Dalam Dekapan Maut - V. Lestari



Dalam Pelukan Maut. Tewasnya Winarti saat tugas jaga malam di Rumah Sakit Harapan membuat Wanda, sahabat yang juga sesama perawat, penasaran. Apalagi Winarti meninggalkan buku catatan untuk Wanda berisi pengalaman gadis itu sebagai saksi mata dari beberapa kejadian buruk. Kini giliran Wanda yang terancam teror dan usaha pembunuhan. Apakah ancaman tersebut ada hubungannya dengan buku catatan Winarti?


Dari blurb di atas bisa ketebak, novel ini berkisah tentang misteri pembunuhan suster yang bertugas jaga malam. Ini kali pertama saya membaca karya dari penulis V. Lestari, terima kasih sebelumnya untuk Mba Asri dari Peek the Book, yang sudah memberi kesempatan untuk saya sehingga bisa membaca novel ini.

Sebelum melanjutkan menulis tentang Winarti dan Wanda, saya akan ungkap sedikit informasi terkait buku ini.


Informasi Buku

Judul : Dalam Pelukan Maut || Penulis : V. Lestari || Halaman : 411 || Cetakan : 2015 || Penerbit : Gramedia Pustaka Utama || ISBN : 978.6020.316.949 || Novel Dewasa



Dalam Dekapan Maut




Setting Rumah Sakit


Karena Winarti dan Wanda yang menjadi tokoh dalam novel ini berprofesi sebagai perawat, juga pembunuhan yang terjadi saat keduanya tengah bekerja, maka ada banyak adegan dalam novel ini yang berlokasi di Rumah Sakit Harapan. Mereka berjaga di Ruang Arjuna dekat dengan Ruang Bima serta bersebelahan dengan ruang dapur untuk perputaran konsumsi pasien di rumah sakit.

Jika saya lihat kembali, ternyata novel ini pertama kali terbit pada tahun 1996, maka tidak heran ketika saya mendapati bahwa dalam satu ruang perawatan yang berisi banyak pasien (dari kelas vip sampai kelas bawah lainnya), hanya diberlakukan dua perawat yang bertugas jaga malam.

Berbeda dari beberapa rumah sakit swasta yang pernah saya jadikan 'hotel' tempat menginap beberapa hari. Dimana setiap perputaran ganti shift, setidaknya ada 6-7 orang perawat yang berjaga. 

Saat itu dua perawat untuk berjaga malam pun baru saja diberlakukan di rumah sakit Harapan. Biasanya cukup satu perawat saja. Tapi, pertimbangan untuk perawat lain berjaga agar ketika perawat yang satunya melakukan visit ke ruangan pasien, perawat yang stand by di office bisa segera membantu pasien yang seketika membutuhkan bantuan melalui panggilan darurat. 


Itulah kenapa Winarti dan Wanda mendapat giliran jaga malam berdua saja. Dan saat itu, Winarti yang mendapat jatah untuk visit ke pasien, sementara Wanda yang harus memenuhi panggilan darurat dari pasien di ruangan VIP.


Di dekat Rumah Sakit tersebut juga terdapat Asrama bagi Perawat. Meski rumah Wanda berdekatan, tapi dia tetap tinggal di Asrama tersebut. Dimana ini diperlukan ketika Rumah Sakit membutuhkan personil tambahan saat menangani pasien.


Selain itu, ruangan dalam kamar pasien yang dibiarkan redup. Hingga Wanda harus menggunakan senter, yang mana ini biasa dilakukan oleh perawat pada novel ini, ketika berkunjung ke ruangan pasien yang redup. Entah seberapa redup ruangan di kamar tersebut sehingga membutuhkan senter untuk penerangan, juga salah satu adegan Wanda yang menemui pasien Adam Moko, yang mana tidak dapat melihat dengan jelas wajah sang pasien. Begitu pula sebaliknya Adam Moko tidak dapat melihat wajah Wanda.

Di Rumah Sakit tersebut juga terdapat kantin, tempat Wanda dan dokter Franz menyempatkan diri untuk berbincang berdua. Setelah selesai, Wanda menandatangani bon yang mana akan dibayar olehnya keesokan harinya.


Beberapa hal tersebut di atas ada yang membuat saya bertanya, apakah karena novel ini diterbitkan pada tahun 1996 sehingga detil lokasi dan kebiasaan pada saat itu rasanya berbeda dengan kondisi yang pernah saya lihat di beberapa rumah sakit swasta. Tapi, saya pribadi belum tahu, bagaimana kondisi dan kebiasaan di rumah sakit lain, terutama rumah sakit non swasta.


Beberapa Nukilan Dari Novel


"Bagaimana Bapak-bapak? Apakah kasus ini bisa diredam supaya tidak sampai menggemparkan? Bila dimuat di koran-koran, maka ceritanya bisa jadi lain karena melulu berisi opini wartawannya..." (Hal 45)

Dari dialog di atas, tampak rasanya kondisi demikian sudah bukan hal yang baru lagi saat ini. Beberapa kali saya mendapati setiap orang berkomentar, jikalau ingin mendapatkan pernyataan asli tentang sebuah berita, baiknya tanyakan langsung dari sumbernya. Atau jika ingin mendapat berita yang benar-benar orisinal, maka buatlah sendiri berita tersebut langsung dari sumbernya.


Jika dahulu sosok dan opini wartawan-lah yang menjadi momok bagi beberapa orang atau instansi yang terseret peristiwa tak mengenakkan. Maka saat ini, tak ada lagi yang bisa dipilih untuk dijadikan momok karena sosial media yang menjadi sumber informasi sudah dimiliki semua orang.

Meski, masih banyak juga pemberitaan di media sosial yang berisi berita-berita yang tidak relevan dan lebih banyak berisi tambahan berita daripada orisinalitas berita itu sendiri.


"Dalam dunia usaha jangan sekali-kali jadi Sinterklas, Wan. Rasa iba tidak boleh menguasai pikiran. Mana yang fair saja. Orang membutuhkan keadilan. Bukan rasa iba." (Halaman 103)


Perkataan seorang Ibu untuk anaknya yang merupakan pewaris kekayaan dan harus melanjutkan usaha turun termurun dari kakeknya. Sayangnya, Wanda yang merupakan seorang perawat, tak dapat membedakan mana yang harus diutamakan mana yang harus diberi rasa iba. 

Bisnis yang sudah dibangun dengan susah payah memang bukan hal yang mudah untuk diturunkan begitu saja pada generasi penerus. Dibutuhkan ilmu dan usaha agar penerusnya memiliki dedikasi yang besar untuk membuat usaha atau bisnis tersebut tetap berjalan dan berkembang.


Bagi saya, tidak salah jika Ibunya Wanda berkata demikian karena Wanda tampak pasrah saja, seakan dia tak membutuhkan peluang usaha tersebut untuk keberlangsungan hidupnya. Tampak sepertinya Wanda sedikit tergesa.


Pendapat Pribadi

Meski tampaknya novel ini seperti menarik. Tapi, faktanya dalam tulisan dan setiap adegan yang disajikan sangat terasa datar. Seakan setiap tokoh dan setiap kejadian baik pembunuhan maupun ketika salah satu tokoh berada dalam kesulitan yang hampir merenggut nyawanya. Semuanya sama, tidak ada emosi yang bisa dibangun bagi pembacanya. Rasanya seperti hal tersebut biasa saja, seakan membaca cerita biasa yang tak ada gejolak emosi atau rasa takut di dalamnya.

Namun, saya masih mengakui kalau alur dalam cerita ini bagus. Meski setiap tokoh tidak memiliki karakter yang kuat, namun V. Lestari mampu membuat tragedi pembunuhan dan cara penyelesaiannya dengan baik. Yah, walaupun saya tidak begitu penasaran dengan siapa pembunuhnya dan mengapa dibunuh.

Karena, satu-satunya yang membuat saya penasaran cuma isi buku diary Winarti. Tapi, setelah saya baca ternyata saya masih kecewa, "cuma segitu aja?" Demikian batin saya berkata.


Belum lagi, memang, porsi mengungkap pembunuhan Winarti tampak sedikit, rasanya lebih banyak kisah tentang percintaan Wanda, tentang bisnis keluarganya juga tentang Mamanya Wanda. Sehingga saya sebagai pembaca merasa dicekoki terlalu banyak hal sehingga saya kehilangan fokus, harus berkonsentrasi pada bagian yang mana.

Setidaknya V. Lestari sudah menyediakan karya dengan gaya penulisan yang bagus sehingga saya bisa menamatkan membaca novel ini tanpa kesulitan. Terima kasih.

Postingan Terkait