Metafora Padma




Membaca adalah menikmati perasaan di balik setiap kata...(hal32)


Seperti itulah rasa yang saya nikmati juga sebagai pembaca saat mencerna kata demi kata yang ditulis oleh Bernard Batubara di buku ini. Kalau dihitung, sudah sebanyak 8 buku karya Bara yang saya baca, terakhir kali membaca buku Jika Aku Milikmu, kemudian mendapat semilir angin kembali dengan berita kemunculan Metaforapadma membuat saya tak sabar.

Saat membalik halaman pertama, saya mulai berpikir keras, kira-kira apa tema utama yang akan diangkat dalam buku ini. Setidaknya nama Harumi membuat saya menerka, apakah itu Haruki Murakami kemudian disingkat menjadi Harumi? Ini hanya sebuah terkaan akibat mengetahui Bara sesosok penggemar penulis Jepang itu.

Tapi, di lembar berikutnya, saya membaca banyak sekali hal yang seakan berkaitan satu sama lain tentang kehidupan di sebuah desa yang porak poranda, binasa oleh kegilaan manusia yang haus akan darah. Ini bukan hanya sekadar cerita-cerita pertumpahan darah, tapi juga cerita kelam dari sisi kehidupan manusia.


Sebelum saya memulai untuk menuliskan sedikit tentang buku ini, kiranya saya perkenalkan lebih dahulu, informasi terkait Metaforapadma.


Informasi Buku


Judul : Metafora Padma || Penulis : Bernard Batubara || Halaman : 157 || Ilustrator : Egha Latoya || Desain Sampul :  Eka Kurniawan || Penerbit : Gramedia || ISBN : 9786020332970



Asal Muasal Pertikaian (sepertinya)


Peperangan antar suku yang diangkat dalam buku ini, mengakibatkan banyak warga di suatu desa menuliskan besar-besar, SUKU MELAYU atau SUKU JAWA di dinding rumah atau pagar mereka. Ini demi melindungi keluarga yang berlindung di dalamnya, dari pertikaian antar suku A dengan B. Kabar yang beredar tidak begitu menentu, kenapa sampai ada alasan pertikaian tersebut.

Salah satu cerpen menceritakan bagaimana gundah gulananya seorang anak-anak yang mendengar kata 'Kerusuhan' serta rasa sunyi dan mencekam yang terus terbawa ke dalam setiap mimpinya. Mimpi yang sama, hingga dia dewasa. Mimpi yang membuatnya merasa aneh, antara kenyataan atau benar-benar sekadar mimpi.

Tapi, di kisah lainnya, kemudian diungkap, tentang kisah cinta dua insan. Yang bertengkar dan salah satunya ingin sekali rujuk, namun Kakak sang perempuan yang tak tahu menahu menganggap bahwa lelaki penjaga warung itu tengah melecehkan sang adik. Hingga terjadilah pertumpahan darah, sebuah pembunuhan terjadi yang mana sang pelaku langsung melaporkannya sendiri.

Sampai kabar kemudian beredar, dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi berita bahwa "Suku A Membunuh Suku B". Sungguh sebuah kebodohan memang tak memiliki obat, kalau pun ada obatnya, setidaknya Obat Generik lebih bagus. Murah tapi tokcer, demikian salah satu tokoh mengatakan tentang penyakit bodoh. Namun, meski dituju pada hal yang berbeda, tapi kebodohan dalam peristiwa yang diangkat dalam cerita memiliki kesesuaian.

Teringat kembali, banyaknya perang antar suku yang terjadi di Indonesia hanya karena hal sepele. Entah itu karena menggoda, mengejek, tak sengaja menabrak sampai perihal cinta bisa dikaitkan dengan peperangan ketika dua insan berbeda suku memadu kasih. 



Mengenai Buku Karya Bara


....yang sudah ke-8 kali saya baca. Bara memiliki fokus yang mantap ketika menulis sebuah cerita pendek. Namun, berbeda ketika dia menulis sebuah novel. Cerita yang ditulisnya, kerap kali menyisipkan hal-hal yang seakan dipaksakan ada dalam ceritanya. Seringnya juga tidak fokus, terlalu melebar hingga sebagai pembaca saya merasa pusing dijejali beragam hal dalam satu waktu.

Pecah rasanya kepala saya. Tapi, menikmati cerpennya, seakan menyelami ribuan hal dalam kepalanya. Dan, khusus di sini, saya seperti mengarungi masa lalu yang berjejak dalam tiap kisah di cerita-ceritanya. Ada sosok Bara yang mengisahkan tentang ayahnya, saya merasakan demikian - mungkin saya saja yang merasakannya - karena saya tahu Ayahnya Bara seorang pengayom masyarakat. 

Ingatan saya kemudian melayang pada tahun 1997, tahun yang sama dengan yang ditulis di novel, juga tahun yang sama ketika pergolakan di Indonesia muncul sedikit demi sedikit. Dimana saya? Sedang apa saya? Bara kembali membuat saya menjejak kenangan saya sendiri, melalui selang - seling memori yang hampir sedikit terkikis karena usia.

Tak ayal, saya seketika mencari tahu kembali, mengungkit kembali kenangan masa silam tentang pertikaian-pertikaian yang terjadi di banyak daerah, sebelum pecahnya demonstrasi besar-besaran. 

Tahun-tahun 1997, yang kelam bagi beberapa orang. Meski saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan lebih tidak peduli dengan berita nasional yang muncul di televisi karena lebih gemar dengan film-film kartun. Dari jejak masa silam yang tertulis di berbagai media, membuat saya sedikit demi sedikit belajar memahami apa yang terjadi, ketakutan seperti apa yang merasuk ke kepala seorang anak.

Bukan itu saja, bukan tentang pertikaian dan tahun 1997 saja yang diangkat menjadi cerita dalam buku ini. Meski sangat berbeda jauh dengan buku Jika Aku Milikmu yang terbit tahun kemarin, saya merasakan setting yang kuat dibangun oleh Bara di sini. Saya seakan bisa menggali dengan sendirinya bagaimana suasana yang sama dirasakan oleh tokohnya.

Seperti dalam cerpen...


Rumah


Cerpen yang dibuka oleh narasi sosok yang tak bisa ditebak sebelumnya. Tentang seorang lelaki yang usianya 29 tahun (sama seperti usia saya, ya). Narator mengingat raut wajah lelaki ini, ketika masih kanak-kanak, sebelum segala konflik mencuat ke permukaan. Saat empunya rumah masih berbisnis, ketika rumah tersebut menjadi tempat penyimpanan dan usaha.

Hingga kisah ketika mereka masih mengaji pada Datuk, yang membuat pembaca bisa sedikit menerka-nerka dimana letak setting di daerah tersebut. Desa yang konon telah begitu sepi dan tak lagi begitu hidup setelah terjadinya peristiwa itu. Namun, sosok Bapak yang sudah tua, yang tak ingin jauh dari Mama dan Adiknya, menginginkan tinggal di sana.

"Betapa pun banyak peristiwa tidak menyenangkan terjadi di rumah, ia tetap tempat kita tinggal dan pulang. Kamu tidak meninggalkan rumahmu hanya karena ia pernah menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap bersamanya, berdamai dengan kenangan-kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali." (hal 57)

Rumah tetaplah rumah, yang akan selalu mengingatkan untuk segera pulang meski memiliki kenangan buruk. Sebuah pemikiran yang tampak 'lebih dewasa' bagi sosok Bara melalui tulisannya ini. Bagaimana kampung halaman yang pernah porak poranda akan tetap membawa kenangan entah itu buruk atau baik, namun tetap menyisakan ruang untuk berharap agar bisa ditinggali lebih nyaman dengan apa pun keadaannya.

Ini baru salah satu cerpen yang terdapat dalam buku Metaforapadma.



Bagi Saya...


Ke-14 cerita pendek yang tersusun dalam buku Metafora Padma ini memuat banyak kisah yang akan membuat pembaca lumayan merenung tentang banyak hal dalam sisi kehidupan mereka. Mungkin menyelami kelamnya kehidupan salah satu tokoh di sini, sosok perempuan yang dicintai seorang lelaki yang memiliki kenangan buruk dalam dua jam. Kemudian hanya es krim-lah yang menjadi obatnya.

Terutama ketika membaca Cerita Pendek Pembuka, yang saya kira ini merupakan sebuah permulaan yang biasa ditulis dalam setiap buku. Ternyata, memang demikianlah, cerita Perkenalan justru benar-benar mengenalkan sisi apa saja yang dikisahkan dalam buku ini. Contohnya ketika dia didandani menjadi Geisha untuk sosok lelaki, sesuai juga dengan beberapa cerita dengan tokoh perempuan di dalamnya yang berhadapan dengan sosok lelaki lainnya.

Atau ketika dia mengisahkan terkait pertikaian di desanya, juga mewakili beberapa kisah lainnya yang juga memuat pertikaian. Dan banyak hal lainnya, ketika kita bisa membuka hati dengan lebih luas agar bisa mencerna dengan baik apa yang ditulis di sini.

Sekali lagi, saya memang pembaca bukumu, Bara. Tapi, ketika saya tidak suka, saya akan mengatakan sejujurnya. Tapi, buku ini kembali membuat rasa suka saya pada tulisanmu, mekar dan subur. Karena, tulisanmu membawa saya pada masa-masa kelam kehidupan.


Terima Kasih


Postingan Terkait