Arok Dedes : Roman Sejarah Politik

Selamat Hari Buku Nasional 2016, membaca merupakan hobi yang memiliki segudang manfaat. Dengan membaca, bukan hanya saja wawasan kita yang bertambah luas, juga sebagai cara untuk melatih rasa empati dan simpati dalam diri kita melalui cerita pada tokoh-tokoh fiksi. Dengan membaca maka terbitlah sebuah pemahaman yang baru, tentang banyak hal melalui tulisan. Ini hanya sebagian manfaat dari membaca.

Pada kesempatan kali ini, saya baru saja menyelesaikan bacaan dari sebuah buku berjudul “Arok Dedes”, sebuah roman yang pernah saya tahu melalui cerita rakyat. Tentang pembalasan dendam tujuh turunan, tentang ‘betis’ seorang perempuan juga tentang kekuatan ajaib. Namun, melalui tulisannya, Pramoedya tidak hanya sekadar menceritakan kembali roman sejarah tersebut, tapi menyajikan intrik politik pada kepemimpinan Tunggul Ametung di Tumapel. Rumitnya perebutan kekuasaan dari banyak pihak, hingga kepemimpinan Pramesywari Ken Dedes.


Arok Dedes

Blurb

Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan). Ini adalah romah politik seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan dan memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti yang paling sahih bagi penguasa untuk menyingkirkannya.
Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggul tanah Jawa). Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumur darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel, karena politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya takhta di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadi yang dimau.

Pada Akhirnya roman Arok Dedes menggambarkan peta kudeta politik yang kompleks yang “disumbang“ Jawa untuk Indonesia.


Detil Buku

Judul : Arok Dedes | Penulis : Pramoedya Ananta Toer | Halaman : 561 | Cetakan : 8, Juli 2009 | Penerbit : Lentera Dipantara | ISBN : 978.979.3820.129


Materi sejarah yang paling kuat adalah yang didapatkan pada sisa Tugu Kemenangan Arok, yang kini dimasukkan dalam kompleks Candi Singasari – yang sebenarnya bukan Candi dan biasa dinamai Candi Tumapel dan karya Mpu Tanakung “Lubdaka“ yang ditulis pada masa-hidup Ken Arok sendiri.


Kisah Kepemimpinan Dedes

Saya akan mengawalinya dengan masa kepemimpinan Dedes. Meski beliau adalah seorang Pramesywari yang dinikahi Tunggul Ametung ‘secara paksa‘, tapi menurut peraturan perakuwuan, kepemimpinan di wilayah akuwu berada di tangan Pramesywari. Inilah yang mengawali kekuatan Dedes kembali, setelah dia merasakan tidak berdaya usai berpikir bahwa kehidupannya kini tak lagi dapat berarti.

Ketika Tunggul Ametung tengah pergi meninggalkan perakuwuan, berawal dari meletusnya Gunung Kelud, Dedes terbangun dengan kaget kemudian langsung meminta Rimang untuk membantu menyelamatkan Abdi Dalam serta orang-orang yang tinggal di wilayah akuwu. Kebakaran juga melanda salah satu bagian dari akuwu, banyak para pengawal yang kebingungan dan salah satunya menghadap pada Pramesywari kemudian meminta perintah, petunjuk harus melakukan apa.

Selama terjadinya guncangan itu, Pramesywari memerintahkan seluruh penghuni Akuwu untuk mendendangkan puji-pujian guna meredakan amarah Bathari Durga. Hingga guncangan mereda dan selesai, Dedes menasihati seluruh penghuni Akuwu untuk kembali memuja Hyang Syiwa, kemudian meminta seluruh orang saling bahu-membahu membantu penghuni lain yang cedera. Ketika melihat dokter yang tengah merawat luka salah seorang anak kecil di wilayah akuwu, Dedes dengan bijaksana memerintah sang dokter untuk membiusnya. Awalnya, sang dokter tidak mengenali Dedes, setelahnya dia memohon ampun padanya.

Dengan kekuasaan Akuwu berada di tangannya, impian Dedes untuk kembali membawa para pekerja di Akuwu untuk kembali memuja Hyang Syiwa dan meninggalkan pemujaan terhadap Hyang Wisynu. Tidak hanya itu, keingin-tahuannya terhadap masalah politik dan pemerintahan wilayah Tumapel membuatnya paham, dengan memperbaiki hubungannya bersama Tunggul Ametung, Dedes akan mudah untuk mengetahui semua hal, termasuk perihal pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah Tumapel.

Secepat itu pula, seorang brahmani ini memahami situasi Tunggul Ametung. Mempelajari secara cepat posisi Belakangka di Akuwu. Yang kemudian, dia paham, bahwa jika Tunggul Ametung berada di dekat Belakangka, maka dia tak dapat mempergunakan Tunggul Ametung terhadap kekuasaannya. Hingga akhirnya dia berusaha untuk memahami dengan cepat situasi di perakuwuan, dengan bantuan Rimang juga.
Bahkan, pada masa terakhir sesaat sebelum jatuhnya kepemimpinan Tunggul Ametung, Dedes yang memimpin pemerintahan mengikuti saran Arok. Dengan niat awal, Tunggul Ametung ingin berlindung dari balik Dedes. Karena seluruh Tumapel tidak ada yang membenci dirinya, bahkan mengakui bahwa Dedes memang pantas menjadi Pramesywari Tumapel. Sehingga posisinya tidak banyak diganggu.

Sebagai seorang anak Brahmana, Dedes sudah dididik sejak kecil tentang segala macam hal, meski bukan pendidikan cara memerintah. Tapi, ini memengaruhi bagaimana dia mempelajari dalam mengelola wilayah akuwu agar tetap damai meski saat itu tengah terjadi huru-hara. Bagaimana dia tetap menjalin hubungan dengan baik pada Istri Sah Tunggul Ametung. Serta pembuktian, bahwa kecantikannya yang termasyhur bukan hanya alasan mengapa banyak orang mengakui keberadaannya.

Bagaimana Tunggul Ametung Memerintah


Sama halnya dengan lintah, Tunggul Ametung memerintah Tumapel dengan dominasi kekejian, pemerasan dan penindasan. Bahkan, merangkaknya Tunggul Ametung menduduki kursi kepemimpinan Tumapel, melalui kekejian juga kecurangan. Tidak heran jika pemerintahannya banyak dicaci dan dibenci oleh khalayak, terutama kaum Brahmana. Yang sejak semula tidak pernah menyetujui penyembahan terhadap Hyang Wisynu, kemudian pada masa pemerintahan Sri Erlangga, penyembahan bukan saja pada para Dewa, tapi juga pada arwah leluhur dan nenek moyang.

Terlahir dari kaum Sudra dan bahkan tak ada sedikit pun darah brahmani atau ksatria dalam dirinya. Bahkan, Ametung dikabarkan tidak dapat membaca, tidak memahami sanskerta juga tidak banyak mengerti tentang kepemimpinan. Dia hanya boneka Belakangka yang dikirim Kediri untuk mengawasinya. Tapi, untuk urusan ketamakan dan keserakahan, tidak perlu ditanya. Ametung bahkan memaksa penduduk yang diculik untuk bekerja paksa di sebuah lembah untuk menangkar Emas.

Perihal ini mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Black Diamond dimana wilayah tersebut sangat dirahasiakan dan dijaga dengan pengawasan super ketat. Di situlah tempat Ametung mendapatkan kekayaannya lagi, selain dari pemerasan para masyarakat Tumapel.

Tapi, pernikahannya dengan Dedes, bukan hanya didasari pada ramalan saja. Dia juga mencintai perempuan muda yang cantik itu, meski rasa cintanya tak menghentikannya dalam berlaku kasar. Selain itu, ketika Dedes mengandung anaknya, sikapnya mulai sedikit goyah.

Pada bagian klimaks, pertarungan dan huru-hara yang mengikutsertakan Ametung di dalam hutan. Diketahui bahwa Ametung membawa serta anaknya dalam pertempuran tersebut. Hingga suatu bukti bahwa Ametung memang berniat membunuh anaknya, tapi ada juga beberapa yang memang dibunuh oleh orang kepercayaannya – kebo ijo – yang meracuni salah satu anaknya.

Mendekati akhir dari kepemimpinannya, Ametung mulai dikuasai rasa gelisah. Belum lagi pembunuhan salah satu warga demi menghilangkan jejak mata-mata Belakangka diketahui Kediri. Mulai dari itu dia tak lagi dapat menahan rasa ketakutannya. Upeti yang harusnya diterima Kediri dari Tumapel tak kunjung datang, karena tertahan oleh pemberontakan yang didalangi oleh Borang.

Melalui Belakangka, Ametung akhirnya mengadakang perjanjian dengan Lohgawe, untuk meminta bantuan demi memberantas pemberontakan serta perampokan yang terus merajalela. Awalnya, Ametung pernah bertemu dengan Borang, namun pancaran mata dari orang tersebut membuat Ametung memukul mundur pasukannya. Dia ketakutan pada sosok itu.

Selain masyarakat yang tidak lagi bisa tahan dengan perlakuan Ametung dan hanya bisa berteriak serta mencaci dalam hati. Para pengawal dan orang-orang yang bekerja untuknya juga tidak ada yang bertahan. Hanya karena mereka takut padanya serta mematuhi Ametung karena posisinya sebagai pemimpin Tumapel sajalah yang membuat mereka mau mendengarkannya. Sehingga terbukti, hanya karena adu domba, keprajuritan Tumapel terpecah belah.

Pembuktian bahwa menjadi pemimpin bukan hanya serta merta tentang “seberapa kejam dan seberapa mampu“ menundukan orang saja. Tapi, dibutuhkan ilmu serta kepiawaian dalam membangun interaksi dengan para pekerjanya.

Kemampuan Temu

Seorang anak yang ditolong oleh Bango diawali karena tatapan mata itu. Beberapa kali ditegaskan dalam dialog setiap tokohnya, bahwa mata Temu seperti pancaran langsung dari Hyang Syiwa. Kemudian, dengan kesadaran itulah Bango menyuruh Temu untuk menuntut ilmu dengan Lohgawe. Di sana, Lohgawe sendiri sudah melihat kemampuan yang luar biasa pada Temu.

Hanya dalam waktu singkat dia dapat menguasai banyak rontal. Bahkan ketika umurnya masih sangat muda, Temu sudah fasih berbahasa sanskerta. Kecerdasannya ini diyakini Lohgawe merupakan pancaran dari sang Dewa langsung pada Temu. Apalagi dalam urusan menghapal, Temu bahkan sudah banyak menghapal rontal. Sehingga, Lohgawe mempercakannya untuk mengikuti sidang para Brahmana, di sanalah dia diuji melalui para Brahmana lainnya tentang kecakapannya.

Keberadaan Temu, seolah-olah merupakan jawaban dari tulisan rontal salah satu Mpu, yang kemudian digaungi oleh Lohgawe untuk para Brahmana lainnya demi mendukung Temu mencapai satu tujuan mereka : Mengembalikan kepercayaan masyarakat Tumapel pada Hyang Syiwa.

***

Seperti yang ditulis dalam blurb di atas, kisah roman sejarah ini berisi banyak intrik politik perebutan kekuasaan Tumapel. Dengan dalih mengembalikan ajaran kepercayaan pada Hyang Syiwa. Tapi, kenyataan yang terjadi, bahwasannya segala intrik tersebut selalu mengarah pada takhta kepemimpinan. Selain beberapa hal yang saya tuliskan di atas, ada banyak poin menarik lainnya yang terdapat dalam buku ini :

  1.  Bagaimana proses sidang Brahmana dimana Temu menjabarkan sebuah karya tanpa membaca rontal.
  2.   Banyak disinggung tentang kelebihan Arok dan siasat perangnya. Serta sosoknya ketika menjadi seorang pemimpin.
  3.  Seberapa ‘kuat’ pengaruh Pramesywari dalam wilayah perakuwuan.
  4.  Siasat yang lebih besar dari intrik politik Belakangka dan Kebo Ijo, yaitu gerakkan sembunyi yang dibuat oleh Empu Gandring.
  5.  Bagaimana Perlawanan terhadap Tunggul Ametung yang tidak terlihat.


Masih banyak poin-poin lainnya yang menjadi kelebihan dalam buku ini, sebagai informasi tambahan, Arok Dedes merupakan buku pertama dari trilogi tulisan Pram. Buku lainnya yaitu Mata Pusaran (yang sempat hilang, lalu ditemukan dengan bentuk remuk-cacat di mana tersisa hanya halaman 232 – 362), dilanjutkan dengan Arus Balik dan terakhir naskah lakon Mangir. Naskah-naskah ini sendiri, ditulis oleh Pram, saat beliau berada di dalam penjara.


Penjara tidak membuatnya berhenti menulis, keterbatasan bukan lagi alasan untuk tidak berbagi.

Postingan Terkait