsu ke kediamannya, Musashi sempat 'dikerjai' namun berhasil mengecoh orang-orang yang 'mengerjai'nya. Menurut Takuan, perbedaan yang mendasar dari ahli strategi dan seorang pemain pedang adalah Tanggapan Naluriah. 

Baginya Tanggapan Naluriah ini seperti wahyu Zen, tidak dapat diketahui dengan benar keberadaanya. Tapi hanya bisa dirasakan sendiri. Karena seorang samurai yang disiplin dan mempraktikkan Bushido akan sensitif jika merasa ada bahaya yang menghampirinya. Sensitifitas inilah yang dinamai Tanggapan Naluriah, karena ahli strategi tentunya hanya berpaku pada prinsip-prinsip intelektual.



Agama Zen


Agama Zen masih termasuk ke dalam Ajaran Buddhisme, namun pada prakteknya terdapat dua keyakinan yang terpecah, ada yang berkeyakinan bahwa Iman sebagai penyelamat dan ada juga yang yakin bahwa usaha perseorangan-lah yang menyelamatkan. Dan Zen, merupakan tradisi yang mendesak ke arah keselamatan dengan usaha sendiri. Dalam ajaran Zen tak ada sembahan dalam bentuk sesuatu, kebanyakan mereka bermeditasi memasuki alam tenang. Sedikit tentang Zen pernah saya tulis pada ulasan Daun-daun Bambu.

Baca Juga "Daun-daun Bambu"

Dan Musashi memang seorang penganut Zen yang mendedikasikan dirinya untuk kebahagiaan alam semesta. Beberapa kenalan Musashi, sudah banyak yang menyingkir dari keramaian, menyendiri, mencukur rambut mereka, kemudian hanya berbekal tasbih di tangan mereka. Sikap-sikap kasar mereka telah melembutkan diri mereka, begitu pula dengan Musashi, meski dikenal sebagai 'sosok harimau' ketika berperang.



Matahachi dan Akemi


Matahachi seorang kenalan Kojiro dikisahkan juga di sini. Dia membawa lari seorang perempuan untuk diselamatkan dari samurai lain (murid Tadaaki), bernama Akemi. Mereka berdua telah hidup bersama, meski tidak menikah. Akemi mengurusnya dengan baik dengan jaminan Matahachi akan melindunginya. Namun, suatu hari, Akemi merasa bimbang karena Matahachi merupakan sosok yang terlalu sering bimbang, terlalu banyak berpikir dan tidak berani mengambil keputusan.

Hingga inilah yang membuat Akemi akhirnya melarikan diri. Matahachi bersedih, kemudian masuk ke perangkap lain yang tak disadarinya. Perangkap yang memang sudah disiapkan untuk menyingkirkan Matahachi, dengan iming-iming sekantung emas untuk menjadikannya kaya dengan tawaran yang lumayan berat.

Namun, belum apa-apa Ibunya Matahachi justru disandera oleh murid Tadaaki. Mereka bermaksud untuk menantang Kojiro dan membunuhnya, namun di situlah justru letak pembelajaran bagi mereka. Kesalahan yang dilakukan Hamada inilah yang berdampak pada gurunya. 


Musashi dengan Anak Didiknya dan Perempuan bernama Otsu

Ini baru saya ketahui karena saya hanya mengenal Lady Kikyo melalui buku Sejarah Rahasia Musashi, sosok perempuan bernama Otsu yang kemudian disinggung untuk didatangkan ke hadapan Musashi agar dinikahi. Mereka ingin Musashi tinggal di tempat mereka, menikah dan hidup berkelanjutan. Mengakhiri masa pengasingan dirinya.

Di masa pengasingan, Musashi membawa serta anak didiknya bernama Iori, yang mana ada satu bagian yang menakjubkan, menjadi sisi kelebihan dari sang Daimyo Musashi terhadap 'kesangaran'nya. Saat mereka berdua tengah berlatih pedang, Musashi hanya meminta Iori untuk menatap matanya. Dalam waktu lama, beberapa kali Iori gagal menatap mata sang Musashi. Hingga terus diulan latihan tersebut.

Saat Iori berhasil menatap mata sang Daimyo, yang mengesankan adalah pandangan matanya membekukan saraf gerak Iori hingga dia merasa lengah. Dia merasa ada sesuatu yang salah dengan ruang geraknya. Kemudian, diulang kembali latihan tersebut, hingga Iori bisa bergerak spontan mengetahui ke arah mana gerak musuhnya.

Di sini, bisa dipelajari bagaimana Daimyo Musashi mendidik dengan keras anak muridnya. Meski pada mulanya dia tak ingin demikian keras mendidik, namun dia pernah mengalami kegagalan karena didikannya justru tidak disiplin karena saat muda didikannya lebih longgar. Kedisiplinan ini bukan tentang kekerasan dan teriakan, tapi disiplin memanfaatkan waktu Iori agar dia banyak belajar membaca dan berlatih pedang.



Membaca Kisah Musashi


....membuat saya selalu merasa tertarik dengan jalan hidupnya. Sebagaimana kelihaian Eiji Yoshikawa dalam mengisahkan sosok samurai seperti buku sebelumnya Oda Nobunaga yang pernah saya baca. Saya semakin penasaran untuk menggali sisi hidup, sikap dan tabiat sang Daimyo yang terkenal dengan 'kesangaran'nya itu tapi tetap memiliki hati yang lembut. 

Bagaimana Ia dan keahliannya membuatnya terkenal, tapi tetap rendah hati dan merasa bahwa itu belum menjadikannya sebagai sosok yang patut dipuji. Hal ini dibuktikan ketika dia berada di kediaman Ujikatsu, sikapnya yang masih merendah terhadap latihan-latihannya selama itu. Sampai rasa tak ingin bertepuk dada ketika mereka merekomendasikan padanya posisi yang istimewa.

Sejujurnya, saya merasa tahun ini sebagai tahun dimana saya harus bekerja keras dalam membaca buku-buku yang ada di tumpukan. Karena, seperti nasib buku Musashi yang saya punya ini, karena saya belum membaca buku pertamanya, kemudian loncat ke buku ke-6 karena memang adanya yang ini, membuat saya merasa bingung. Siapa sih tokoh ini, apa sih kaitannya dengan itu. Seperti itu. 

Yang menjeadi kendala ketika membaca buku ini, bukan hanya karena saya memulainya dari buku lanjutan. Tapi juga kendala penerjemahnya, entah kenapa saya merasa kurang puas dengan hasil terjemahannya. Yaaa..mungkin saya saja yang merasa kaku rasanya ketika Musashi dipanggil, "Pak" alih-alih "Tuan" karena sudah terbiasa demikian. Iya, biasanya memang saya membaca panggilan Tuan atau Daimyo atau apalah itu, bukan "Pak". Aneh memang saya, yang mempermasalahkan hal kecil. 

Jadi, setelah ini, sepertinya saya hendak mencari buku Musashi bukan yang seri seperti ini. Karena mencarinya susah, betul, susah didapat. Yang tebal masih banyak beredar. Apalagi tulisan Eiji selalu cocok bagi saya, alurnya yang membuat saya betah dan tidak mudah bosan. Ini buku kedua yang saya baca untuk memenuhi tantangan #31HariBerbagiBacaan. 


Semoga bermanfaat

Terima kasih




Referensi :

(*) sumber http://info-cool.com/tujuh-prinsip-moral-bushido/

Postingan Terkait